Sabtu, 18 Januari 2020

KONSTITUSI PASTORAL TENTANG GEREJA DI DUNIA DEWASA INI (2)

BY Paroki San Juan IN




6. (Perubahan-perubahan dalam tata-masyarakat)
Dengan sendirinya komunitas-komunitas setempat, misalnya keluarga-keluarga patriarkal, kelompok-kelompok kekerabatan, suku-suku, desa-desa, pelbagai kelompok dan rukun hidup sosial lainnya, dari hari ke hari mengalami perubahan-perubahan makin menyeluruh.
Pola masyarakat industri lambat laun makin menyebar, mengantar berbagai bangsa kepada kekayaan ekonomi, serta secara mendalam mengubah pengertian-pengertian dan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan yang dulu bertahan berabad-abad lamanya. Begitu pula berkembanglah praktek hidup di kota dan proses urbanisasi, entah karena bertambahnya kota-kota beserta penduduknya, atau karena gerak pertumbuhan, yang memperluas kehidupan kota di daerah pedesaan.
Alat-alat komunikasi sosial yang baru dan lebih canggih menunjang pemberitaan peristiwa-peristiwa maupun penyebaran cara-cara berpikir dan berperasaan secepat dan seluas mungkin, sambil menimbulkan pelbagai reaksi beruntun.
Lagipula janganlah diabaikan: betapa banyak orang karena pelbagai alasan terdorong untuk berpindah kediaman, dan mengubah cara hidup mereka.
Begitulah hubungan-hubungan manusia dengan sesamanya tiada hentinya berlipatganda; dan serta-merta proses “sosialisasi” sendiri menimbulkan relasi-relasi baru, tanpa selalu mendukung pendewasaan pribadi yang serasi dan mempererat hubungan-hubungan pribadi yang sesungguhnya (“personalisasi”).
Perkembangan seperti itu memang lebih jelas nampak pada bangsa-bangsa yang sudah menikmati keuntungan-keuntungan kemajuan ekonomi dan tehnik. Tetapi juga menggerakkan bangsa-bangsa yang sedang mengusahakan perkembangannya, dan untuk daerahnya masing-masing ingin mengenyam manfaat-manfaat industrialisasi dan urbanisasi. Bangsa-bangsa itu, terutama yang menjunjung tinggi tradisi-tradisi lebih kuno, sekaligus merasa di dorong untuk menggunakan kebebasan mereka secara lebih masak dan lebih pribadi.

7. (Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan)
Perubahan mentalitas dan struktur-stuktur sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan, terutama pada kaum muda, yang acap kali kehilangan kesabaran, bahkan memberontak karena gelisah. Mereka menyadari pentingnya jasa mereka dalam kehidupan masyarakat, dan ingin lebih dini berperan serta di dalamnya. Oleh karena itu dalam menunaikan tugas mereka para orang tua dan kaum pendidik tidak jarang mengalami kesulitan yang semakin besar.
Adapun lembaga-lembaga, hukum-hukum serta cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para leluhur agaknya memang tidak selalu betul-betul cocok dengan situasi masa kini. Maka terasalah kekacauan yang besar menganai cara-cara maupun kaidah-kaidah bertindak.
Akhirnya hidup keagamaan sendiri terpengaruh oleh keadaan-keadaan baru. Di satu pihak kemampuan mempertimbangkan secara lebih kritis menjernihkannya dari pandangan dunia yang bercorak magis dan dari takhayul-takhayul yang masih cukup luas tersebar, serta semakin menuntut kepatuhan pribadi dan aktif terhadap iman. Dengan demikian tidak sedikitlah orang yang lebih hidup kesadarannya akan kehadiran Allah. Tetapi dipihak lain banyaklah kelompok cukup besar, yang menjauhkan diri dari pengalaman agama. Berbeda dengan masa lampau, ingkar terhadap Allah serta agama, atau tidak lagi mempedulikannya, bukan lagi merupakan kekecualian atau soal perorangan saja. Sebab dewasa ini tidak jaranglah sikap-sikap itu diperlihatkan sebagai tuntutan kemajuan ilmiah atau suatu humanisme baru. Itu semua di pelbagai daerah bukan hanya diungkapkan dalam kaidah-kaidah para filsuf, melainkan secara sangat luas menyangkut dunia sastra dan alam kesenian, pun juga penfsiran arti ilmu-ilmu manusia dan sejarah, serta hukum-hukum sipil sendiri, sehingga banyak orang karena itu mengalami kekacauan batin.

8. (Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang)
Perubahan sepesat itu, yang sering berlangsung secara tidak teratur, bahkan juga kesadaran semakin tajam akan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dunia, menimbulkan atau malahan menambah pertentangan-pertentangan dan ketidak-seimbangan.
Dalam pribadi manusia sendiri cukup sering timbul ketidak-seimbangan antara akal budi modern yang bersifat praktis dan cara berpikir teoritis, yang tidak mampu menguasai keseluruhan ilmu pengetahuannya atau menyusunnya dalam sintesa-sintesa yang serasi. Begitu pula muncullah ketidak-seimbangan antara pemusatan perhatian pada kedayagunaan praktis dan tuntutan-tuntutan moral suara hati, lagi pula sering kali antara syarat-syarat kehidupan bersama dan tuntutan pemikiran pribadi, bahkan juga kontemplasi. Akhirnya muncullah ketidak-seimbangan antara specialisasi kegiatan manusia dan visi menyeluruh tentang kenyataan.
Adapun dalam kenyataan keluarga muncullah berbagai ketidak-serasian, baik karena kondisi-kondisi kependudukan, ekonomim dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara angkatan-angkatan yang beruntun, ataupun juga karena hubungan-hubungan sosial yang baru antara pria dan wanita.
Muncullah pula peetentangan-pertentangan yang sengit antara suku-suku, bahkan antara pelbagai lapisan masyarakat; antara bangsa-bangsa yang kaya dan yang kurang mampu serta serba kekurangan; akhirnya, antara lembaga-lembaga internasional yang terbentuk atas keinginan para bangsa akan perdamaian, dan ambisi mempropagandakan ideologinya sendiri serta aspirasi-aspirasi kolektif yang terdapat pada bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok lain.
Itu semua membangkitkan sikap saling tidak percaya dalam bermusuhan, konflik-konflik dan kesengsaraan, yang sebabnya dan sekaligus korbannya ialah manusia sendiri.

9. (Aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin universal)
Sementara itu bertumbuhlah keyakinan, bahwa umat manusia bukan hanya mampu dan harus semakin mengukuhkan kedaulatannya atas alam tercipta, melainkan juga bertugas untuk membentuk tata kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik mengabdi manusia, dan membantu masing-masing perorangan maupun setiap kelompok, untuk menegaskan serta mengembangkan martabatnya sendiri.
Maka amat banyaklah dengan sangat mendesak menuntut harta, yang mereka nilai dan mereka sadari sepenuhnya tidak tersedia bagi mereka akibat ketidak-adilan atau pembagian yang tidak sewajarnya. Bangsa-bangsa yang sedang berkembang, seperti yang akhir-akhir ini meraih kemerdekaan, ingin ikut memiliki harta peradaban zaman sekarang bukan hanya dibidang politik melainkan juga dibidang ekonomi, dan ingin secara bebas memainkan peran mereka di dunia. Padahal makin lama mereka makin ketinggalan, sering sekali juga ekonomi mereka makin tergantung dari bangsa-bangsa lebih kaya, yang lebih pesat pula kemajuannya. Bangsa-bangsa yang tertekan karena kelaparan meminta bantuan kepada bangsa-bangsa yang lebih kaya. Kaum wanita menuntut kesamaan dengan kaum pria berdasarkan hukum maupun dalam kenyataan, bila kesamaan itu belum mereka peroleh. Kaum buruh dan petani bukan saja hendak mendapat nafkah yang mereka perlukan, melainkan dengan bekerja hendak mengembangkan bakat-bakat pribadi mereka juga, bahkan berperan serta dalam menata kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sekarang ini untuk pertama kalinya dalam sejarah manusia semua bangsa sudah yakin, bahwa harta kekayaan budaya dapat dan harus secara sungguh merata dinikmati oleh semua.
Adapun di balik semua tuntutan itu tersembunyi suatu dambaan yang lebih mendalam dan lebih umum, yakni: pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok haus akan kehidupan yang sepenuhnya, bersifat bebas, dan layak bagi manusia, dengan dapat memanfaatkan segala sesuatu yang secara begitu berlimpah dapat disajikan oleh dunia zaman sekarang. Selain itu bangsa-bangsa berusaha semakin keras untuk mencapai suatu masyarakat semesta.
Dengan demikian dunia masa kini nampak sekaligus penuh kekuatan dan kelemahan, mampu menjalankan yang paling baik maupun yang paling buruk. Baginya terbuka jalan menuju kebebasan atau perbudakan, kemajuan atau kemunduran, persaudaraan atau kebencian. Kecuali itu manusia menyadari kewajibannya mengemudikan dengan cermat kekuatan-kekuatan yang dibangkitakannya sendiri, dan yang dapat menindas atau melayaninya. Maka ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya.

10. (Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia)
Memang benarlah ketidak-seimbangan yang melanda dunia dewasa ini berhubungan dengan ketidak-seimbangan lebih mendasar, yang berakar dalam hati manusia. Sebab dalam diri manusia sendiri pelbagai unsur sering berlawanan. Sebab di satu pihak, sebagai makhluk, ia mengalami keterbatasan dalam banyak hal; tetapi dilain pihak ia merasa diri tidak terbatas dalam keinginan-keinginannya, dan dipanggil untuk kehidupan yang lebih luhur. Menghadapi banyak hal yang serba menarik, ia terus menerus terpaksa memilih diantaranya dan melepaskan beberapa hal lainnya. Bahkan sebagai manusia lemah dan pendosa, ia tidak jarang melakukan apa yang tidak di kehendakinya, dan tidak menjalankan apa yang sebenarnya ingin dilakukannya[3]. Maka ia menderita perpecahan dalam dirinya, dan itulah yang juga menimbulkan sekian banyak pertentangan yang cukup berat dalam masyarakat. Memang banyak sekali juga, yang hidupnya diwarnai materialisme praktis, dan terhalang untuk menyadari dengan jelas keadaan mereka yang dramatis itu; atau sekurang-kurangnya tertindas oleh duka-derita, sehingga terhalang untuk masih memperhatikan keadaan itu. Banyak pula yang merasa dapat tengan-tenang saja menghadapi bermacam-macam tafsiran terhadap kenyataan-kenyataan. Ada pula, yang mengharapkan pembebasan umat manusia yang sejati dan sepenuhnya melulu dari usaha manusia, serta merasa yakin bahwa kedaulatan manusia atas dunia dimasa mendatang akan memenuhi semua keinginan hatinya. Pun ada juga, yang sudah putus asa memikirkan makna hidup, serta memuji keberanian mereka, yang menganggap hidup manusia sudah kehilangan semua artinya sendiri, tetapi toh berusaha memberinya seluruh arti berdasarkan akal budinya semata-mata. Namun menghadapi perkembangan dunia dewasa ini, semakin banyaklah mereka, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan sangat mendasar, atau merasakannya lagi dengan tajam: apakah manusia itu? Manakah arti penderitaan, kejahatan, maut, yang toh tetap masih ada, kendati tercapai kemajuan sebesar itu? Untuk apakah kemenangan-kemenangan, yang dibayar semahal itu? Apakah yang dapat disumbangkan manusia kepada masyarakat? Apakah yang dapat diharapkan manusia dari padanya? Apakah yang akan menyusul kehidupan di dunia ini?
Adapun Gereja mengimani, bahwa Kristus telah wafat dan bangkit bagi semua orang[4]. Ia mengurniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur. Dan dibawah langit tidak diberikan kepada manusia nama lain, yang bagi mereka harus menjadi pokok keselamatan[5]. Begitu pula Gereja percaya, bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya. Selain itu Gereja menyatakan, bahwa dibalik segala perubahan ada banyak hal yang tidak berubah, dan yang mempunyai dasarnya yang terdalam pada diri Kristus, Dia yang tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya[6]. Jadi di bawah cahaya Kristus, Gambar Allah yang tidak kelihatan, Yang Sulung diantara segala ciptaan[7] itulah, Konsili bermaksud menyapa semua orang, untuk menyinari misteri manusia, dan untuk bekerja sama dalam menemukan pemecahan soal-soal yang paling penting pada zaman sekarang.

BAGIAN PERTAMA: GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA

11. (Menanggapi dorongan Roh Kudus)
Umat Allah, terdorong oleh iman, bahwa mereka dibimbing oleh Roh Tuhan yang memenuhi seluruh bumi, berusaha mengenali dalam peristiwa-peristiwa, tuntutan-tuntutan serta aspirasi-aspirasi yang mereka rasakan bersama dengan sesama lainnya pada zaman sekarang ini, mana sajakah dalam itu semua isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah. Sebab iman menyinari segala sesuatu dengan cahaya baru, dan memaparkan rencana ilahi tentang keseluruhan panggilan manusia; oleh karena itu membimbing akal budi manusia kearah cara-cara memecahkan soal yang sangat manusiawi.
Konsili terutama bermaksud mempertimbangkan dalam cahaya itu nilai-nilai, yang dewasa ini sangat dijunjung tinggi, serta menghubungkannya dengan Sumbernya yang ilahi. Sebab nilai-nilai itu, sejauh berasal dari kodrat manusia yang dikurniakan oleh Allah, memang amat baik. Tetapi akibat kemerosotan hati manusia nilai-nilai itu tidak jarang dibelokkan dari arah yang seharusnya, sehingga perlu dijernihkan.
Bagaimanakah pandangan Gereja tentang manusia? Apa sajakah yang agaknya perlu dianjurkan untuk membangun masyarakat zaman sekarang? Manakah arti terdalam kegiatan manusia di seluruh dunia? Pertanyaan-pertanyaan itu menantikan jawaban. Dari situ akan nampak lebih jelas, bahwa Umat Allah dan bangsa manusia yang mencakupnya saling melayani, sehingga nyatalah perutusan Gereja sebagai misi yang bersifat religius dan justru karena itu juga sangat manusiawi.

BAB SATU – MARTABAT PRIBADI MANUSIA
12. (Manusia diciptakan menurut gambar Allah)
Kaum beriman maupun tak beriman hampir sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia sebagai pusat dan puncaknya.
Apakah manusia itu? Di masa silam dan sekarang pun ia mengemukakan banyak pandangan tentang dirinya, pendapat-pendapat yang beraneka pun juga bertentangan: seringkali ia menyanjung-nyanjung dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak, atau merendahkan diri hingga putus asa; maka ia serba bimbang dan gelisah. Gereja ikut merasakan kesulitan-kesulitan itu secara mendalam. Diterangi oleh Allah yang mewahyukan Diri, Gereja mampu menjawab kesukaran-kesukaran itu, untuk melukiskan keadaan manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, sehingga serta merta martabat dan panggilannya dapat dikenali dengan cermat.
Adapun kitab suci mengajarkan bahwa manusia diciptakan “menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini[8], untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah[9]. “Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm 8:5-7).
Tetapi Allah tidak menciptakan manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1;27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya.
Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua amat baiklah adanya” (Kej 1:31).

13. (Doa manusia)
Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah, atas bujukan si Jahat, telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati mereka yang bodoh diliputi kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[10]. Apa yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan pengalaman sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga, bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal-hal buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak keterarahannya yang sejati kepada tujuan yang terakhir, begitu pula seluruh hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia, dan dengan segenap ciptaan.
Oleh karena itu dalam batinnya manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau secara perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan, itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas kuasanya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif, sehingga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Akan tetapi datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan keluar penguasa dunia ini (lih. Yoh 12:31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[11]. Adapun dosa yang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk mencapai kepenuhannya.
Dalam terang Perwahyuan itulah baik panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami oleh manusia, menemukan penjelasannya yang terdalam.