6. (Perubahan-perubahan dalam
tata-masyarakat)
Dengan sendirinya komunitas-komunitas
setempat, misalnya keluarga-keluarga patriarkal, kelompok-kelompok kekerabatan,
suku-suku, desa-desa, pelbagai kelompok dan rukun hidup sosial lainnya, dari
hari ke hari mengalami perubahan-perubahan makin menyeluruh.
Pola masyarakat industri lambat laun
makin menyebar, mengantar berbagai bangsa kepada kekayaan ekonomi, serta secara
mendalam mengubah pengertian-pengertian dan kondisi-kondisi hidup
kemasyarakatan yang dulu bertahan berabad-abad lamanya. Begitu pula
berkembanglah praktek hidup di kota dan proses urbanisasi, entah karena
bertambahnya kota-kota beserta penduduknya, atau karena gerak pertumbuhan, yang
memperluas kehidupan kota di daerah pedesaan.
Alat-alat komunikasi sosial yang
baru dan lebih canggih menunjang pemberitaan peristiwa-peristiwa maupun
penyebaran cara-cara berpikir dan berperasaan secepat dan seluas mungkin,
sambil menimbulkan pelbagai reaksi beruntun.
Lagipula janganlah diabaikan: betapa
banyak orang karena pelbagai alasan terdorong untuk berpindah kediaman, dan
mengubah cara hidup mereka.
Begitulah hubungan-hubungan manusia
dengan sesamanya tiada hentinya berlipatganda; dan serta-merta proses
“sosialisasi” sendiri menimbulkan relasi-relasi baru, tanpa selalu mendukung
pendewasaan pribadi yang serasi dan mempererat hubungan-hubungan pribadi yang
sesungguhnya (“personalisasi”).
Perkembangan seperti itu memang
lebih jelas nampak pada bangsa-bangsa yang sudah menikmati
keuntungan-keuntungan kemajuan ekonomi dan tehnik. Tetapi juga menggerakkan
bangsa-bangsa yang sedang mengusahakan perkembangannya, dan untuk daerahnya
masing-masing ingin mengenyam manfaat-manfaat industrialisasi dan urbanisasi.
Bangsa-bangsa itu, terutama yang menjunjung tinggi tradisi-tradisi lebih kuno,
sekaligus merasa di dorong untuk menggunakan kebebasan mereka secara lebih
masak dan lebih pribadi.
7. (Perubahan-perubahan psikologis,
moral dan keagamaan)
Perubahan mentalitas dan
struktur-stuktur sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai
yang diwariskan, terutama pada kaum muda, yang acap kali kehilangan kesabaran,
bahkan memberontak karena gelisah. Mereka menyadari pentingnya jasa mereka
dalam kehidupan masyarakat, dan ingin lebih dini berperan serta di dalamnya.
Oleh karena itu dalam menunaikan tugas mereka para orang tua dan kaum pendidik
tidak jarang mengalami kesulitan yang semakin besar.
Adapun lembaga-lembaga, hukum-hukum
serta cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para leluhur agaknya
memang tidak selalu betul-betul cocok dengan situasi masa kini. Maka terasalah
kekacauan yang besar menganai cara-cara maupun kaidah-kaidah bertindak.
Akhirnya hidup keagamaan sendiri
terpengaruh oleh keadaan-keadaan baru. Di satu pihak kemampuan mempertimbangkan
secara lebih kritis menjernihkannya dari pandangan dunia yang bercorak magis
dan dari takhayul-takhayul yang masih cukup luas tersebar, serta semakin
menuntut kepatuhan pribadi dan aktif terhadap iman. Dengan demikian tidak
sedikitlah orang yang lebih hidup kesadarannya akan kehadiran Allah. Tetapi
dipihak lain banyaklah kelompok cukup besar, yang menjauhkan diri dari
pengalaman agama. Berbeda dengan masa lampau, ingkar terhadap Allah serta
agama, atau tidak lagi mempedulikannya, bukan lagi merupakan kekecualian atau
soal perorangan saja. Sebab dewasa ini tidak jaranglah sikap-sikap itu
diperlihatkan sebagai tuntutan kemajuan ilmiah atau suatu humanisme baru. Itu
semua di pelbagai daerah bukan hanya diungkapkan dalam kaidah-kaidah para
filsuf, melainkan secara sangat luas menyangkut dunia sastra dan alam kesenian,
pun juga penfsiran arti ilmu-ilmu manusia dan sejarah, serta hukum-hukum sipil
sendiri, sehingga banyak orang karena itu mengalami kekacauan batin.
8. (Berbagai ketidak-seimbangan
dalam dunia sekarang)
Perubahan sepesat itu, yang sering
berlangsung secara tidak teratur, bahkan juga kesadaran semakin tajam akan
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dunia, menimbulkan atau malahan menambah
pertentangan-pertentangan dan ketidak-seimbangan.
Dalam pribadi manusia sendiri cukup
sering timbul ketidak-seimbangan antara akal budi modern yang bersifat praktis
dan cara berpikir teoritis, yang tidak mampu menguasai keseluruhan ilmu
pengetahuannya atau menyusunnya dalam sintesa-sintesa yang serasi. Begitu pula
muncullah ketidak-seimbangan antara pemusatan perhatian pada kedayagunaan
praktis dan tuntutan-tuntutan moral suara hati, lagi pula sering kali antara
syarat-syarat kehidupan bersama dan tuntutan pemikiran pribadi, bahkan juga
kontemplasi. Akhirnya muncullah ketidak-seimbangan antara specialisasi kegiatan
manusia dan visi menyeluruh tentang kenyataan.
Adapun dalam kenyataan keluarga
muncullah berbagai ketidak-serasian, baik karena kondisi-kondisi kependudukan,
ekonomim dan sosial, yang serba mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan
yang timbul antara angkatan-angkatan yang beruntun, ataupun juga karena
hubungan-hubungan sosial yang baru antara pria dan wanita.
Muncullah pula
peetentangan-pertentangan yang sengit antara suku-suku, bahkan antara pelbagai
lapisan masyarakat; antara bangsa-bangsa yang kaya dan yang kurang mampu serta
serba kekurangan; akhirnya, antara lembaga-lembaga internasional yang terbentuk
atas keinginan para bangsa akan perdamaian, dan ambisi mempropagandakan
ideologinya sendiri serta aspirasi-aspirasi kolektif yang terdapat pada
bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok lain.
Itu semua membangkitkan sikap saling
tidak percaya dalam bermusuhan, konflik-konflik dan kesengsaraan, yang sebabnya
dan sekaligus korbannya ialah manusia sendiri.
9. (Aspirasi-aspirasi umat manusia
yang makin universal)
Sementara itu bertumbuhlah
keyakinan, bahwa umat manusia bukan hanya mampu dan harus semakin mengukuhkan
kedaulatannya atas alam tercipta, melainkan juga bertugas untuk membentuk tata
kenegaraan, kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik mengabdi manusia, dan
membantu masing-masing perorangan maupun setiap kelompok, untuk menegaskan
serta mengembangkan martabatnya sendiri.
Maka amat banyaklah dengan sangat
mendesak menuntut harta, yang mereka nilai dan mereka sadari sepenuhnya tidak
tersedia bagi mereka akibat ketidak-adilan atau pembagian yang tidak
sewajarnya. Bangsa-bangsa yang sedang berkembang, seperti yang akhir-akhir ini
meraih kemerdekaan, ingin ikut memiliki harta peradaban zaman sekarang bukan
hanya dibidang politik melainkan juga dibidang ekonomi, dan ingin secara bebas
memainkan peran mereka di dunia. Padahal makin lama mereka makin ketinggalan,
sering sekali juga ekonomi mereka makin tergantung dari bangsa-bangsa lebih
kaya, yang lebih pesat pula kemajuannya. Bangsa-bangsa yang tertekan karena
kelaparan meminta bantuan kepada bangsa-bangsa yang lebih kaya. Kaum wanita
menuntut kesamaan dengan kaum pria berdasarkan hukum maupun dalam kenyataan,
bila kesamaan itu belum mereka peroleh. Kaum buruh dan petani bukan saja hendak
mendapat nafkah yang mereka perlukan, melainkan dengan bekerja hendak
mengembangkan bakat-bakat pribadi mereka juga, bahkan berperan serta dalam
menata kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya. Sekarang ini untuk
pertama kalinya dalam sejarah manusia semua bangsa sudah yakin, bahwa harta
kekayaan budaya dapat dan harus secara sungguh merata dinikmati oleh semua.
Adapun di balik semua tuntutan itu
tersembunyi suatu dambaan yang lebih mendalam dan lebih umum, yakni:
pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok haus akan kehidupan yang sepenuhnya,
bersifat bebas, dan layak bagi manusia, dengan dapat memanfaatkan segala
sesuatu yang secara begitu berlimpah dapat disajikan oleh dunia zaman sekarang.
Selain itu bangsa-bangsa berusaha semakin keras untuk mencapai suatu masyarakat
semesta.
Dengan demikian dunia masa kini
nampak sekaligus penuh kekuatan dan kelemahan, mampu menjalankan yang paling
baik maupun yang paling buruk. Baginya terbuka jalan menuju kebebasan atau
perbudakan, kemajuan atau kemunduran, persaudaraan atau kebencian. Kecuali itu
manusia menyadari kewajibannya mengemudikan dengan cermat kekuatan-kekuatan
yang dibangkitakannya sendiri, dan yang dapat menindas atau melayaninya. Maka
ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada dirinya.
10. (Pertanyaan-pertanyaan mendalam
umat manusia)
Memang benarlah ketidak-seimbangan
yang melanda dunia dewasa ini berhubungan dengan ketidak-seimbangan lebih
mendasar, yang berakar dalam hati manusia. Sebab dalam diri manusia sendiri
pelbagai unsur sering berlawanan. Sebab di satu pihak, sebagai makhluk, ia
mengalami keterbatasan dalam banyak hal; tetapi dilain pihak ia merasa diri
tidak terbatas dalam keinginan-keinginannya, dan dipanggil untuk kehidupan yang
lebih luhur. Menghadapi banyak hal yang serba menarik, ia terus menerus
terpaksa memilih diantaranya dan melepaskan beberapa hal lainnya. Bahkan sebagai
manusia lemah dan pendosa, ia tidak jarang melakukan apa yang tidak di
kehendakinya, dan tidak menjalankan apa yang sebenarnya ingin dilakukannya[3].
Maka ia menderita perpecahan dalam dirinya, dan itulah yang juga menimbulkan
sekian banyak pertentangan yang cukup berat dalam masyarakat. Memang banyak
sekali juga, yang hidupnya diwarnai materialisme praktis, dan terhalang untuk
menyadari dengan jelas keadaan mereka yang dramatis itu; atau
sekurang-kurangnya tertindas oleh duka-derita, sehingga terhalang untuk masih
memperhatikan keadaan itu. Banyak pula yang merasa dapat tengan-tenang saja
menghadapi bermacam-macam tafsiran terhadap kenyataan-kenyataan. Ada pula, yang
mengharapkan pembebasan umat manusia yang sejati dan sepenuhnya melulu dari
usaha manusia, serta merasa yakin bahwa kedaulatan manusia atas dunia dimasa
mendatang akan memenuhi semua keinginan hatinya. Pun ada juga, yang sudah putus
asa memikirkan makna hidup, serta memuji keberanian mereka, yang menganggap
hidup manusia sudah kehilangan semua artinya sendiri, tetapi toh berusaha
memberinya seluruh arti berdasarkan akal budinya semata-mata. Namun menghadapi
perkembangan dunia dewasa ini, semakin banyaklah mereka, yang mengajukan
pertanyaan-pertanyaan sangat mendasar, atau merasakannya lagi dengan tajam:
apakah manusia itu? Manakah arti penderitaan, kejahatan, maut, yang toh tetap
masih ada, kendati tercapai kemajuan sebesar itu? Untuk apakah
kemenangan-kemenangan, yang dibayar semahal itu? Apakah yang dapat disumbangkan
manusia kepada masyarakat? Apakah yang dapat diharapkan manusia dari padanya?
Apakah yang akan menyusul kehidupan di dunia ini?
Adapun Gereja mengimani, bahwa
Kristus telah wafat dan bangkit bagi semua orang[4].
Ia mengurniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya
manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur. Dan dibawah langit tidak
diberikan kepada manusia nama lain, yang bagi mereka harus menjadi pokok
keselamatan[5].
Begitu pula Gereja percaya, bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah
manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya. Selain itu Gereja menyatakan, bahwa
dibalik segala perubahan ada banyak hal yang tidak berubah, dan yang mempunyai
dasarnya yang terdalam pada diri Kristus, Dia yang tetap sama, baik kemarin
maupun hari ini dan sampai selama-lamanya[6].
Jadi di bawah cahaya Kristus, Gambar Allah yang tidak kelihatan, Yang Sulung
diantara segala ciptaan[7]
itulah, Konsili bermaksud menyapa semua orang, untuk menyinari misteri manusia,
dan untuk bekerja sama dalam menemukan pemecahan soal-soal yang paling penting
pada zaman sekarang.
BAGIAN PERTAMA: GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA
11. (Menanggapi dorongan Roh Kudus)
Umat Allah, terdorong oleh iman,
bahwa mereka dibimbing oleh Roh Tuhan yang memenuhi seluruh bumi, berusaha
mengenali dalam peristiwa-peristiwa, tuntutan-tuntutan serta aspirasi-aspirasi
yang mereka rasakan bersama dengan sesama lainnya pada zaman sekarang ini, mana
sajakah dalam itu semua isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah.
Sebab iman menyinari segala sesuatu dengan cahaya baru, dan memaparkan rencana
ilahi tentang keseluruhan panggilan manusia; oleh karena itu membimbing akal
budi manusia kearah cara-cara memecahkan soal yang sangat manusiawi.
Konsili terutama bermaksud
mempertimbangkan dalam cahaya itu nilai-nilai, yang dewasa ini sangat dijunjung
tinggi, serta menghubungkannya dengan Sumbernya yang ilahi. Sebab nilai-nilai
itu, sejauh berasal dari kodrat manusia yang dikurniakan oleh Allah, memang
amat baik. Tetapi akibat kemerosotan hati manusia nilai-nilai itu tidak jarang
dibelokkan dari arah yang seharusnya, sehingga perlu dijernihkan.
Bagaimanakah pandangan Gereja
tentang manusia? Apa sajakah yang agaknya perlu dianjurkan untuk membangun
masyarakat zaman sekarang? Manakah arti terdalam kegiatan manusia di seluruh
dunia? Pertanyaan-pertanyaan itu menantikan jawaban. Dari situ akan nampak
lebih jelas, bahwa Umat Allah dan bangsa manusia yang mencakupnya saling
melayani, sehingga nyatalah perutusan Gereja sebagai misi yang bersifat
religius dan justru karena itu juga sangat manusiawi.
BAB
SATU – MARTABAT PRIBADI MANUSIA
12. (Manusia diciptakan menurut
gambar Allah)
Kaum beriman maupun tak beriman
hampir sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada
manusia sebagai pusat dan puncaknya.
Apakah manusia itu? Di masa silam
dan sekarang pun ia mengemukakan banyak pandangan tentang dirinya,
pendapat-pendapat yang beraneka pun juga bertentangan: seringkali ia
menyanjung-nyanjung dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak, atau merendahkan
diri hingga putus asa; maka ia serba bimbang dan gelisah. Gereja ikut merasakan
kesulitan-kesulitan itu secara mendalam. Diterangi oleh Allah yang mewahyukan
Diri, Gereja mampu menjawab kesukaran-kesukaran itu, untuk melukiskan keadaan
manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, sehingga serta
merta martabat dan panggilannya dapat dikenali dengan cermat.
Adapun kitab suci mengajarkan bahwa
manusia diciptakan “menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi
Penciptanya; oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di
dunia ini[8],
untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah[9].
“Apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga
Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti
Allah, dan memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau menjadikannya
berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah
kakinya” (Mzm 8:5-7).
Tetapi Allah tidak menciptakan
manusia seorang diri: sebab sejak awal mula “Ia menciptakan mereka pria dan
wanita” (Kej 1;27). Rukun hidup mereka merupakan bentuk pertama persekutuan
antar pribadi. Sebab dari kodratnya yang terdalam manusia bersifat sosial; dan
tanpa berhubungan dengan sesama ia tidak dapat hidup atau mengembangkan
bakat-pembawaannya.
Maka, seperti kita baca pula dalam
Kitab suci, Allah melihat “segala sesuatu yang telah dibuat-Nya, dan itu semua
amat baiklah adanya” (Kej 1:31).
13. (Doa manusia)
Akan tetapi manusia, yang diciptakan
oleh Allah dalam kebenaran, sejak awal mula sejarah, atas bujukan si Jahat,
telah menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin
mencapai tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak
memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati mereka yang bodoh diliputi
kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[10].
Apa yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan pengalaman
sendiri. Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga,
bahwa ia cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal-hal
buruk, yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak
mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak
keterarahannya yang sejati kepada tujuan yang terakhir, begitu pula seluruh
hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia,
dan dengan segenap ciptaan.
Oleh karena itu dalam batinnya
manusia mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia,
ditinjau secara perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan,
itu pun perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang
dan kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas
kuasanya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif, sehingga
setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Akan tetapi datanglah
Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan membaharuinya
dari dalam, dan dengan melemparkan keluar penguasa dunia ini (lih. Yoh 12:31),
yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[11].
Adapun dosa yang merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk
mencapai kepenuhannya.
Dalam terang Perwahyuan itulah baik
panggilan luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami oleh manusia,
menemukan penjelasannya yang terdalam.