14. (Kodrat manusia)
Manusia, yang satu jiwa
raganya, melalui kondisi badaniahnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia
jasmani dalam dirinya, sehingga melalui unsur-unsur itu mencapai tarafnya
tertinggi, dan melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang
Pencipta[12].
Oleh karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan
sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri,
yang diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir. Tetapi
karena manusia terlukai oleh dosa, ia mengalami pemberontakan pada badannya.
Maka dari itu martabat manusia sendiri menuntut, supaya ia meluhurkan Allah
dalam badannya[13], dan jangan membiarkan badan itu melayani
kecondongan-kecondongan hatinya yang baik.
Akan tetapi manusia tidak salah,
bila ia menyadari keunggulannya terhadap hal-hal jasmani, dan tidak sekedar
memandang dirinya sebagai sebagian kecil saja dalam alam tercipta, atau sebagai
unsur tak bernama dalam masyarakat manusia. Sebab dengan hidup batinnya ia
melampaui semesta alam. Ia kembali kepada hidup batinnya yang mendalam itu,
bila ia berbalik kepada hatinya; disitulah Allah yang menyelami lubuk hati[14]
menantikannya; di situ pula ia mengambil keputusan tentang nasibnya sendiri di
bawah pandangan Allah. Maka dari itu, dengan menyadari bahwa jiwa dalam dirinya
bersifat rohani dan kekal abadi, ia tidak tertipu oleh khayalan yang
menyesatkan dan timbul dari kondisi-kondis fisik atau sosial semata-mata,
melainkan sebaliknya ia justru menjangkau kebenaran yang terdalam.
15. (Martabat akalbudi, kebenaran
dan kebijaksanaan)
Sungguh tepatlah pandangan manusia
yang ikut menerima pandangan budi ilahi, bahwa dengan akalbudinya ia melampaui
seluruh alam. Memang, dengan mengerahkan tanpa kenal lelah kecerdasan nalarnya
di sepanjang zaman, ia telah mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan empiris,
dalam ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Tetapi pada zaman
sekarang ini ia telah mencapai hasil-hasil yang gemilang terutama dengan menyelidiki
alam bendawi serta menakhlukkannya kepada dirinya. Tetapi ia terus mencari dan
menemukan kebenaran yang semakin mendalam. Sebab pemahamannya tidak terbatas
pada gejala-gejala melulu, melainkan mampu menangkap dengan sungguh pasti
kenyataan yang terbuka bagi budi manusia, meskipun akibat dosa akal budi itu
sebagian telah menjadi kabur dan lemah.
Akhirnya kodrat nalariah pribadi
manusia disempurnakan melalui kebijaksanaan, yang dengan cara yang menyenangkan
menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai apa yang serba benar dan baik.
Dengan kebijaksanaan itu manusia diantar melalui alam yang kelihatan kepada
kenyataan yang tidak kelihatan.
Adapun zaman kita sekarang, lebih
dari abad-abad sebelum ini, membutuhkan kebijaksanaan itu, supaya apa saja yang
ditemukan baru oleh manusia menjadi lebih manusiawi. Sebab bila tidak bangkit
orang-orang yang lebih bijaksana, nasib dunia di kemudian hari terancam bahaya.
Kecuali itu perlu diperhatikan, bahwa pelbagai bangsa, yang memang lebih miskin
harta ekonominya, tetapi lebih kaya kebijaksanaan, dapat menyumbangkan jasanya
yang sungguh besar kepada bangsa-bangsa lain.
Berkat kurnia Roh Kudus, manusia
dalam iman makin mendekat untuk berkontemplasi tentang misteri Rencana ilahi
serta menikmatinya[15].
16. (Martabat hati nurani)
Di lubuk hatinya manusia menemukan
hukum, yang tidak di terimanya dari dirinya sendiri, melainkan harus
ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan
melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana
perlu, suara itu menggema dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu.
Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya
ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukum itu pula ia akan diadili[16].
Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia
seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam batinnya[17].
Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang dilaksanakan dalam cinta
kasih terhadap Allah dan terhadap sesama[18].
Atas kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama
lainnya untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan
sekian banyak persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun
dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pengaruh hati nurani
yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok
menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk
mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah
terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi,
tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang,
yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan
berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.
17. (Keluhuran kebebasan)
Adapun manusia hanya dapat berpaling
kepada kebaikan bila ia bebas. Kebebasan itu oleh orang-orang zaman sekarang
sangat dihargai serta dicari penuh semangat, dan memang tepatlah begitu. Tetapi
sering pula orang-orang mendukung kebebasan dengan cara yang salah, dan
mengartikannya sebagai kesewenang-wenangan untuk berbuat apa pun sesuka
hatinya, juga kejahatan. Sedangkan kebebasan yang sejati merupakan tanda yang
mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah bermaksud menyerahkan
manusia kepada keputusannya sendiri[19],
supaya ia dengan sekarela mencari Penciptanya, dan dengan mengabdi kepada-Nya
secara bebas mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan. Maka martabat
manusia menuntut, supaya ia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas,
artinya: digerakkan dan di dorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena
rangsangan hati yang buta, atau semata-mata paksaan dari luar. Adapun manusia
mencapai martabat itu, bila ia membebaskan diri dari segala penawanan
nafsu-nafsu, mengejar tujuannya dengan secara bebas memilih apa yang baik,
serta dengan tepat-guna dan jerih-payah yang tekun mengusahakan
sarana-sarananya yang memadai. Kebebasan manusia terluka oleh dosa; maka hanya
berkat bantuan rahmat Allah mampu mewujudkan secara konkrit nyata arah-gerak hatinya
kepada Allah. Adapun setiap orang harus mempertanggungjawabkan perihidupnya
sendiri di hadapan takhta pengadilan Allah, sesuai dengan perbuatannya yang
baik maupun yang jahat[20].
18. (Rahasia maut)
Di hadapan mautlah teka-teki
kenyataan manusia mencapai puncaknya. Manusia sungguh menderita bukan hanya
karena rasa sakit dan semakin rusaknya badan, melainkan juga, bahkan lebih
lagi, karena rasa takut akan kehancuran yang definitif. Memang wajarlah
perasaan berdasarkan naluri hatinya, bila ia mengelakkan dan menolak kehancuran
total dan tamatnya riwayat pridadinya untuk selamanya. Tetapi benih keabadian
yang dibawanya serta tidak dapat dikembalikan kepada kejasmanian belaka, maka
memberontak melawan maut. Segala upaya keahlian tehnis, kendati sangat berguna,
tidak mampu meredakan kegelisahan manusia. Sebab lanjutnya usia yang
diperpanjang secara biologis pun tidak dapat memuaskan kerinduannya akan hidup
di akhirat, yang berurat akar dalam hatinya dan pantang hancur.
Sementara kenyataan maut sama sekali
tidak terbayangkan, Gereja yang diterangi oleh perwahyuan ilahi menyatakan,
bahwa manusia diciptakan oleh Allah untuk tujuan penuh kebahagiaan, melampaui
batas-batas kemalangan di dunia. Kecuali itu kematian badan, yang dapat di
hindari seandainya manusia tidak berdosa[21],
menurut iman kristiani akan dikalahkan, karena manusia akan dipulihkan oleh Sang
Penyelamat yang mahakuasa dan penuh belas kasihan kepada keselamatan, yang
telah hilang karena kesalannya. Sebab Allah telah dan tetap memanggil manusia,
untuk dengan seutuh kodratnya bersatu dengan Allah dalam persekutuan
kekal-abadi kehidupan ilahi yang tak kenal binasa. Kejayaannya itu di rebut
oleh Kristus, yang dengan wafat-Nya membebaskan manusia dari maut, dan telah
bangkit untuk kehidupan[22].
Maka kepada setiap orang, yang dalam kecemasannya tentang nasibnya dikemudian
hari merenungkan semua itu, iman yang di sajikan dengan dasar-dasar pemikiran
yang tangguh menyampaikan jawaban. Sekaligus iman membuka kemungkinan baginya
untuk dalam Kristus berkomunikasi dengan saudara-saudaranya terkasih yang sudah
direnggut oleh maut, seraya menumbuhkan harapan, bahwa mereka telah menerima
kehidupan sejati di hadirat Allah.
19. (Bentuk-bentuk dan akar-akar
ateisme)
Makna paling luhur martabat manusia
terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah. Sudah sejak
asal mulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia
hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cinta kasih-Nya, dan
lestari hidup berkat cinta kasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup
menurut kebenaran, bila ia tidak dengan sukarela mengakui cinta kasih itu,
serta menyerahkan diri kepada Penciptanya. Akan tetapi banyak diantara
orang-orang zaman sekarang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang
mesra dengan Allah itu atau tegas-tandas menolaknya, sehingga sekarang ini
ateisme memang termasuk kenyataan yang paling gawat, dan perlu di selidiki
dengan lebih cermat.
Istilah “ateisme” menunjuk kepada
gejala-gejala yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Sebab ada sekelompok
orang yang jelas-jelas mengingkari Allah; ada juga yang beranggapan bahwa
manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Dia; ada pula yang
menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga
masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui
batas-batas ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan segala
sesuatu dengan cara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama sekali
tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung tinggi
manusia sedemikian rupa, sehingga iman akan Allah seolah-olah lemah tak
berdaya; Agaknya mereka lebih cenderung untuk mengukuhkan kedudukan manusia
dari pada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian
rupa, sehingga hasil khayalan yang mereka tolak itu memang sama sekali bukan
Allah menurut Injil. Orang-orang lain bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang Allah pun tidak, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan
keagamaan, atau juga tidak menangkap mengapa masih perlu mempedulikan agama.
Selain itu ateisme tidak jarang timbul atau dari sikap memprotes keras
kejahatan yang berkecamuk di dunia, atau karena secara tidak masuk akal klaim
sifat mutlak dikenakan pada nilai manusiawi tertentu, sehingga nilai-nilai itu
sudah dianggap menggantikan Allah. Peradaban zaman sekarang pun, bukannya dari
diri sendiri, melainkan karena terlalu erat terjalin dengan hal-hal duniawi,
acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati Allah.
Memang, mereka yang dengan sengaja
berusaha menjauhkan Allah dari hatinya serta menghindari soal-soal keagamaan,
tidak mengikuti suara hati nurani mereka, maka bukannya tanpa kesalahan. Akan
tetapi kaum beriman sendiripun sering memikul tanggung jawab atas kenyataan
itu. Sebab ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asli,
melainkan lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga
karena reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun di berbagai daerah terhadap
agama kristiani. Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu Umat beriman dapat
juga tidak kecil peran sertanya, yakni: sejauh mereka – dengan melalaikan
pembinaan iman, atau dengan cara memaparkan ajaran yang sesat, atau juga karena
cacat-cela mereka dalam kehidupan keagamaan, moral dan kemasyarakatan – harus
dikatakan lebih menyelebungi dari pada menyingkapkan wajah Allah yang sejati
maupun agama yang sesungguhnya.
20. (Ateisme sistematis)
Sering pula ateisme modern
mengenakan bentuk sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, ateisme
sistematis itu mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh, sehingga
menimbulkan kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang manapun juga.
Mereka yang menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa
kebebasan berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; ialah
satu-satunya perancang dan pelaksana riwayatnya sendiri. Menurut anggapan
mereka itu tidak dapat diselaraskan dengan pengakuan Tuhan sebagai Pencipta dan
tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya pernyataan semacam itu percuma
saja. Ajaran itu di dukung oleh perasaan berkuasa, yang ditanam pada manusia
oleh kemajuan teknologi zaman sekarang.
Di antara bentuk-bentuk ateisme
zaman sekarang janganlah dilewatkan bentuk, yang mendambakan pembebasan manusia
terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu
mempertahankan, bahwa agama dan hakekatnya merintangi kebebasan itu, sejauh
menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu saja,
dan mengelakkannya dari pembangunan masyarakat dunia. Maka dari itu para
pendukung ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan
sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan
menggunakan upaya-upaya untuk menekan, yang ada ditangan pemerintah, terutama
dalam pendidikan kaum muda.
21. (Sikap Gereja menghadapi
ateisme)
Dalam kesetiaannya terhadap Allah
dan terhadap manusia Gereja tidak dapat lain kecuali tiada hentinya, dengan
sedih tetapi juga dengan amat tegas, mengecam ajaran-ajaran maupun
tindakan-tindakan yang berbahaya itu, yang bertentangan dengan akal budi dan
pengalaman umum manusiawi, dan meruntuhkan manusia dari keluhurannya menurut
asalnya, sebagaimana sebelum ini Gereja telah mengecamnya[23].
Tetapi Gereja berusaha menggali
sebab musababnya yang terselubung, mengapa dalam pemikiran kaum ateis Allah
diingkari. Karena menyadari menyadari beratnya masalah-persoalan yang ditimbulakan
oleh ateisme, dan karena terdorong oleh cinta kasih terhadap semua orang,
Gereja berpandangan, bahwa soal-soal itu perlu di selidiki secara serius dan
lebih mendalam.
Gereja berpendirian, bahwa pengakuan
terhadap Allah sama sekali tidak berlawanan dengan martabat manusia, sebab
martabat itu di dasarkan pada Allah sendiri dan di sempurnakan di dalam-Nya.
Sebab oleh Allah Pencipta manusia ditempatkan dalam masyarakat sebagai ciptaan
yang berakalbudi dan berkehendak bebas. Tetapi terutama manusia dipanggil
sebagai putera untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah dan ikutserta
menikmati kebahagiaan-Nya. Selain itu Gereja mengajarkan, bahwa karena harapan
akan zaman terakhir tugas-tugas duniawi bukannya berkurang pentingnya;
melainkan penunaiannya justru diteguhkan dengan motivasi-motivasi yang baru.
Sebaliknya, bila tidak ada dasar ilahi dan harapan akan hidup kekal, martabat
manusia menanggung luka-luka amat berat, seperti sekarang ini ternyata; lagi
pula teka-teki kehidupan dan kematian, kesalahan maupun penderitaan, tetap
tidak terpecahkan, sehingga tidak jarang orang-orang terjerumus ke dalam rasa
putus asa.
Sementara itu setiap orang bagi
dirinya sendiri tetap menjadi masalah yang tidak terselesaikan, ditangkap
samar-samar. Sebab pada saat-saat tertentu, terutama pada peristiwa-peristiwa
hidup yang agak penting, tidak seoarang pun mampu menghindari sama sekali
pernyataan tersebut di atas. Persoalan itu hanya Allah-lah yang dapat menjawab
sepenuhnya dan dengan sepasti-pastinya, Dia yang memanggil manusia ke arah
pemikiran yang lebih mendalam dan penyelidikan yang lebih rendah hati.
Adapun penawar bagi ateisme harus
diharapkan dari ajaran yang di paparkan dengan baik, maupun dari perihidup
Gereja serta para anggotanya secara menyeluruh. Sebab panggilan Gerejalah
menghadirkan dan seperti mengejawantahkan Allah Bapa beserta Putera-Nya yang
menjelma, dengan terus menerus membaharui dan membersihkan diri di bawah
bimbingan Roh Kudus[24].
Itu terutama terlaksana melalui kesaksian iman yang hidup dan dewasa, artinya
telah dibina untuk mampu menangkap dengan jelas kesulitan-kesulitan yang muncul
dan mengatasinya. Kesaksian iman yang gemilang itu di masa silam dan sekarang
ini disampaikan oleh amat banyak saksi iman. Iman itu harus menampakkan
kesuburannya dengan merasuki seluruh hidup kaum beriman, juga hidup mereka yang
profan, dan dengan menggerakkan mereka untuk menegakkan keadilan dan
mengamalkan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin. Akhirnya untuk
menampilkan kehadiran Allah sangat mendukunglah kasih persaudaraan Umat
beriman, yang sehati sejiwa berjuang demi iman yang bersumber pada Injil[25],
serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan.
Akan tetapi Gereja, sungguh pun sama
sekali menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan, bahwa semua orang,
beriman maupun tidak, harus menyumbangkan jasa untuk membangun dengan baik
dunia ini, yang merupakan tempat kediaman mereka bersama. Tentu saja itu tidak
dapat terlaksana tanpa perundingan yang tulus dan bijaksana. Maka Gereja juga
menyesalkan diskrimanasi antara kaum beriman dan kaum tak beriman, yang secara
tidak adil diberlakukan oleh beberapa pemimpin negara, yang tidak mengakui
hak-hak asasi pribadi manusia. Adapun bagi Umat beriman Gereja sungguh-sungguh
menghendaki kebebasan yang efektif, supaya mereka diizinkan juga untuk
mendirikan kenisah Allah di dunia ini. Dengan tulus hati Gereja mengundang kaum
ateis, untuk mempertimbangkan Injil Kristus dengan hati terbuka.
Sebab bila Gereja mengembalikan
harapan kepada mereka, yang karena putus asa sudah tidak berpikir lagi tentang
perbaikan mutu hidup mereka, dan dengan demikian membela martabat panggilan manusia,
Gereja sungguh yakin, bahwa amanatnya menanggapi dambaan-dambaan hati manusia
yang paling rahasia. Pesan itu bukannya mengurangi harkat manusia, melainkan
melimpahkan terang, kehidupan dan kebebasan demi kemajuannya; dan selain itu
tiada sesuatu pun yang dapat memuaskan hati manusia: “Engkau telah menciptakan
kami untuk Dikau”, ya Tuhan, “dan gelisahlah hati kami, sebelum beristirahat
dalam Dikau[26].