Rabu, 22 Januari 2020

DARI KUNJUNGAN EKARISTIK MENUJU PENGHIDUPAN EKARISTIS DI KOMUNITAS BASIS GEREJANI

BY Paroki San Juan IN




            Pasca Sinode VI, Oktober 2012 kala itu, Gereja Lokal Keuskupan Larantuka mulai fokus pada “misi-misinya”. Salah satu misinya adalah membangun Komunitas Basis Gerejani sebagai komunitas iman, harap dan kasih, yang hidup dari sabda dan sakramen, partisipatif, integratif, dan transformatif. Untuk mencapai misi tersebut, Komunitas Basis Gerejani dipilih sebagai pilihan strategi pastoralnya.
Di dalamnya, Komunitas Basis Gerejani “dibabtis” menjadi lokus dan fokus pastoral sehingga dia menjadi ruang bagi seluruh aktivitas semua orang yang beriman kepada Allah dan menghayati diri sebagai murid-murid Kristus. “Aktivitas semua orang beriman” itu berpuncak pada ekaristi.[1] Di balik gagasan sederhana ini, penulis hendak menggali kekayaan makna ekaristi yang pada gilirannya boleh menjadi spirit dasar dari usaha pengembangan Komunitas Basis Gerejani.
Salah satu bentuk ungkapan agama yang paling sempurna di samping doa ialah kurban. Bagi orang-orang Katolik dan banyak orang Kristen lainnya kurban dalam arti paling luhur adalah kurban Ekaristi. Dalam rupa roti dan anggur, Kristus mengurbankan diri-Nya sendiri di atas altar kepada Bapa di surga, dan orang-orang Kristen menggabungkan diri mereka dengan Dia dalam kurban ini sebagai anggota-anggota-Nya, dan menjadikannya sebagai bentuk ungkapan milik mereka sendiri.[2]
Ekaristi adalah juga suatu sumber rahmat dan pengudusan bagi orang-orang yang ambil bagian di dalamnya. Sebagai kenangan akan hidup, kematian dan kebangkitan Kristus, ekaristi merupakan sarana yang paling menonjol untuk mengakui iman bersama dalam Kristus, seraya memupuk serta memperdalamnya.[3] Ekaristi mengilhami umat beriman untuk menjadi satu hati dalam kasih, bertumbuh dalam amal kasih serta melaksanakan dalam perbuatan apa yang mereka akui dalam syahadat.[4] Bagi orang-orang Katolik, ekaristi merupakan perayaan utama yang dengannya orang Katolik menjadi diri mereka yang sesungguhnya.
Cikal bakal ekaristi dapat ditelusuri dalam Kitab Suci. Kitab Keluaran memuat perintah Tuhan, “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, namun hari ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu;  maka jangan melakukan suatu pekerjaan. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Kel. 20: 8-11).
“Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat!” Hari Sabat, apa hubungannya dengan ekaristi? Pada mulanya hari Sabat hanyalah sebuah hari istirahat. Sabat berkembang menjadi sebuah hari kebaktian di mana kurban-kurban tambahan dipersembahkan (Bil. 28: 9-10), roti-roti sajian dibarui (Im 24:5-8), dan umat berkumpul dalam sebuah pertemuan kudus (Im. 23: 3,37-38). [5]
Sejak saat itu hari Sabat telah memiliki sebuah ciri keagamaan.[6] Itulah hari yang dikuduskan oleh Allah (Kel. 20: 11). Itulah pula hari Tuhan (Im. 23: 3). Karenanya, ketaatan terhadap aturan hari Sabat merupakan kewajiban yang mengikat. Pelanggaran atasnya bisa dihukum mati (Kel. 31: 14-17; Bil. 15: 32-36). Para nabi menganggap ketaatan terhadap aturan Sabat sebagai prasyarat bagi berkat-berkat Yahwe (Yes. 58: 13-14; Yer. 17: 19-27; Yeh. 20:13).[7]
Pada permulaan keberadaan Gereja, hari Minggu menjadi hari yang berdampingan dengan hari Sabat (Kis. 2: 42-47). Yesus sendiri menghormati hari Sabat (Luk. 4:16), dan Ia menempatkan manusia di atas hari Sabat (Mrk. 2: 23-28;3: 1-5; Luk. 13: 10-17). Pertemuan-pertemuan pada hari Sabat di dalam sinagoga-sinagoga dimanfaatkan untuk karya evangelisasi di antara orang-orang Yahudi (Kis. 13: 14;16: 13; 17: 2; 18:4).
Namun sejak saat-saat paling awal keberadaan Gereja, hari Minggu sudah dikhususkan oleh jemaat Kristen muda itu sebagai hari kebaktian mereka yang sebenarnya. Tidak lama berselang kebaktian pada hari Minggu seluruhnya mengggantikan kebaktian pada hari Sabat, dan ketika tiga ratus tahun kemudian agama Kristen secara resmi diakui oleh negara, maka hari Minggu menjadi hari istirahat umum. Teolog Karl-Heinz Peschke katakan “Perjanjian Baru telah mengakhiri hari Sabat dari Perjanjian Lama, namun sebagai suatu model Sabat mendapat kegenapannya di dalam Kristus”.[8]
Menurut pemikiran Karl-Heinz Peschke, perayaan-perayaan Kristen pada hari Minggu berasal dari keyakinan bahwa Kristus yang bangkit ingin bertemu dengan umat-Nya pada hari ini. Semua penginjil menekankan pentingnya kenyataan bahwa Kristus bangkit dari kematian-Nya, dan bertemu dengan murid-muridNya “pada hari pertama dalam minggu” (Mat. 28: 1; Mrk. 16: 2; Luk. 24: 1; Yoh. 20: 1-19). Selain itu juga pada hari Minggu Ia menampakkan diriNya kepada mereka satu minggu kemudian (Yoh. 20: 26). St. Lukas menuliskan bahwa turunnya Roh Kudus, lima puluh hari kemudian, juga persis jatuh pada sebuah hari Minggu.[9]
Pada saat penampakkan-Nya Tuhan memecah-mecahkan roti bersama dengan rasul-rasulNya dan makan bersama mereka (Luk. 24: 30; Yoh. 21: 9-13). Hal ini mengingatkan perjamuan Ekaristi yang Kristus telah tetapkan pada malam kesengsaraanNya, dan yang diminta dari para murid-Nya untuk dilaksanakan sebagai kenangan akan Dia. St. Lukas mengemukakan dalam salah satu tulisannya bahwa “pada hari pertama dalam minggu...kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti” (Kis. 20: 7). Teks ini mengisyaratkan bahwa hal tersebut bukan sekadar perkumpulan yang terlaksana secara kebetulan, melainkan suatu kebiasaan yang sudah menjadi tradisi.[10]
Dari sabat yang sekular, dari sekedar hari istirahat, ekaristi “dilahirkan”. Dan oleh Gereja zaman sekarang, ekaristi dipandang sebagai sumber dan puncak kehidupan Gereja.[11] Konsili Vatikan II melihat bahwa ekaristi merupakan sumber dan puncak seluruh kehidupan Gereja. Ekaristi menyatu dengan seluruh bidang kehidupan kristiani dan kehidupan sehari-hari.
Hal senada disebutkan pula dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium, artikel 11. “Dengan ikut serta dalam kurban ekaristi, sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba ilahi dan diri sendiri bersama denganNya kepada Allah; demikianlah semua menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing-masing dengan caranya sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh Kristus dan perjamuan suci, mereka secara konkret menampilkan kesatuan umat Allah, yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan secara mengagumkan”.[12]
Ketika Komunitas Basis Gerejani menjadi lokus dan fokus pastoral di Keuskupan Larantuka, ekaristi mendapat “posisi terhormat” di dalamnya. Di 49 paroki di Keuskupan Larantuka, ekaristi mulai diusahakan untuk dirayakan di Komunitas Basis Gerejani. Kalau sebelumnya, anggota KBG-lah yang bergerak ke Kepela Lingkungan atau Stasi dan Gereja Paroki, kini anggota Komunitas Basis Gerejani merayakan ekaristi di komunitasnya.[13] Dari catatan-catatan di atas, hemat penulis, ada beberapa titipan aplikatif dari ekaristi yang boleh dicerna bagi Komunitas Basis Gerejani.  
Pertama, dengan merayakan ekaristi umat menggabungkan diri dalam kurban Kristus. Dalam perayaan ekaristi, kata-kata yang paling terngiang adalah “Terimalah dan makanlah; inilah Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu.” Juga, “Terimalah dan minumlah: Inilah piala darah-Ku, darah Perjanjian Baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan dosa”  (lihat Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25). Ini merupakan kata-kata Kristus sendiri yang “dikenang kembali” di meja kurban, meja ekaristi di Gereja dan Komunitas Basis Gerejani. Di saat umat menerima tawaran “terimalah dan makanlah” dan “terimalah dan minumlah”, di saat itulah umat menggabungkan diri di dalam kurban Kristus. Kristus telah berkurban dan pada saatnya umat beriman, pengikutNya, “berkurban bagi kehidupannya dan kehidupan sesamanya” sekomunitas basis.
Melalui komunio itu, umat beriman menyatukan diri dengan Kristus yang terlaksana melalui roti dan anggur.[14] Dengan menyambut komuni, secara sakramental orang beriman betul-betul dipersatukan dengan Kristus dan memiliki hidup dalam Yesus. Karena itu, dalam kesatuan tersebut, yang menentukan hidup manusia bukan lagi pribadi manusia itu sendiri tetapi Yesus yang berdiam di dalam dirinya.[15] Kurban Kristus menjadi pula kurban para pengikutNya yang berdiam dan bergabung sebagai anggota Komunitas Basis Gerejani.
Kedua, ekaristi mengilhami umat beriman untuk menjadi satu hati dalam kasih, bertumbuh dalam amal kasih dan mengamalkannya dalam tindakan kasih. Setelah bersatu dengan Kristus dalam roti dan anggur, para umat beriman diutus “merayakan” apa yang ditimbanya dalam perayaan dalam kehidupan nyata di tengah dunia, di dalam Komunitas Basis Gerejani yang sarat dengan pelbagai persoalan kemanusiaan.  
Perayaan ekaristi ditutup dengan kata-kata: “Pergilah, kita diutus“.Sesudah mengalami karya penebusan Tuhan yang dikenangkan dan dirayakan dalam perayaan ekaristi, umat beriman diutus untuk menghadirkan karya penebusan Tuhan itu dalam kehidupan sehari-hari, dalam pelayanan yang konkret kepada sesama dan dunia Komunitas Basis Gerejaninya.  
Ketiga, persembahan diri. Di kayu salib, Kristus telah “memberi diriNya” demi keselamatan manusia. Di atas meja ekaristi, kisah kasih Kristus dikenang. Di tengah kehidupan di Komunitas Basis Gerejani, orang beriman “merayakan” apa yang dikenang itu. Siapa saja yang menghayati hidup ekaristis, menjadi ekaristi bagi sesama, entah dia seorang imam, biarawan, biarawati, guru, dokter, perawat, orangtua dan lain sebagainya, haruslah melakukan tugas pelayanannya dalam kasih yang sejati.
Membawa “ekaristi” ke tengah Komunitas Basis Gerejani bukanlah sekedar sebuah “gerakan bersama” untuk mengumatkan ekaristi. Lebih dari itu, Gereja Keuskupan Larantuka hendak “bergerak ke pinggiran jalan lain” untuk menjadikan ekaristi sebagai bagian dari kehidupan umat berimannya. Maka benar jika tulisan ini mencoba menggagas secara sederhan: dari kunjungan ekaristik menuju penghidupan ekaristis.


Sumber Bacaan:
Embuiru, P. Herman. (Penterj.), Katekismus Gereja Katolik . Ende: Nusa Indah, 1995.
Hardawiryana, R. (Penterj.), Dokumen Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.
Jakobs, Tom. Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya Tom Jacobs Menjawab, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Konferensi Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius,1996.
Martasudjita, E. Pr, Ekaristi. Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, Kanisius: Yogyakarta, 2005.
Peschke, Karl-Heinz. Etika Kristiani Jilid II, Maumere:Ledalero, 2003.
Da Cunha, Bosco, O.Carm, Merayakan Karya Penyelamatan Dalam Kerangka Tahun Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1992.




[1] Bdk. Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 10 dalam R. Hardawiryana (Penterj.), Dokumen Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), hal. 7-8.
[2] Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 47 dan 48, dalam Op.Cit. hal. 21.
[3] Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 33, dalam Op.Cit., hal. 15.
[4] Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 10, dalam Op.Cit., hal. 7.
[5] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani Jilid II (Maumere:Ledalero, 2003), hal. 183.
[6] Ibid., hal. 184.
[7] Ibid., 185.
[8] Ibid.
[9] Ibid., 186.
[10] Ibid.
[11] E. Martasudjita, Pr, Ekaristi. Tinjauan Teologis, Liturgis, dan Pastoral, (Kanisius: Yogyakarta, 2005), hal. 301-302. 
[12] Konstitusi Dogmatis tentang Gereja no.11 dalam R. Hardawiryana (Penterj.), Dokumen Vatikan II (Jakarta: Obor, 1993), hal. 79.
[13] Penulis berdomisili di Paroki San Juan Lebao Dekenat Larantuka. Di lingkup paroki, penulis berperan sebagai Sekretaris Dewan Pastoral Paroki. Di Paroki San Juan, pengurus DPP terlibat penuh dan disebarkan ke setiap Komunitas Basis Gerejani di setiap lingkungan untuk “menemani” tim pastor untuk kunjungan ekaristik di setiap Komunitas Basis Gerejani. Dalam “perjumpaan pastoral ekaristik” itu, terjadi pula dialog-diskui antara umat dan para pemimpinnya berkaitan dengan program pastoral paroki dan masalah-masalah sosial yang terjadi di tingkat paroki.
[14] Tom Jakobs, Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya Tom Jacobs Menjawab, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 101.
[15] Ibid, hal. 104.