Pasca Sinode VI, Oktober 2012 kala itu, Gereja Lokal Keuskupan Larantuka mulai fokus pada
“misi-misinya”. Salah satu misinya adalah membangun Komunitas Basis Gerejani sebagai komunitas iman, harap dan kasih, yang hidup
dari sabda dan sakramen, partisipatif, integratif, dan transformatif. Untuk mencapai misi tersebut, Komunitas Basis Gerejani
dipilih sebagai pilihan strategi pastoralnya.
Di dalamnya,
Komunitas Basis Gerejani “dibabtis” menjadi lokus dan fokus pastoral sehingga
dia menjadi ruang bagi seluruh aktivitas semua orang yang beriman kepada Allah
dan menghayati diri sebagai murid-murid Kristus. “Aktivitas semua orang
beriman” itu berpuncak pada ekaristi.[1] Di
balik gagasan sederhana ini, penulis hendak menggali kekayaan makna ekaristi
yang pada gilirannya boleh menjadi spirit dasar dari usaha pengembangan
Komunitas Basis Gerejani.
Salah satu
bentuk ungkapan agama yang paling sempurna di samping doa ialah kurban. Bagi
orang-orang Katolik dan banyak orang Kristen lainnya kurban dalam arti paling
luhur adalah kurban Ekaristi. Dalam rupa roti dan anggur, Kristus mengurbankan
diri-Nya sendiri di atas altar kepada Bapa di surga, dan orang-orang Kristen
menggabungkan diri mereka dengan Dia dalam kurban ini sebagai
anggota-anggota-Nya, dan menjadikannya sebagai bentuk ungkapan milik mereka
sendiri.[2]
Ekaristi
adalah juga suatu sumber rahmat dan pengudusan bagi orang-orang yang ambil
bagian di dalamnya. Sebagai kenangan akan hidup, kematian dan kebangkitan
Kristus, ekaristi merupakan sarana yang paling menonjol untuk mengakui iman
bersama dalam Kristus, seraya memupuk serta memperdalamnya.[3] Ekaristi mengilhami umat beriman untuk menjadi satu hati
dalam kasih, bertumbuh dalam amal kasih serta melaksanakan dalam perbuatan apa
yang mereka akui dalam syahadat.[4] Bagi orang-orang Katolik, ekaristi merupakan perayaan utama
yang dengannya orang Katolik menjadi diri mereka yang sesungguhnya.
Cikal bakal
ekaristi dapat ditelusuri dalam Kitab Suci. Kitab Keluaran memuat perintah
Tuhan, “Ingatlah dan
kuduskanlah hari Sabat: enam hari
lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, namun hari
ketujuh adalah hari Sabat Tuhan, Allahmu; maka jangan melakukan suatu pekerjaan. Sebab enam hari lamanya Tuhan menjadikan langit dan bumi,
laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh; itulah sebabnya
Tuhan memberkati hari Sabat dan menguduskannya” (Kel. 20: 8-11).
“Ingatlah
dan kuduskanlah hari Sabat!” Hari Sabat, apa hubungannya dengan ekaristi? Pada
mulanya hari Sabat hanyalah sebuah hari istirahat. Sabat berkembang menjadi
sebuah hari kebaktian di mana kurban-kurban tambahan dipersembahkan (Bil. 28: 9-10),
roti-roti sajian dibarui (Im 24:5-8), dan umat berkumpul dalam sebuah pertemuan
kudus (Im. 23: 3,37-38). [5]
Sejak saat
itu hari Sabat telah memiliki sebuah ciri keagamaan.[6]
Itulah hari yang dikuduskan oleh Allah (Kel. 20: 11). Itulah pula hari Tuhan (Im. 23: 3). Karenanya,
ketaatan terhadap aturan hari Sabat merupakan kewajiban yang mengikat.
Pelanggaran atasnya bisa dihukum mati (Kel. 31: 14-17; Bil. 15: 32-36). Para
nabi menganggap ketaatan terhadap aturan Sabat sebagai prasyarat bagi
berkat-berkat Yahwe (Yes. 58: 13-14; Yer. 17: 19-27; Yeh. 20:13).[7]
Pada
permulaan keberadaan Gereja, hari Minggu menjadi hari yang berdampingan dengan
hari Sabat (Kis. 2: 42-47).
Yesus sendiri menghormati hari Sabat (Luk. 4:16), dan
Ia menempatkan manusia di atas hari Sabat (Mrk. 2:
23-28;3: 1-5; Luk. 13: 10-17). Pertemuan-pertemuan pada hari Sabat di dalam
sinagoga-sinagoga dimanfaatkan untuk karya evangelisasi di antara orang-orang
Yahudi (Kis. 13: 14;16: 13; 17: 2; 18:4).
Namun sejak
saat-saat paling awal keberadaan Gereja, hari Minggu sudah dikhususkan oleh
jemaat Kristen muda itu sebagai hari kebaktian mereka yang sebenarnya. Tidak
lama berselang kebaktian pada hari Minggu seluruhnya mengggantikan kebaktian
pada hari Sabat, dan ketika tiga ratus tahun kemudian agama Kristen secara
resmi diakui oleh negara, maka hari Minggu menjadi hari istirahat umum. Teolog Karl-Heinz
Peschke katakan “Perjanjian Baru telah mengakhiri hari Sabat dari Perjanjian
Lama, namun sebagai suatu model Sabat mendapat kegenapannya di dalam Kristus”.[8]
Menurut
pemikiran Karl-Heinz Peschke, perayaan-perayaan Kristen pada hari Minggu
berasal dari keyakinan bahwa Kristus yang bangkit ingin bertemu dengan umat-Nya
pada hari ini. Semua penginjil menekankan pentingnya kenyataan bahwa Kristus
bangkit dari kematian-Nya, dan bertemu dengan murid-muridNya “pada hari pertama
dalam minggu”
(Mat. 28: 1; Mrk. 16: 2; Luk. 24: 1; Yoh. 20: 1-19).
Selain itu juga pada hari Minggu Ia menampakkan diriNya kepada mereka satu
minggu kemudian (Yoh. 20: 26). St.
Lukas menuliskan bahwa turunnya Roh Kudus, lima puluh hari kemudian, juga
persis jatuh pada sebuah hari Minggu.[9]
Pada saat penampakkan-Nya Tuhan memecah-mecahkan roti bersama dengan rasul-rasulNya
dan makan bersama mereka (Luk. 24: 30; Yoh. 21: 9-13). Hal
ini mengingatkan perjamuan Ekaristi yang Kristus telah tetapkan pada malam
kesengsaraanNya, dan yang diminta dari para murid-Nya untuk dilaksanakan sebagai
kenangan akan Dia. St. Lukas mengemukakan dalam salah satu tulisannya bahwa
“pada hari pertama dalam minggu...kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti”
(Kis. 20: 7). Teks ini
mengisyaratkan bahwa hal tersebut bukan sekadar perkumpulan yang terlaksana secara
kebetulan, melainkan suatu kebiasaan yang sudah menjadi tradisi.[10]
Dari sabat
yang sekular, dari sekedar hari istirahat, ekaristi “dilahirkan”. Dan oleh
Gereja zaman sekarang, ekaristi
dipandang sebagai sumber dan puncak kehidupan Gereja.[11]
Konsili Vatikan II melihat
bahwa ekaristi merupakan sumber dan puncak seluruh kehidupan Gereja. Ekaristi
menyatu dengan seluruh bidang kehidupan kristiani dan kehidupan sehari-hari.
Hal senada disebutkan pula dalam Konstitusi
Dogmatis tentang Gereja, Lumen Gentium, artikel 11. “Dengan ikut serta dalam kurban ekaristi,
sumber dan puncak seluruh hidup kristiani, mereka mempersembahkan Anak Domba
ilahi dan diri sendiri bersama denganNya kepada Allah; demikianlah semua
menjalankan peranannya sendiri dalam perayaan liturgis, baik dalam persembahan
maupun dalam komuni suci, bukan dengan campur baur, melainkan masing-masing
dengan caranya sendiri. Kemudian, sesudah memperoleh kekuatan dari tubuh
Kristus dan perjamuan suci, mereka secara konkret menampilkan kesatuan umat Allah,
yang oleh sakramen mahaluhur itu dilambangkan dengan tepat dan diwujudkan
secara mengagumkan”.[12]
Ketika
Komunitas Basis Gerejani menjadi lokus dan fokus pastoral di Keuskupan
Larantuka, ekaristi mendapat “posisi terhormat” di dalamnya. Di 49 paroki di
Keuskupan Larantuka, ekaristi mulai diusahakan untuk dirayakan di Komunitas
Basis Gerejani. Kalau sebelumnya, anggota KBG-lah yang bergerak ke Kepela
Lingkungan atau Stasi dan Gereja Paroki, kini anggota Komunitas Basis Gerejani
merayakan ekaristi di komunitasnya.[13] Dari
catatan-catatan di atas, hemat penulis, ada beberapa titipan aplikatif dari
ekaristi yang boleh dicerna bagi Komunitas Basis Gerejani.
Pertama, dengan
merayakan ekaristi umat menggabungkan diri dalam kurban Kristus. Dalam perayaan
ekaristi, kata-kata yang paling terngiang adalah “Terimalah dan makanlah; inilah
Tubuh-Ku yang diserahkan bagimu.” Juga, “Terimalah dan minumlah: Inilah piala darah-Ku, darah
Perjanjian Baru dan kekal, yang ditumpahkan bagimu dan bagi semua orang demi pengampunan
dosa” (lihat
Mat 26:26-28; Mrk 14:22-24; Luk 22:19-20; 1Kor 11:23-25). Ini merupakan
kata-kata Kristus sendiri yang “dikenang kembali” di meja kurban, meja ekaristi
di Gereja dan Komunitas Basis Gerejani. Di saat umat menerima tawaran “terimalah
dan makanlah” dan “terimalah dan minumlah”, di saat itulah umat menggabungkan
diri di dalam kurban Kristus. Kristus telah berkurban dan pada saatnya umat
beriman, pengikutNya, “berkurban bagi kehidupannya dan kehidupan sesamanya”
sekomunitas basis.
Melalui komunio itu, umat beriman
menyatukan diri dengan Kristus yang terlaksana melalui roti dan
anggur.[14]
Dengan menyambut komuni, secara sakramental orang beriman betul-betul dipersatukan dengan
Kristus dan memiliki hidup dalam Yesus. Karena itu, dalam kesatuan tersebut,
yang menentukan hidup manusia bukan lagi pribadi manusia itu sendiri tetapi
Yesus yang berdiam di dalam dirinya.[15] Kurban Kristus menjadi pula kurban para pengikutNya yang
berdiam dan bergabung sebagai anggota Komunitas Basis Gerejani.
Kedua,
ekaristi mengilhami umat beriman untuk menjadi satu hati dalam kasih, bertumbuh
dalam amal kasih dan mengamalkannya dalam tindakan kasih. Setelah bersatu
dengan Kristus dalam roti dan anggur, para umat beriman diutus “merayakan” apa
yang ditimbanya dalam perayaan dalam kehidupan nyata di tengah dunia, di dalam
Komunitas Basis Gerejani yang sarat dengan pelbagai persoalan kemanusiaan.
Perayaan
ekaristi ditutup dengan kata-kata: “Pergilah, kita diutus“.Sesudah mengalami
karya penebusan Tuhan yang dikenangkan dan dirayakan dalam perayaan ekaristi,
umat beriman diutus untuk menghadirkan karya penebusan Tuhan itu dalam
kehidupan sehari-hari, dalam pelayanan yang konkret kepada sesama dan dunia
Komunitas Basis Gerejaninya.
Ketiga,
persembahan diri. Di kayu salib, Kristus telah “memberi diriNya” demi
keselamatan manusia. Di atas meja ekaristi, kisah kasih Kristus dikenang. Di
tengah kehidupan di Komunitas Basis Gerejani, orang beriman “merayakan” apa
yang dikenang itu. Siapa saja yang menghayati hidup ekaristis, menjadi ekaristi bagi sesama, entah dia
seorang imam, biarawan, biarawati, guru, dokter, perawat, orangtua dan lain
sebagainya, haruslah melakukan tugas pelayanannya dalam kasih yang sejati.
Membawa “ekaristi” ke tengah
Komunitas Basis Gerejani bukanlah sekedar sebuah “gerakan bersama” untuk
mengumatkan ekaristi. Lebih dari itu, Gereja Keuskupan Larantuka hendak
“bergerak ke pinggiran jalan lain” untuk menjadikan ekaristi sebagai bagian
dari kehidupan umat berimannya. Maka benar jika tulisan ini mencoba menggagas
secara sederhan: dari kunjungan ekaristik
menuju penghidupan ekaristis.
Sumber Bacaan:
Embuiru, P. Herman. (Penterj.), Katekismus Gereja Katolik . Ende: Nusa Indah, 1995.
Hardawiryana, R. (Penterj.), Dokumen Vatikan II, Jakarta: Obor, 1993.
Jakobs,
Tom. Perayaan Ekaristi: Umat Bertanya Tom Jacobs
Menjawab,
Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Konferensi
Wali Gereja Indonesia, Iman Katolik: Buku
Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius,1996.
Martasudjita, E. Pr, Ekaristi. Tinjauan Teologis,
Liturgis, dan Pastoral, Kanisius: Yogyakarta, 2005.
Peschke,
Karl-Heinz. Etika Kristiani Jilid II, Maumere:Ledalero, 2003.
Da
Cunha,
Bosco,
O.Carm, Merayakan Karya Penyelamatan
Dalam Kerangka Tahun Liturgi, Yogyakarta: Kanisius, 1992.
[1]
Bdk. Konstitusi Sacrosanctum
Concilium Nomor 10 dalam R.
Hardawiryana (Penterj.), Dokumen Vatikan
II (Jakarta: Obor, 1993), hal. 7-8.
[2]
Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 47 dan 48, dalam Op.Cit. hal. 21.
[3]
Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 33, dalam Op.Cit., hal. 15.
[4]
Konstitusi Sacrosanctum Concilium Nomor 10, dalam Op.Cit., hal. 7.
[5] Karl-Heinz Peschke, Etika Kristiani
Jilid II (Maumere:Ledalero, 2003), hal. 183.
[6] Ibid.,
hal. 184.
[7] Ibid.,
185.
[8] Ibid.
[9] Ibid.,
186.
[10] Ibid.
[11]
E. Martasudjita, Pr, Ekaristi. Tinjauan
Teologis, Liturgis, dan Pastoral, (Kanisius: Yogyakarta, 2005), hal.
301-302.
[12]
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja no.11 dalam R. Hardawiryana (Penterj.), Dokumen Vatikan II (Jakarta: Obor,
1993), hal. 79.
[13]
Penulis berdomisili di Paroki San
Juan Lebao Dekenat Larantuka. Di lingkup paroki, penulis berperan sebagai
Sekretaris Dewan Pastoral Paroki. Di Paroki San Juan, pengurus DPP terlibat
penuh dan disebarkan ke setiap Komunitas Basis Gerejani di setiap lingkungan
untuk “menemani” tim pastor untuk kunjungan ekaristik di setiap Komunitas Basis
Gerejani. Dalam “perjumpaan pastoral ekaristik” itu, terjadi pula dialog-diskui
antara umat dan para pemimpinnya berkaitan dengan program pastoral paroki dan
masalah-masalah sosial yang terjadi di tingkat paroki.
[14]
Tom Jakobs, Perayaan Ekaristi: Umat
Bertanya Tom Jacobs Menjawab, (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal. 101.
[15]
Ibid, hal. 104.