SUMBER-SUMBER AJARAN SOSIAL GEREJA
Oleh: Anselmus D. Atasoge
Adapun sumber-sumber ajaran sosial Gereja
adalah sebagai berikut:
Pertama, Kitab Suci, terutama ke-sepuluh
perintah Allah yang menjadi dasar pengajaran moral dalam Gereja Katolik (lih.
KGK 264-2068). Melalui hukum-hukum Musa di Perjanjian Lama, sesungguhnya kita
dapat mengetahui bahwa Allah memberikan hukum tidak hanya untuk mengatur
penyembahan kepada Allah, tapi juga untuk mengatur kehidupan yang benar antara
sesama keluarga dan masyarakat. Hukum ini yang kemudian disarikan menjadi
“Kasihilah Tuhanmu dengan segenap hatimu dan kekuatanmu… dan kasihilah sesamamu
seperti mengasihi dirimu sendiri” (lih. Mat 22:37-39).
Kedua, pengajaran para Bapa Gereja dan para
Pujangga Gereja (Doctors of the Church), terutama St. Agustinus (354-430)
melalui bukunya The City of God, yang mengatur pengajaran tentang
manusia dan masyarakat; dan St. Thomas Aquinas (1225-1274), dengan bukunya, Summa
Theologiae, di mana bagian yang terbesar dari Summa adalah Teologi
moral/ Moral Theology.
Ketiga, kengajaran dari Bapa Paus, yaitu dari
surat-surat ensiklik dan pengajaran lisan/ dalam homili/ sermon/ pidato.
Pengajaran dari Bapa Paus ini merangkum Kitab Suci dan pengajaran dari para
Bapa Gereja dan Pujangga Gereja. Bapa Paus yang mengajarkannya ajaran sosial
ini kepada dunia adalah merupakan tanda bahwa Kristus tak meninggalkan umat
manusia bagai yatim piatu, namun terus menyertainya dengan ajaran-Nya yang
ditujukan bagi semua orang, demi kebaikan bersama.
Banyak orang sukar melihat bahwa ajaran dari
Bapa Paus merupakan ajaran bagi semua orang, sebab mereka berpikir bahwa Paus
hanya mengajar umat Katolik. Namun sebagai the Vicar of Christ, wakil
Kristus di dunia, sebenarnya, Paus mempunyai tugas untuk mengajar semua orang.
Otoritas Paus dalam mengajarkan doktrin sosial Gereja sifatnya tetap, tidak terpengaruh
‘masa jabatan’. Hal itu berarti: Pertama, Paus yang sekarang ini mengajarkan
sesuatu yang telah menjadi pengajaran Gereja sepanjang sejarah, dan tidak
mengajarkan hal yang baru/ ‘inovasi’ yang dibuatnya sendiri. Kedua, ajaran para
Paus di masa lampau tetap berlaku. Contohnya, surat ensiklikal Centesimus Annus
dari Paus Yohanes Paulus II ditulis berdasarkan Rerum Novarum dari Paus
Leo XIII dan Quadragesimo anno dari Paus Pius XII. Dan yang baru-baru
ini surat ensiklik Caritatis in Veritate dari Paus Benediktus XVI
merupakan pengembangan/ kelanjutan dari surat-surat ensiklik dari para Paus
pendahulunya tersebut. Dalam surat ensikliknya, khususnya Rerum Novarum dan
Centesimus Annus, Paus mendorong dibentuknya kegiatan dan lembaga sosial
dalam masyarakat yang sifatnya untuk mendukung masyarakat itu sendiri, namun
harus dilihat dasarnya, bahwa semua itu adalah untuk menerapkan hukum kasih
dalam masyarakat.
Dalam hal ini Gereja tidak mengajarkan
penemuan suatu sistem bisnis/ pengaturan masyarakat, namun Gereja mengajarkan
prinsip-prinsip dasarnya demi mengarahkan umat manusia kepada kekudusan,
sehingga manusia dapat mencapai tujuan akhirnya, yaitu surga. Semua
perkembangan di dunia tidak boleh menghalangi manusia untuk mencapai tujuan
akhir ini.
Maka dengan demikian, ajaran sosial Gereja
tidak terbatas pada mendirikan rumah sakit atau keterlibatan politik, atau
“teologi sosial politik”. Mungkin ada baiknya jika kita membaca surat ensiklik
Paus Benediktus XVI Caritas in Veritate (In Charity and Truth), sehingga
memperoleh gambaran tentang ajaran sosial Gereja.
ASG berusaha membawakan terang Injil ke dalam
persoalan keadilan sosial (social justice) di tengah jaringan relasi masyarakat
yang begitu kompleks. Dengan kata lain, ASG berusaha mengaplikasikan
ajaran-ajaran Injil ke dalam realitas sosial hidup bermasyarakat di dunia.
Tujuan dari ASG adalah menghadirkan kepada manusia rencana Allah bagi realitas
sekular, menerangi dan membimbing manusia dalam membangun dunia seturut rencana
Tuhan.