PRINSIP-PRINSIP
AJARAN SOSIAL GEREJA
Oleh: Anselmus D. Atasoge
Prinsip-prinsip permanen ajaran sosial Gereja
merupakan intipati ajaran sosial Katolik. Prinsip utamanya adalah martabat pribadi manusia. Prinsip ini menjadi dasar bagi semua prinsip lain serta
isi ajaran sosial Gereja; kesejahteraan umum; subsidiaritas; dan
solidaritas. Prinsip-prinsip ini merupakan ungkapan
tentang seluruh kebenaran mengenai manusia yang diketahui oleh akal budi dan iman, terlahir dari
“perjumpaan di antara pesan Injil dan
tuntutan-tuntutannya yang terangkum dalam perintah utama mengasihi Allah dan sesama dalam keadilan Terutama berkaitan dengan masalah-masalah yang
muncul dari kehidupan masyarakat”.
Prinsip-prinsip ini bercorak umum dan fundamental karena bersangkut
paut
dengan realitas masyarakat dalam
keseluruhannya: dari relasi-relasi yang dekat dan langsung ke relasi-relasi yang diperantarai
politik, ekonomi dan hukum; dari relasi-relasi di antara berbagai komunitas dan kelompok ke
relasi-relasi di antara orang
perorangan dan bangsa-bangsa.
Oleh karena permanensinya dalam
waktu serta universalitas maknanya, Gereja memaparkan prinsip-prinsip
tersebut sebagai parameter rujukan yang
utama dan fundamental untuk menafsir dan menilai fenomena sosial, yang
merupakan sumber yang mutlak diperlukan guna
menyusun kriteria untuk melakukan pemindaian dan orientasi terhadap berbagai interaksi sosial di dalam setiap
bidang.
Prinsip-prinsip fundamental ajaran sosial Gereja ini menyajikan lebih
daripada sekadar suatu warisan refleksi
yang permanen,yang adalah juga
satu bagian hakiki dari pesan Kristen, sebab prinsip-prinsip tersebut menunjukkan jalan-jalan yang mungkin ditempuh
untuk membangun sebuah kehidupan sosial yang baik, autentik dan dibarui.
Prinsip-prinsip ajaran sosial, di dalam
keseluruhannya, merupakan artikulasi
utama dari kebenaran menyangkut masyarakat olehnya setiap hati nurani ditantang dan diajak untuk
berinteraksi dengan setiap hati nurani lainnya dalam kebenaran, dalam tanggung
jawab yang diemban sepenuhnya dengan semua orang dan menyangkut semua orang. Prinsip-prinsip ini menjadi lengkap apabila
ada upaya untuk bertindak sesuai dengannya, demi suatu kehidupan manusia yang
layak.
Prinsip pertama: Kesejahteraan Umum. Kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang
memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk
secara lebih penuh dan lebih
lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”. Sebuah masyarakat yang ingin dan bermaksud tetap melayani manusia
pada setiap
tingkatannya adalah masyarakat yang memiliki kesejahteraan umum (kesejahteraan semua orang dan kesejahteraan
seluruh pribadi) sebagai sasaran utamanya.
Tuntutan-tuntutan
menyangkut kesejahteraan umum bergantung pada kondisi-kondisi sosial dari setiap kurun historis dan terkait secara
erat dengan penghormatan terhadap serta penggalakan atas pribadi dan hak-hak
dasarnya. Tuntutan-tuntutan ini
terutama bersangkut paut dengan komitmen pada perdamaian, penataan berbagai
kekuasaan negara, sistem peradilan yang sehat, perlindungan terhadap lingkungan
hidup serta penyediaan berbagai pelayanan yang hakiki bagi semua orang, yang
beberapa dari antaranya pada saat yang sama merupakan hak asasi manusia: makanan,
perumahan, pekerjaan, pendidikan dan akses kepada kebudayaan,transportasi,
perawatan kesehatan dasar, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, serta
perlindungan terhadap kebebasan beragama. Tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan umum, di samping jatuh
ke masing-masing pribadi, juga menjadi
milik negara, karena kesejahteraan umum adalah alasan sehingga kekuasaan politik itu ada.
Prinsip kedua: Subsidiaritas. Subsidiaritas terbilang di antara
prinsip-prinsip yang paling tetap dan khas dari ajaran sosial Gereja. Prinsip ini pada dasarnya merupakan
sebuah kepedulian; apa saja yang menyokong bentuk ungkapan di pelbagai
bidang kehidupan yang untuknya orang-orang secara spontan terlibat dan yang
memungkinkan mereka untuk menggapai pertumbuhan sosial secara efektif. Berdasarkan prinsip ini, semua lembaga dari
satu tatanan lebih tinggi mesti menerapkan perilaku menolong (“subsidium”) terhadap lembaga-lembaga dari tatanan
lebih rendah.
Implikasi khas dari
prinsip subsidiaritas adalah keterlibatan, yang
secara hakiki diungkapkan dalam
serangkaian kegiatan melaluinya seorang warga negara, entah sebagai individu atau dalam kerja sama dengan
orang-orang lain, entah secara langsung atau melalui perwakilan, memberi andil
bagi kehidupan budaya, ekonomi,
politik dan sosial dari masyarakat sipil di mana ia menjadi anggotanya.
Prinsip ketiga:
Solidaritas. Solidaritas secara khusus menonjolkan hakikat sosial yang
intrinsik dari pribadi manusia, kesetaraan semua orang dalam martabat dan
hak-hak serta jalan bersama individu-individu dan bangsa-bangsa menuju kesatuan
yang semakin kokoh. Solidaritas dilihat
sebagai dua segi yang saling melengkapi, yakni sebagai sebuah prinsip
sosial dan sebuah kebajikan moral.
Solidaritas
merupakan sebuah kebajikan moral yang autentik, dan bukannya merupakan sebuah
“perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena
nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas
berarti tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan
umum, (kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan) karena kita semua
sungguh bertanggung jawab atas semua orang”. Dalam terang iman, solidaritas
berusaha melampaui diri, mengenakan matra-matra khas Kristen yakni kemurahan
hati yang sepenuhnya, pengampunan dan pendamaian. Dalam konteks ini, sesama bukan melulu manusia
beserta hak-haknya sendiri dan kesetaraan mendasar dengan manusia lain mana pun
juga, melainkan menjadi citra yang hidup menyerupai Allah Bapa, ditebus berkat
darah Yesus Kristus, dan tiada hentinya diliputi oleh tindakan Roh Kudus.