Kamis, 30 Januari 2020

PRINSIP-PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA

BY Paroki San Juan


PRINSIP-PRINSIP AJARAN SOSIAL GEREJA
Oleh: Anselmus D. Atasoge

Prinsip-prinsip permanen ajaran sosial Gereja merupakan intipati ajaran sosial Katolik. Prinsip utamanya adalah martabat pribadi manusia. Prinsip ini  menjadi dasar bagi semua prinsip lain serta isi ajaran sosial Gereja; kesejahteraan umum; subsidiaritas; dan solidaritas. Prinsip-prinsip ini merupakan ungkapan tentang seluruh kebenaran mengenai manusia yang diketahui oleh akal budi dan iman, terlahir dari “perjumpaan di antara pesan Injil dan tuntutan-tuntutannya yang terangkum dalam perintah utama mengasihi Allah dan sesama dalam keadilan Terutama berkaitan dengan masalah-masalah yang muncul dari kehidupan masyarakat”.

Prinsip-prinsip ini bercorak umum dan fundamental karena bersangkut paut dengan realitas masyarakat dalam keseluruhannya: dari relasi-relasi yang dekat dan langsung ke relasi-relasi yang diperantarai politik, ekonomi dan hukum; dari relasi-relasi di antara berbagai komunitas dan kelompok ke relasi-relasi di antara orang perorangan dan bangsa-bangsa.

Oleh karena permanensinya dalam waktu serta universalitas maknanya, Gereja memaparkan prinsip-prinsip tersebut sebagai parameter rujukan yang utama dan fundamental untuk menafsir dan menilai fenomena sosial, yang merupakan sumber yang mutlak diperlukan guna menyusun kriteria untuk melakukan pemindaian dan orientasi terhadap berbagai interaksi sosial di dalam setiap bidang.

Prinsip-prinsip fundamental ajaran sosial Gereja ini menyajikan lebih daripada sekadar suatu warisan refleksi yang permanen,yang adalah juga satu bagian hakiki dari pesan Kristen, sebab prinsip-prinsip tersebut menunjukkan jalan-jalan yang mungkin ditempuh untuk membangun sebuah kehidupan sosial yang baik, autentik dan dibarui.

Prinsip-prinsip ajaran sosial, di dalam keseluruhannya, merupakan artikulasi utama dari kebenaran menyangkut masyarakat olehnya setiap hati nurani ditantang dan diajak untuk berinteraksi dengan setiap hati nurani lainnya dalam kebenaran, dalam tanggung jawab yang diemban sepenuhnya dengan semua orang dan menyangkut semua orang. Prinsip-prinsip ini menjadi lengkap apabila ada upaya untuk bertindak sesuai dengannya, demi suatu kehidupan manusia yang layak.

Prinsip pertama: Kesejahteraan Umum. Kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”. Sebuah masyarakat yang ingin dan bermaksud tetap melayani manusia pada setiap tingkatannya adalah masyarakat yang memiliki kesejahteraan umum  (kesejahteraan semua orang dan kesejahteraan seluruh pribadi) sebagai sasaran utamanya.

Tuntutan-tuntutan menyangkut kesejahteraan umum bergantung pada kondisi-kondisi sosial dari setiap kurun historis dan terkait secara erat dengan penghormatan terhadap serta penggalakan atas pribadi dan hak-hak dasarnya. Tuntutan-tuntutan ini terutama bersangkut paut dengan komitmen pada perdamaian, penataan berbagai kekuasaan negara, sistem peradilan yang sehat, perlindungan terhadap lingkungan hidup serta penyediaan berbagai pelayanan yang hakiki bagi semua orang, yang beberapa dari antaranya pada saat yang sama merupakan hak asasi manusia: makanan, perumahan, pekerjaan, pendidikan dan akses kepada kebudayaan,transportasi, perawatan kesehatan dasar, kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat, serta perlindungan terhadap kebebasan beragama. Tanggung jawab untuk mencapai kesejahteraan umum, di samping jatuh ke masing-masing pribadi, juga menjadi milik negara, karena kesejahteraan umum adalah alasan sehingga kekuasaan politik itu ada.  

Prinsip kedua: Subsidiaritas. Subsidiaritas terbilang di antara prinsip-prinsip yang paling tetap dan khas dari ajaran sosial Gereja. Prinsip ini pada dasarnya merupakan sebuah kepedulian; apa saja yang menyokong bentuk ungkapan di pelbagai bidang kehidupan yang untuknya orang-orang secara spontan terlibat dan yang memungkinkan mereka untuk menggapai pertumbuhan sosial secara efektif. Berdasarkan prinsip ini, semua lembaga dari satu tatanan lebih tinggi mesti menerapkan perilaku menolong (“subsidium”) terhadap lembaga-lembaga dari tatanan lebih rendah.

Implikasi khas dari prinsip subsidiaritas adalah keterlibatan, yang secara hakiki diungkapkan dalam serangkaian kegiatan melaluinya seorang warga negara, entah sebagai individu atau dalam kerja sama dengan orang-orang lain, entah secara langsung atau melalui perwakilan, memberi andil bagi kehidupan budaya, ekonomi, politik dan sosial dari masyarakat sipil di mana ia menjadi anggotanya.

Prinsip ketiga: Solidaritas. Solidaritas secara khusus menonjolkan hakikat sosial yang intrinsik dari pribadi manusia, kesetaraan semua orang dalam martabat dan hak-hak serta jalan bersama individu-individu dan bangsa-bangsa menuju kesatuan yang semakin kokoh. Solidaritas dilihat  sebagai dua segi yang saling melengkapi, yakni sebagai sebuah prinsip sosial dan sebuah kebajikan moral.

Solidaritas merupakan sebuah kebajikan moral yang autentik, dan bukannya merupakan sebuah “perasaan belas kasihan yang samar-samar atau rasa sedih yang dangkal karena nasib buruk sekian banyak orang, dekat maupun jauh. Sebaliknya, solidaritas berarti tekad yang teguh dan tabah untuk membaktikan diri kepada kesejahteraan umum, (kesejahteraan semua orang dan setiap orang perorangan) karena kita semua sungguh bertanggung jawab atas semua orang”. Dalam terang iman, solidaritas berusaha melampaui diri, mengenakan matra-matra khas Kristen yakni kemurahan hati yang sepenuhnya, pengampunan dan pendamaian.  Dalam konteks ini, sesama bukan melulu manusia beserta hak-haknya sendiri dan kesetaraan mendasar dengan manusia lain mana pun juga, melainkan menjadi citra yang hidup menyerupai Allah Bapa, ditebus berkat darah Yesus Kristus, dan tiada hentinya diliputi oleh tindakan Roh Kudus.