Selasa, 21 Januari 2020

KONSTITUSI PASTORAL TENTANG GEREJA DI DUNIA DEWASA INI (4)

BY Paroki San Juan IN


22. (Kristus Manusia Baru)
Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelamalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas. Sebab Adam, manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang[27], yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bapa serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya penggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan diatas mendapatkan sumbernya dan mencapai puncaknya.
Dialah “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol 1:15)[28]. Dia pulalah manusia sempurna, yang menggembalikan kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan[29], maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur. Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi, Ia berpikir memakai akalbudi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi[30], Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah seorang diantara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali dalam hal dosa[31].
Dengan menumpahkan darah-Nya secara sukarela Anakdomba yang tak bersalah telah berpahala, memperoleh kehidupan bagi kita; dan dalam Dia Allah telah mendamaikan kita dengan Dirinya dan antara kita sendiri[32]; dan Ia telah merebut kita dari perbudakan setan dan dosa, sehingga kita masing-masing dapat berkata bersama Rasul: Putera Allah “telah mengasihi aku, dan menyerahkan Diri bagiku” (Gal 2:20). Dengan menanggung penderitaan bagi kita Ia bukan hanya memberi teladan supaya kita mengikuti jejak-Nya[33]; melainkan Ia juga memulihkan jalan; sementara jalan itu kita tempuh, hidup dan maut disucikan dan menerima makna yang baru.
Adapun orang kristiani yang telah menyerupai citra Putera, yakni yang Sulung diantara banyak saudara[34]; ia telah menerima “kurnia sulung Roh” (Rom 8:23), dan karena itu menjadi mampu melaksanakan hukum baru cinta kasih[35]. Melalui Roh itu, “jaminan warisan kita” (Ef 1:14), manusia seutuhnya diperbaharui batinnya, hingga “penebusan badannya” (Rom 8:23): “Bila Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, tinggal dalam kamu, maka Dia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati, maka membangkitkan badanmu yang fana itu juga, demi Roh-Nya yang diam dalam kamu” (Rom 8:11)[36]. Pastilah kebutuhan dan tugas mendesak orang kristiani untuk melalui banyak duka derita berjuang melawan kejahatan dan menanggung maut; akan tetapi ia tergabung dengan misteri Paska, menyerupai wafat Kristus, dan diteguhkan oleh harapan akan melaju menuju kebangkitan[37].
Itu bukan hanya berlaku bagi kaum beriman kristiani, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan[38]. Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang[39], dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri Paska itu.
Seperti itu dan seagung itulah misteri manusia, yang berkat perwahyuan kritiani dan dalam Kristus disinarilah teka-teki penderitaan maut, yang diluar Injil-Nya melanda kita. Kristus telah bangkit; dengan wafat-Nya Ia menghancurkan maut. Dan Ia telah mengurniakan kehidupan kepada kita[40], supaya sebagai putera-puteri dalam Sang Putera, kita berseru dalam Roh: “Abba, ya Bapa!”[41].


BAB DUA – MASYARAKAT MANUSIA
23. (Maksud Konsili)
Di antara segi-segi dunia zaman sekarang termasuk berlipatgandanya hubungan-hubungan timbal-balik antara manusia. Kemajuan tehnik dewasa ini amat banyak berjasa bagi perkembangan itu. Akan tetapi dialog persaudaraan antar manusia tidak mencapai kesempurnaannya dalam kemajuan itu, melainkan secara lebih mendalam kesempurnaan itu tercapai dalam kebersamaan pribadi-pribadi, yang menuntut sikap saling menghormati terhadap martabat rohani mereka yang sepenuhnya. Ada pun untuk memajukan persekutuan antar pribadi itu Perwahyuan kristiani sangat membantu, sekaligus mengantar kita kepada pengertian hukum-hukum kehidupan sosial, yang oleh Sang Pencipta telah ditulis dalam kodrat rohani dan susila manusia.
Karena akhir-akhir ini dokumen-dokumen Magisterium Gereja telah menyampaikan uraian yang lebih luas mengenai ajaran kristiani tentang masyarakat manusia[42], maka Konsili hanya mengingatkan beberapa kebenaran yang lebih penting saja, dan menjelaskan dasar-dasarnya dalam terang Perwahyuan. Kemudian akan menggarisbawahi beberapa konsekwensi, yang pada zaman kita sekarang cukup penting.

24. (Sifat kebersamaan panggilan manusia dalam rencana Allah)
Allah, yang sebagai Bapa memelihara semua orang, menhendaki agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut gambar Allah, yang “menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami seluruh muka bumi” (Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan yang sama, yakni Allah sendiri.
Oleh karena itu cinta kasih terhadap Allah dan sesama merupakan perintah yang pertama dan terbesar. Kita belajar dari Kitab suci, bahwa kasih terhadap Allah tidak terpisahkan dari kasih terhadap sesama: “… sekiranya ada perintah lain, itu tercakup dalam amanat ini: Hendaknya engkau mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri … jadi kepenuhan hukum ialah cinta kasih” (Rom 13:9-10; lih. 1Yoh 4:20). Menjadi makin jelaslah, bahwa itu sangat penting bagi orang-orang yang semakin saling tergantung dan bagi dunia yang semakin bersatu.
Bahkan ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa, supaya “semua orang menjadi satu …, seperti kita pun satu” (Yoh 17:21-22), dan membuka cakrawala yang tidak terjangkau oleh akalbudi manusiawi, ia mengisyaratkan kemiripan antara persatuan Pribadi-Pribadi ilahi dan persatuan putera-puteri Allah dalam kebenaran dan cinta kasih. Keserupaan itu menampakkan, bahwa manusia, yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya[43].

25. (Pribadi manusia dan masyarakat manusia saling tergantung)
Dari sifat sosial manusia nampaklah, bahwa pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling tergantung. Sebab asas, subjek dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang seharusnyalah pribadi manusia; berdasarkan kodratnya ia sungguh-sungguh memerlukan hidup kemasyarakatan[44]. Maka karena bagi manusia hidup kemasyarakatan itu bukanlah suatu tambahan melulu, oleh karena itu melalui pergaulan dengan sesama, dengan saling berjasa, melalui dialog dengan sesama saudara, manusia berkembang dalam segala bakat-pembawaannya, dan mampu menanggapi panggilannya.
Diantara ikatan-ikatan sosial, yang diperlukan bagi pertumbuhan manusia, ada, seperti keluarga dan masyarakat politik, yang lebih langsung selaras dengan kodratnya sedalam-dalamnya; ada pula ikatan-ikatan yang lebih bersumber pada kehendak bebasnya. Pada zaman kita sekarang, karena pelbagai sebab, hubungan-hubungan timbal-balik dan saling katergantungan semakin berlipatganda. Karena itulah muncul pelbagai perserikatan dan lembaga, entah yang bersifat umum entah swasta. Kenyataan yang disebut sosialisasi itu memang bukannya tanpa bahaya; tetapi juga membawa banyak keuntungan, untuk memantapkan dan mengembangkan sifat-sifat pribadi manusia dan membela hak-haknya[45].
Tetapi kalau pribadi-pribadi manusia untuk memenuhi panggilannya, juga perihal agama, menerima banyak dari hidup kemasyarakatan itu, dilain pihak tidak dapat diingkari, bahwa – karena kondisi-kondisi sosial yang dialaminya dan karena sejak kecil ia tenggelam di dalamnya, – sering pula orang-orang menjauh dari amal-perbuatan baik dan terdorong ke arah yang tidak baik. Sudah jelaslah bahwa, gangguan-gangguan yang begitu sering timbul di bidang kemasyarakatan, sebagian bersumber pada ketegangan dalam struktur-struktur ekonomi, politik dan sosial sendiri. Tetapi secara lebih mendalam kekeruhan itu timbul dari cinta diri dan kesombongan orang-orang, dan sekaligus merusak lingkungan sosial. Bila tata-tertib tercemarkan oleh akibat-akibat dosa, manusia, yang dari semula condong ke arah kejahatan, kemudian menghadapi rangsangan-rangsangan baru untuk berdosa. Dorongan-dorongan itu tidak dapat diatasi tanpa usaha-usaha yang tangkas berkat bantuan rahmat.

26. (Memajukan kesejahteraan umum)
Karena saling ketergantungan itu semakin meningkat dan lambat-laun meluas ke seluruh dunia, maka kesejahteraan umum sekarang ini juga semakin bersifat universal, dan oleh karena itu mencakup hak-hak maupun kewajiban-kewajiban, yang menyangkut seluruh umat manusia. Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum segenap keluarga manusia[46].
Tetapi serta-merta berkembanglah kesadaran dan unggulnya martabat pribadi manusia, karena melampaui segala sesuatu, lagi pula hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya bersifat universal dan tidak dapat diganggu-gugat. Maka sudah seharusnyalah, bahwa bagi manusia disediakan segala sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan untuk membentuk keluarga, hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya, hak untuk bertindak menurut norma hati nuraninya yang benar, hak atas perlindungan hidup perorangan, dan atas kebebasan yang wajar, juga perihal agama.
Jadi tata-masyarakat serta kemajuannya harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi-pribadi; sebab penataan hal-hal harus dibawahkan kepada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan sebaliknya menurut yang diisyaratkan oleh Tuhan sendiri ketika bersabda bahwa hari Sabbat itu ditetapkan demi manusia, dan bukan manusia demi hari Sabbat[47]. Tata dunia itu harus semakin dikembangkan, didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam keadilan, dihidupkan dengan cinta kasih, harus menemukan keseimbangannya yang semakin manusiawi dalam kebebasan[48]. Supaya itu semua terwujudkan perlulah diadakan pembaharuan mentalitas dan peubahan-perubahan sosial secara besar-besaran.
Roh Allah, yang dengan penyelenggaraan-Nya yang mengagumkan mengarahkan peredaran zaman dan membaharui muka bumi, hadir ditengah perkembangan itu. Adapun ragi Injil telah dan masih membangkitkan dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya.

27. (Sikap hormat terhadap pribadi manusia)
Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia, sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan, sebagai “dirinya yang lain”, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak[49], supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus yang miskin itu[50].
Terutama pada zaman kita sekarang ini mendesak kewajiban menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang, siapa pun dia itu, dan bila ia datang melayaninya secara aktif, entah ia itu orang lanjut usia yang sebatang kara, entah tenaga kerja asing yang dihina tanpa alasan, entah seorang perantau, atau anak yang lahir dari hubungan haram dan tidak sepatutnya menderita karena dosa yang tidak dilakukannya,atau orang lapar yang menyapa hati nurani kita seraya mengingatkan sabda Tuhan: “Apa pun yang kamu jalankan terhadap salah seorang saudara-Ku yang hina ini, kamu perbuat terhadap Aku” (Mat 25:40).
Selain itu apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis; apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang, perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata untuk menarik keuntungan, dan tidak diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang bebas dan bertanggung jawab: itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi, perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan kemuliaan Sang Pencipta.