22. (Kristus Manusia Baru)
Sesungguhnya hanya dalam misteri
Sabda yang menjelamalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas. Sebab Adam,
manusia pertama, menggambarkan Dia yang akan datang[27],
yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bapa
serta cinta kasih-Nya sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan
membeberkan kepadanya penggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan
pula, bahwa dalam Dia kebenaran-kebenaran yang diuraikan diatas mendapatkan
sumbernya dan mencapai puncaknya.
Dialah “gambar Allah yang tidak
kelihatan” (Kol 1:15)[28].
Dia pulalah manusia sempurna, yang menggembalikan kepada anak-anak Adam citra
ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama. Dan karena dalam Dia kodrat
manusia disambut, bukannya dienyahkan[29],
maka dalam diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur.
Sebab Dia, Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah
menyatukan diri dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi,
Ia berpikir memakai akalbudi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi[30],
Ia mengasihi dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh
menjadi salah seorang diantara kita, dalam segalanya sama seperti kita, kecuali
dalam hal dosa[31].
Dengan menumpahkan darah-Nya secara
sukarela Anakdomba yang tak bersalah telah berpahala, memperoleh kehidupan bagi
kita; dan dalam Dia Allah telah mendamaikan kita dengan Dirinya dan antara kita
sendiri[32];
dan Ia telah merebut kita dari perbudakan setan dan dosa, sehingga kita
masing-masing dapat berkata bersama Rasul: Putera Allah “telah mengasihi aku,
dan menyerahkan Diri bagiku” (Gal 2:20). Dengan menanggung penderitaan bagi
kita Ia bukan hanya memberi teladan supaya kita mengikuti jejak-Nya[33];
melainkan Ia juga memulihkan jalan; sementara jalan itu kita tempuh, hidup dan
maut disucikan dan menerima makna yang baru.
Adapun orang kristiani yang telah
menyerupai citra Putera, yakni yang Sulung diantara banyak saudara[34];
ia telah menerima “kurnia sulung Roh” (Rom 8:23), dan karena itu menjadi mampu
melaksanakan hukum baru cinta kasih[35].
Melalui Roh itu, “jaminan warisan kita” (Ef 1:14), manusia seutuhnya
diperbaharui batinnya, hingga “penebusan badannya” (Rom 8:23): “Bila Roh Dia,
yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, tinggal dalam kamu, maka
Dia yang telah membangkitkan Yesus Kristus dari antara orang mati, maka
membangkitkan badanmu yang fana itu juga, demi Roh-Nya yang diam dalam kamu”
(Rom 8:11)[36].
Pastilah kebutuhan dan tugas mendesak orang kristiani untuk melalui banyak duka
derita berjuang melawan kejahatan dan menanggung maut; akan tetapi ia tergabung
dengan misteri Paska, menyerupai wafat Kristus, dan diteguhkan oleh harapan
akan melaju menuju kebangkitan[37].
Itu bukan hanya berlaku bagi kaum
beriman kristiani, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang
hatinya menjadi kancah kegiatan rahmat yang tidak kelihatan[38].
Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang[39],
dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi,
kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua
orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri
Paska itu.
Seperti itu dan seagung itulah
misteri manusia, yang berkat perwahyuan kritiani dan dalam Kristus disinarilah
teka-teki penderitaan maut, yang diluar Injil-Nya melanda kita. Kristus telah
bangkit; dengan wafat-Nya Ia menghancurkan maut. Dan Ia telah mengurniakan
kehidupan kepada kita[40],
supaya sebagai putera-puteri dalam Sang Putera, kita berseru dalam Roh: “Abba,
ya Bapa!”[41].
BAB
DUA – MASYARAKAT MANUSIA
23. (Maksud Konsili)
Di antara segi-segi dunia zaman
sekarang termasuk berlipatgandanya hubungan-hubungan timbal-balik antara
manusia. Kemajuan tehnik dewasa ini amat banyak berjasa bagi perkembangan itu.
Akan tetapi dialog persaudaraan antar manusia tidak mencapai kesempurnaannya
dalam kemajuan itu, melainkan secara lebih mendalam kesempurnaan itu tercapai
dalam kebersamaan pribadi-pribadi, yang menuntut sikap saling menghormati
terhadap martabat rohani mereka yang sepenuhnya. Ada pun untuk memajukan
persekutuan antar pribadi itu Perwahyuan kristiani sangat membantu, sekaligus
mengantar kita kepada pengertian hukum-hukum kehidupan sosial, yang oleh Sang
Pencipta telah ditulis dalam kodrat rohani dan susila manusia.
Karena akhir-akhir ini
dokumen-dokumen Magisterium Gereja telah menyampaikan uraian yang lebih luas
mengenai ajaran kristiani tentang masyarakat manusia[42],
maka Konsili hanya mengingatkan beberapa kebenaran yang lebih penting saja, dan
menjelaskan dasar-dasarnya dalam terang Perwahyuan. Kemudian akan
menggarisbawahi beberapa konsekwensi, yang pada zaman kita sekarang cukup
penting.
24. (Sifat kebersamaan panggilan
manusia dalam rencana Allah)
Allah, yang sebagai Bapa memelihara
semua orang, menhendaki agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling
menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut
gambar Allah, yang “menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami
seluruh muka bumi” (Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan yang
sama, yakni Allah sendiri.
Oleh karena itu cinta kasih terhadap
Allah dan sesama merupakan perintah yang pertama dan terbesar. Kita belajar
dari Kitab suci, bahwa kasih terhadap Allah tidak terpisahkan dari kasih
terhadap sesama: “… sekiranya ada perintah lain, itu tercakup dalam amanat ini:
Hendaknya engkau mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri … jadi kepenuhan
hukum ialah cinta kasih” (Rom 13:9-10; lih. 1Yoh 4:20). Menjadi makin jelaslah,
bahwa itu sangat penting bagi orang-orang yang semakin saling tergantung dan
bagi dunia yang semakin bersatu.
Bahkan ketika Tuhan Yesus berdoa
kepada Bapa, supaya “semua orang menjadi satu …, seperti kita pun satu” (Yoh
17:21-22), dan membuka cakrawala yang tidak terjangkau oleh akalbudi manusiawi,
ia mengisyaratkan kemiripan antara persatuan Pribadi-Pribadi ilahi dan
persatuan putera-puteri Allah dalam kebenaran dan cinta kasih. Keserupaan itu
menampakkan, bahwa manusia, yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk
yang oleh Allah dikehendaki demi dirinya sendiri, tidak dapat menemukan diri
sepenuhnya tanpa dengan tulus hati memberikan dirinya[43].
25. (Pribadi manusia dan masyarakat
manusia saling tergantung)
Dari sifat sosial manusia nampaklah,
bahwa pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling
tergantung. Sebab asas, subjek dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang
seharusnyalah pribadi manusia; berdasarkan kodratnya ia sungguh-sungguh
memerlukan hidup kemasyarakatan[44].
Maka karena bagi manusia hidup kemasyarakatan itu bukanlah suatu tambahan
melulu, oleh karena itu melalui pergaulan dengan sesama, dengan saling berjasa,
melalui dialog dengan sesama saudara, manusia berkembang dalam segala
bakat-pembawaannya, dan mampu menanggapi panggilannya.
Diantara ikatan-ikatan sosial, yang
diperlukan bagi pertumbuhan manusia, ada, seperti keluarga dan masyarakat
politik, yang lebih langsung selaras dengan kodratnya sedalam-dalamnya; ada
pula ikatan-ikatan yang lebih bersumber pada kehendak bebasnya. Pada zaman kita
sekarang, karena pelbagai sebab, hubungan-hubungan timbal-balik dan saling
katergantungan semakin berlipatganda. Karena itulah muncul pelbagai
perserikatan dan lembaga, entah yang bersifat umum entah swasta. Kenyataan yang
disebut sosialisasi itu memang bukannya tanpa bahaya; tetapi juga membawa
banyak keuntungan, untuk memantapkan dan mengembangkan sifat-sifat pribadi
manusia dan membela hak-haknya[45].
Tetapi kalau pribadi-pribadi manusia
untuk memenuhi panggilannya, juga perihal agama, menerima banyak dari hidup
kemasyarakatan itu, dilain pihak tidak dapat diingkari, bahwa – karena
kondisi-kondisi sosial yang dialaminya dan karena sejak kecil ia tenggelam di
dalamnya, – sering pula orang-orang menjauh dari amal-perbuatan baik dan
terdorong ke arah yang tidak baik. Sudah jelaslah bahwa, gangguan-gangguan yang
begitu sering timbul di bidang kemasyarakatan, sebagian bersumber pada
ketegangan dalam struktur-struktur ekonomi, politik dan sosial sendiri. Tetapi
secara lebih mendalam kekeruhan itu timbul dari cinta diri dan kesombongan
orang-orang, dan sekaligus merusak lingkungan sosial. Bila tata-tertib
tercemarkan oleh akibat-akibat dosa, manusia, yang dari semula condong ke arah
kejahatan, kemudian menghadapi rangsangan-rangsangan baru untuk berdosa.
Dorongan-dorongan itu tidak dapat diatasi tanpa usaha-usaha yang tangkas berkat
bantuan rahmat.
26. (Memajukan kesejahteraan umum)
Karena saling ketergantungan itu
semakin meningkat dan lambat-laun meluas ke seluruh dunia, maka kesejahteraan
umum sekarang ini juga semakin bersifat universal, dan oleh karena itu mencakup
hak-hak maupun kewajiban-kewajiban, yang menyangkut seluruh umat manusia. Yang
dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup
kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota
perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan
mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta
aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum
segenap keluarga manusia[46].
Tetapi serta-merta berkembanglah
kesadaran dan unggulnya martabat pribadi manusia, karena melampaui segala
sesuatu, lagi pula hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya bersifat universal dan
tidak dapat diganggu-gugat. Maka sudah seharusnyalah, bahwa bagi manusia
disediakan segala sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh
manusiawi, misalnya nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan bebas memilih
status hidupnya dan untuk membentuk keluarga, hak atas pendidikan, pekerjaan,
nama baik, kehormatan, informasi yang semestinya, hak untuk bertindak menurut
norma hati nuraninya yang benar, hak atas perlindungan hidup perorangan, dan
atas kebebasan yang wajar, juga perihal agama.
Jadi tata-masyarakat serta
kemajuannya harus tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi-pribadi; sebab
penataan hal-hal harus dibawahkan kepada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan
sebaliknya menurut yang diisyaratkan oleh Tuhan sendiri ketika bersabda bahwa
hari Sabbat itu ditetapkan demi manusia, dan bukan manusia demi hari Sabbat[47].
Tata dunia itu harus semakin dikembangkan, didasarkan pada kebenaran, dibangun
dalam keadilan, dihidupkan dengan cinta kasih, harus menemukan keseimbangannya
yang semakin manusiawi dalam kebebasan[48].
Supaya itu semua terwujudkan perlulah diadakan pembaharuan mentalitas dan
peubahan-perubahan sosial secara besar-besaran.
Roh Allah, yang dengan
penyelenggaraan-Nya yang mengagumkan mengarahkan peredaran zaman dan membaharui
muka bumi, hadir ditengah perkembangan itu. Adapun ragi Injil telah dan masih
membangkitkan dalam hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya.
27. (Sikap hormat terhadap pribadi
manusia)
Beranjak kepada
konsekuensi-konsekuensi praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap
hormat terhadap manusia, sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak
seorang pun terkecualikan, sebagai “dirinya yang lain”, terutama mengindahkan
perihidup mereka beserta upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara
layak[49],
supaya jangan meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus
yang miskin itu[50].
Terutama pada zaman kita sekarang
ini mendesak kewajiban menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang,
siapa pun dia itu, dan bila ia datang melayaninya secara aktif, entah ia itu
orang lanjut usia yang sebatang kara, entah tenaga kerja asing yang dihina
tanpa alasan, entah seorang perantau, atau anak yang lahir dari hubungan haram
dan tidak sepatutnya menderita karena dosa yang tidak dilakukannya,atau orang
lapar yang menyapa hati nurani kita seraya mengingatkan sabda Tuhan: “Apa pun
yang kamu jalankan terhadap salah seorang saudara-Ku yang hina ini, kamu
perbuat terhadap Aku” (Mat 25:40).
Selain itu apa saja yang berlawanan
dengan kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga,
penumpasan suku, pengguguran, eutanasia atau bunuh diri yang disengaja; apa pun
yang melanggar keutuhan pribadi manusia, seperti pemenggalan anggota badan,
siksaan yang ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis;
apa pun yang melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak
layak manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang,
perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula
kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata
untuk menarik keuntungan, dan tidak diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yang
bebas dan bertanggung jawab: itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang
perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi,
perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada
mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan
kemuliaan Sang Pencipta.