Selasa, 21 Januari 2020

KONSTITUSI PASTORAL TENTANG GEREJA DI DUNIA DEWASA INI (5)

BY Paroki San Juan IN



28. (Sikap hormat dan cinta kasih terhadap lawan)
Sikap hormat dan cinta kasih harus diperluas untuk manampung mereka pula, yang dibidang sosial, politik atau pun keagamaan berpandangan atau bertindak berbeda dengan kita. Sebab semakin mendalam kita dengan sikap ramah dan cinta kasih menyelami cara-cara mereka berpandangan, semakin mudah pula kita akan dapat menjalin dialog dengan mereka.
Tentu saja cinta kasih dan kebaikan hati itu janganlah sekali-kali menjadikan kita acuh tak acuh terhadap kebenaran dan kebaikan. Bahkan cinta kasih sendiri mendesak para murid Kristus untuk menyiarkan kebenaran yang membawa keselamatan kepada semua orang. Tetapi perlu dibedakan antara kesesatan yang selalu harus ditolak, dan orangnya yang sesat, yang tetap harus memiliki martabat pribadi, juga bila ia ternodai oleh pandangan-pandangan keagamaan yang salah atau kurang cermat[51]. Allah sendirilah satu-satunya yang mengadili dan menyelami hati; maka Ia melarang kita supaya jangan menjatuhkan pengadilan atas kesalahan batin siapa pun[52].
Ajaran Kristus meminta supaya kita mengampuni perlakuan-perlakuan yang tak adil[53], dan memperluas perintah cinta kasih kepada semua musuh-musuh; itulah perintah Perjanjian Baru: “Kamu mendengar bahwa dikatakan: Kasihilah sesamamu, dan bencilah musuhmu. Akan tetapi Aku berpesan kepada kamu: Cintailah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu; serta berdoalah bagi mereka yang menganiaya dan memfitnah kamu” (Mat 5:43-44).

29. (Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial)
Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengamban panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan dasariah antara semua orang.
Memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi , entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak asasi pribadi itu belum dimana-mana dipertahankan secara utuh dan aman. Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria.
Kecuali itu, sungguhpun antara orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat pribadi menuntut, agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam satu keluarga manusia dibidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, mertabat pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial dan international.
Adapun lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia, seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial maupun politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga kalau ada kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.

30. (Etika individualis harus diatasi)
Mendalam serta pesatnya perubahan lebih mendesak lagi, supaya janganlah seorang pun, karena mengabaikan perkembangan zaman atau lamban tak berdaya, mengikuti etika yang individualis semata-mata. Tugas keadilan dan cinta kasih semakin dipenuhi, bila setiap orang menurut kemampuannya sendiri dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan sesama memberikan sumbangannya kepada kesejahteraan umum, serta memajukan dan membantu lembaga-lembaga umum maupun swasta, yang melayani peningkatan kondisi-kondisi hidup orang-orang. Ada saja yang kendati menyarakan pandangan-pandangan yang luas dan bernada kebesaran jiwa, tetapi menurut kenyataannya selalu hidup sedemikian rupa, seolah-olah sama sekali tidak mempedulikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Malahan di pelbagai daerah tidak sedikit pula, yang meremehkan hukum-hukum dan peraturan-peraturan sosial. Tidak sedikit juga, yang dengan bermacam-macam tipu muslihat berani mengelakkan pajak-pajak yang wajar maupun hal-hal lain yang termasuk hak masyarakat. Orang-orang lain menganggap sepele beberapa peraturan hidup sosial, misalnya, untuk menjaga kesehatan, atau untuk mengatur lalu lintas, tanpa mempedulikan, bahwa dengan kelalaian semacam itu mereka membahayakan hidup mereka sendiri dan sesama.
Hendaknya bagi semua merupakan kewajiban suci: memandang hubungan-hubungan sosial sebagai tugas utama manusia zaman sekarang, serta mematuhinya. Sebab semakin dunia bersatu, semakin jelas pulalah tugas-tugas orang-orang melampaui kepentingan kelompok-kelompok khusus, dan lama-kelamaan meluas ke dunia semesta. Itu hanyalah mungkin bila masing-masing perorangan dan kelompok mengembangkan keutamaan-keutamaan moral dan sosial dalam diri mereka sendiri, dan menyebarkannya dalam masyarakat. Dengan demikian memang sesungguhnya – berkat bantuan rahmat ilahi yang memang diperlukan – akan bangkitlah manusia-manusia baru, yang membangun kemanusiaan yang baru pula.

31. (Tanggung jawab dan keikut-sertaan)
Supaya setiap orang lebih saksama menunaikan tugas hati nuraninya baik terhadap dirinya maupun terhadap pelbagai kelompok yang diikutinya, ia harus dengan tekun menjalani pembinaan menuju kebudayaan rohani yang lebih luas, dengan memanfaatkan bantuan-bantuan besar, yang sekarang ini tersedia bagi bangsa manusia. Terutama pendidikan kaum muda dari lapisan sosial mana pun juga hendaknya di selenggarakan sedemikian rupa, sehingga bangkitlah kaum pria maupun wanita, yang bukan saja berpendidikan tinggi, melainkan juga berjiwa besar, karena memang mereka itulah yang sangat diperlukan untuk zaman sekarang.
Akan tetapi praktis orang hanya mencapai kesadaran bertanggung jawab itu, bila kondisi-kondisi hidup memungkinkannya, untuk menyadari martabatnya, dan untuk menanggapi panggilannya dengan membaktikan diri kepada Allah dan sesama. Adapun kebebasan manusia seringkali melemah, bila ia jatuh ke dalam kemelaratan yang amat parah; begitu pula kebebasan itu merosot, bila orang menuruti saja kemudahan-kemudahan hidup yang berlebihan, dan mengurung diri bagaikan dalam menara gading. Sebaliknya kebebasan itu diteguhkan, bila orang menerima kebutuhan-kebutuhan hidup sosial yang tak terelakkan, menyanggupi bermacam-macam tuntutan solidaritas antar manusia, dan mengikat diri untuk mengabdi masyarakat.
Oleh karena itu semua orang perlu di dorong kemauan untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha bersama. Memang layak dipujilah pola bertindak bangsa, bila sebanyak mungkin warganya dalam kebebasan sejati melibatkan diri dalam urusan-urusan kenegaraan umum. Tetapi perlu diperhitungkan juga keadaan nyata setiap bangsa, begitu pula perlunya pemerintahan yang cukup kuat. Adapun supaya semua warganegara bergairah untuk melibatkan diri dalam kehidupan pelbagai kelompok, yang seluruhnya membentuk tubuh masyarakat, perlulah bahwa dalam kelompok-kelompok itu mereka temukan nilai-nilai, yang menarik bagi mereka, dan membangkitkan kesediaan mereka untuk melayani sesama. Memang wajarlah pandangan kita, bahwa nasib bangsa di kemudian hari terletak di tangan mereka, yang mampu mewariskan kepada generasi-generasi mendatang dasar-dasar untuk hidup dan berharap.

32. (Sabda yang menjelama dan solidaritas manusia)
Allah menciptakan orang-orang bukan untuk hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Begitu pula Ia “bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan suci[54]. Sejak awal mula sejarah keselamatan Ia memilih orang-orang bukan melulu sebagai perorangan, melainkan sebagai anggota suatu masyarakat. Sebab seraya mewahyukan Rencana-Nya Allah menyebut mereka yang terpilih itu “Umat-Nya” (Kel 3:7-12); kemudian di Sinai Ia mengikat perjanjian dengan Umat itu[55].
Sifat kebersamaan itu berkat karya Yesus Kristus disempurnakan dan dipenuhkan. Sebab Sabda yang menjelma sendiri telah menghendaki menjadi anggota rukun hidup manusiawi. Ia menghadiri pesta perkawinan di Kana, berkenan berkunjung ke rumah Zakeus, dan makan bersama dengan pemungut cukai dan orang-orang pendosa. Ia mewahyukan cinta kasih Bapa serta panggilan manusia yang luhur, dengan menunjukkan kepada kenyataan-kenyataan sosial yang sangat lazim dan menggunakan peribahasa serta lambang-lambang hidup sehari-hari saja. Ia menguduskan hubungan-hubungan antar manusia, terutama hubungan keluarga, sumber kehidupan sosial. Dengan sukarela Ia mematuhi hukum-hukum tanah air-Nya. Ia menghendaki hidup sebagai buruh pada zaman-Nya dan di daerah-Nya sendiri.
Dalam pewartaan-Nya Ia memerintahkan dengan jelas kepada putera-puteri Allah, supaya mereka bertingkah laku sebagai saudara satu terhadap lainnya. Dalam doa-Nya Ia meminta, supaya semua murid-Nya menjadi “satu”. Malahan Ia sendiri hingga wafat-Nya mengorbankan Diri bagi semua orang, menjadi Penebus mereka semua. “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Adapun para Rasul di perintahkan-Nya untuk mewartakan kepada semua bangsa warta Injil, supaya bangsa manusia menjadi keluarga Allah, yang kepenuhan hukumnya ialah cinta kasih.
Sesudah wafat dan kebangkitan-Nya, sebagai Putera Sulung diantara banyak saudara, Ia membentuk dengan kurnia Roh Kudus-Nya suatu persekutuan persaudaraan di antara mereka semua yang menerima-Nya dengan iman dan cinta kasih, yakni dalam Tubuh-Nya, ialah Gereja. Di situ semua orang saling menjadi anggota, dan sesuai dengan pelbagai kurnia yang mereka terima, saling melayani.
Solidaritas itu harus selalu dikembangkan, hingga harinya akan mencapai kepenuhannya, bila mereka diselamatkan berkat rahmat, sebagai keluarga yang dicintai oleh Allah dan oleh Kristus Saudaranya, akan melambungkan kemuliaan sempurna kepada Allah.


BAB TIGA – KEGIATAN MANUSIA DI SELURUH DUNIA
33. (Masalah-persoalannya)
Manusia selalu telah berusaha mengembangkan hidupnya dengan jerih-payah dan berkat-pembawaannnya. Tetapi zaman sekarang ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih memperluas kedaulatannya hampir atas alam semesta. Pertama-tama berkat bantuan upaya-upaya aneka macam pertukaran (komunikasi) antar bangsa yang meningkat, keluarga manusia lambat-laun makin mengakui dan membentuk diri sebagai satu masyarakat di seluruh dunia. Dengan demikian banyak harta-nilai, yang dulu oleh manusia terutama diharapkan dari kekuatan-kekuatan atas-duniawi, sekarang sudah diusahakannya melalui kegiatannya sendiri.
Menghadapi usaha besar-besaran, yang sudah merasuki seluruh bangsa manusia itu, banyak muncul pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat. Manakah arti dan nilai jerih-payah itu? Bagamana semua itu harus dimanfaatkan? Tujuan manakah yang mau dicapai melalui usaha-usaha baik perorangan maupuk kelompok-kelompok? Adapun Gereja, yang menjaga khazanah sabda Allah, yakni sumber kaidah-kaidah di bidang religius dan kesusilaan, memang tidak selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan itu masing-masing. Tetapi ingin memperpadukan cahaya perwahyuan dengan keahlian semua orang, supaya menjadi teranglah jalan yang belum lama ini mulai ditempuh oleh masyarakat manusia.

34. (Nilai kegiatan manusia)
Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman di kerahkan oleh banyak orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya menakhlukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian[56]; ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada manusia nama Allah sendiri di kagumi di seluruh bumi[57].
Itu berlaku juga bagi pekerjaan sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang – sementara mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka – melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah[58]].
Oleh karena itu umat kristiani tidak beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilkan oleh bakat-pembawaan serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin bahwa kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan merupakan buah rencana-Nya yang tidak terperikan. Adapun semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung jawab bersama. Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan itu[59].

35. (Norma kegiatan manusia)
Adapun seperti kegaitan insani berasal dari manusia, begitu pula kegiatan itu terarahkan kepada manusia. Sebab bila manusia bekerja, ia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dalam masyarakat, melainkan menyempurnakan dirinya sendiri juga. Ia belajar banyak, mengembangkan bakat-kemampuannya, beranjak keluar dari dirinya dan melampaui dirinya. Pengembangan diri itu, bila diartikan dengan tepat, lebih bernilai dari harta kekayaan lahiriah yang dapat dikumpulkan. Manusia lebih bernilai karena kenyataan dirinya sendiri dari pada karena apa yang dimilikinya[60]. Begitu pula segala sesuatu, yang diperbuat untuk orang memperoleh keadilan yang penuh, persaudaraan yang lebih luas. Tata-cara yang manusiawi dalam hubungan-hubungan sosial, lebih berharga dari pada kemajuan-kemajuan di bidang teknologi. Sebab kemajuan-kemajuan itu memang dapat menyediakan semacam bahan bagi pengembangan manusiawi, tetapi dipandang begitu saja sama sekali tidak mewujudkan pengembangan itu sendiri.
Oleh karena inilah tolok ukur kegiatan manusiawi: supaya kegiatan itu menurut rencana dan kehendak Allah selaras dengan kesejahteraan sejati umat manusia, lagi pula memungkinkan manusia sebagai perorangan maupun warga masyarakat untuk mengembangkan dan mewujudkan sepenuhnya panggilannya seutuhnya.

36. (Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya)
Akan tetapi agaknya banyak orang zaman sekarang mengkhawatirkan, bahwa makhluk-makhluk dan masyarakat sendiri mempunyai hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri, yang demi sedikit harus dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia, maka memang sangat pantaslah menuntut otonomi itu. Dan bukan hanya dituntut oleh orang-orang zaman sekarang, melainkan selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikurniai kemandirian, kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai tata-susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua, dengan mengakui metode-metode yang khas bagi setiap ilmu pengetahuan dan bidang tehnik. Maka dari itu penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila dijalankan secara sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak pernah akan sungguh bertentangan dengan iman, karena hal-hal profan dan pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama[61]. Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati tanpa di sadari pun ia bagaikan di tuntun oleh tangan Allah, yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya. Oleh karena itu bolehlah kiranya disesalkan sikap-sikap tertentu, yang kadang-kadang terdapat juga dikalangan Umat kristiani sendiri, sebab mereka kurang memahami otonomi ilmu-pengetahuan yang sewajarnya. Karena dari situ timbul pertengkaran dan perdebatan, sikap-sikap itu mendorong cukup banyak orang, untuk beranggapan seolah-olah iman dan ilmu-penetahuan itu saling bertentangan[62].
Akan tetapi bila “otonomi hal-hal duniawi” diartikan: seolah-olah ciptaan tidak tergantung dari Allah, dan manusia dapat menggunakannya sedemikian rupa, sehingga tidak lagi menghubungkannya dengan Sang Pencipta, maka siapa pun yang mengakui Allah pasti merasa juga, betapa sesatnya anggapan-anggapan semacam itu. Sebab tanpa Sang Pencipta makhluk lenyap hilang. Selain itu semua orang beriman, termasuk agama manapun juga, selalu mendengarkan suara serta perwahyuan-Nya dalam bahasa makhluk-makhluk. Malahan kalau Allah di lupakan, ciptaan sendiri diliputi kegelapan.

37. (Kegiatan manusia di rusak karena dosa)
Adapun Kitab suci, senada dengan pengalaman dari zaman ke zaman, mengajarkan kepada keluarga manusia, bahwa kemajuan, yang bagi manusia memang besar nilainya, dilain pihak membawa godaan yang gawat juga. Sebab bila tata-nilai dikacaukan dan kejahatan di campur-adukkan dengan kebaikan, masing-masing orang dan kelompok hanyalah memperhatikan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan sesama. Demikianlah dunia bukan wahana persaudaraan yang sejati lagi, sedangkan kemampuan manusia yang meningkat mengancam manusia sendiri dengan kepunahannya.
Sebab seluruh sejarah manusia sarat dengan perjuangan sengit melawan kekuasaan kegelapan. Pergulatan itu mulai sejak awal dunia, dan menurut amanat Tuhan[63] akan tetap berlangsung hingga hari kiamat. Terjebak dalam pergumulan itu, manusia tiada hentinya harus berjuang untuk tetap berpegang pada yang baik. Dan hanya melalui banyak jerih-payah, berkat bantuan rahmat Allah, ia mampu mencapai kesatuan dalam dirinya.
Oleh sebab itu, seraya mengakui bahwa kemajuan manusiawi memang dapat menunjang kebahagiaan manusia yang sejati, Gereja Kristus percaya akan rencana Sang Pencipta, toh tidak dapat lain kecuali menggemakan pesan Rasul: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” (Rom 12:2), artinya: dengan semangat kesia-siaan dan kejahatan, yang mengubah kegiatan insani – sebenarnya dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah dan manusia – menjadi alat dosa.
Jadi kalau ada yang bertanya bagaimana malapetaka itu dapat diatasi, Umat kristiani menyatakan, bahwa semua kegiatan manusia, yang karena kesombongan dan cinta diri yang tidak teratur setiap hari terancam bahaya, harus dimurnikan dan disempurnakan berkat Salib dan kebangkitan Kristus. Sebab manusia, yang ditebus oleh Kristus dan dalam Roh Kudus dijadikan ciptaan baru, dapat dan wajib juga mencintai semua ciptaan Allah. Ia menerima segalanya itu dari Allah, dan memandangnya serta menghormatinya bagaikan mengalir dari tangan Allah. Atas semua itu manusia mengucap syukur kepada Sang Pemberi kurnia; dalam kemiskinan dan kebebasan rohani ia menggunakan alam ciptaan dan memetik hasilnya; dan demikianlah ia diantar untuk memiliki dunia secara sejati, seakan-akan tidak mempunyai apa-apa, tetapi Roh memiliki segalanya[64]. “Sebab semua itu milikmu; adapun kamu milik Kristus, dan Kristus milik Allah” (1Kor 3:22-23).

38. (Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya)
Sebab Sabda Allah sendiri, Pengantara dalam penciptaan segala sesuatu, telah menjadi daging dan tinggal di bumi manusia[65]; sebagai manusia sempurna ia memasuki sejarah dunia, seraya menampung dan merangkumnya dalam Dirinya[66]. Sang Sabda mewahyukan kepada kita, “bahwa Allah itu cinta kasih” (1Yoh 4:8), sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan karena itu juga perombakan dunia ialah perintah baru cinta kasih. Maka ia meyakinkan semua, yang percaya akan kasih-sayang ilahi, bahwa jalan cinta kasih terbuka bagi semua orang, dan bahwa usaha untuk membangun persaudaraan universal tidak akan percuma. Sekaligus Ia mengingatkan, bahwa cinta kasih itu jangan hanya dikejar dalam hal-hal besar, melainkan pertama-tama dalam situasi hidup yang serba biasa. Bagi kita semua yang pendosa ini Ia menanggung maut[67]; dengan teladan-Nya Ia mengajarkan kepada kita pula, bahwa kita pun harus mengangkat salib, yang oleh daging dan dunia dibebankan atas bahu mereka yang mengejar perdamaian dan keadilan. Kristus, yang karena kebangkitan-Nya ditetapkan menjadi Tuhan, dan yang diserahi segala kuasa di langit dan di bumi[68], sudah berkarya dihati manusia karena kekuatan Roh-Nya, bukan saja dengan membangkitkan kerinduan akan zaman yang akan datang, melainkan demikian pula dengan menjiwai, memurnikan serta meneguhkan aspirasi-aspirasi yang bersumber pada kebesaran jiwa, dan menggerakkan usaha-usaha keluarga manusia untuk menjadikan hidupnya lebih manusiawi, dan untuk membawahkan seluruh bumi kepada tujuan itu. Adapun bermacam-ragamlah kurnia Roh: ada yang di panggil-Nya untuk memberi kesaksian jelas tentang kerinduan akan kediaman sorgawi, dan untuk tetap menghidupkan dambaan itu dalam keluarga manusia; ada pula yang dipanggil-Nya untuk membaktikan diri kepada pelayanan sesama di dunia, dan untuk dengan pengabdian itu menyiapkan landasan bagi kerajaan sorgawi. Tetapi semua orang dibebaskan-Nya untuk mengingkari cinta diri, dan menampung segala kekuatan dunia ini ke dalam hidup manusiawi, dan dengan demikian melaju ke masa depan, saatnya bangsa manusia sendiri menjadi persembahan yang berkenan kepada Allah[69].
Jaminan harapan itu dan bekal untuk perjalanan oleh Tuhan ditinggalkan kepada para murid-Nya dalam Sakramen iman, saatnya unsur-unsur alamiah, yang dikelola oleh manusia, di ubah menjadi Tubuh dan Darah mulia, yakni perjamuan persekutuan persaudaraan, antipasi perjamuan sorgawi.

39. (Bumi baru dan langit baru)
Kau tidak mengetahui, bilamana dunia dan umat manusia akan mencapai kesudahannya[70]; tidak tahu pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan telah rusak akibat dosa, akan berlalu[71]. Tetapi kita terima ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru, kediaman keadilan[72], yang kebahagiaannnya akan memenuhi dan melampaui segala kerinduan akan kedamaian, yang timbul dalam hati manusia[73]. Dan pada saat itu maut akan dikalahkan, putera-puteri Allah akan dibangkitkan dalam Kristus, dan benih yang telah ditaburkan dalam kelemahan dan kebinasaan, akan mengenakan yang tidak dapat binasa[74]. Cinta kasih beserta karya-Nya akan lestari[75], dan segenap alam tercipta, yang oleh Allah telah diciptakan demi manusia, akan dibebaskan dari perbudakan kepada kesia-siaan[76].
Kita memang diperingatkan, bahwa bagi manusia tiada gunanya, kalau ia memperoleh seluruh dunia, tetapi membinasakan dirinya[77]. Akan tetapi janganlah karena mendambakan dunia baru orang lalu menjadi lemah perhatiannya untuk mengolah dunia ini. Justru harus tumbuhlah perhatian itu, sehingga berkembanglah Tubuh keluarga manusia yang baru, yang sudah mampu memberi suatu bayangan tentang zaman baru. Maka dari itu, sungguh pun kemajuan duniawi harus dengan cermat dibedakan dari pertumbuhan kerajaan Kristus, tetapi kemajuan itu sangat penting bagi Kerajaan Allah, sejauh dapat membantu untuk mengatur masyarakat manusia secara lebih baik[78].
Sebab nilai-nilai martabat manusia, persekutuan persaudaraan dan kebebasan, dengan kata lain: semua buah hasil yang baik, yang bersumber pada kodrat maupun usaha kita, sesudah kita sebarluaskan di dunia dalam Roh Tuhan dan menurut perintah-Nya kemudian akan kita temukan kembali, tetapi dalam keadaan dibersihkan dari segala cacat-cela, diterang dan diubah, bila Kristus mengembalikan kepada Bapa kerajaan abadi dan universal: “kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan kedamaian”[79]. Di dunia ini kerajaan itu sudah hadir dalam mister; tetapi akan mencapai kepenuhannya bila Tuhan datang.


BAB EMPAT – PERANAN GEREJA DALAM DUNIA ZAMAN SEKARANG
40. (Hubungan timbal-balik antara Gereja dan Dunia)
Segala sesuatu yang telah kami uraikan tentang martabat pribadi manusia, tentang masyarakat manusia, dan tentang arti mendalam kegiatan manusia, merupakan dasar bagi hubungan Gereja dan dunia, dan landasan bagi dialog timbal-balik antara keduanya[80]. Maka sekarang dalam bab ini, dengan mengandaikan semuanya yang oleh Konsili ini telah dipaparkan tentang misteri Gereja, yang merupakan bahan refleksi yakni Gereja sejauh hadir di dunia, hidup bersamanya dan bertindak di dalamnya.
Gereja berasal dari cinta kasih Bapa yang kekal[81], didirikan oleh Kristus Penebus dalam kurun waktu, dan di himpun dalam Roh Kudus[82]. Gereja itu mempunyai tujuan penyelamatan dan eskatologis, yang hanya dapat tercapai sepenuhnya di zaman yang akan datang. Ada pun Gereja yang sudah hadir di dunia ini, terhimpun dari orang-orang yang termasuk warga masyarakat dunia. Mereka itu di panggil, supaya sudah sejak dalam sejarah umat manusia ini sudah membentuk keluarga putera-puteri Allah, yang terus menerus harus berkembang hingga kedatangan Tuhan. Keluaraga itu terhimpun demi harta-harta sorgawi, dan diperkaya dengannya. Keluarga itu oleh Kristus “disusun dan di atur di dunia ini sebagai serikat”[83], dan “dilengkapi dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial[84]. Begitulah Gereja, sekaligus kelompok yang nampak dan persekutuan rohani”[85], menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan bagaikan penjiwa masyarakat manusia[86], yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah.
Adapun bahwa masyarakat duniawi dan sorgawi itu saling merasuki, hanyalah dapat di tangkap dalam iman, bahkan tetap merupakan misteri sejarah manusia, yang hingga perwahyuan sepenuhnya kemuliaan putera-puteri Allah dikeruhkan oleh dosa. Seraya mengejar keselamatan sebagai tujuannya sendiri, Gereja bukan hanya menyalurkan kehidupan ilahi kepada manusia, melainkan dengan cara tertentu juga memancarkan pantulan cahaya-Nya ke seluruh dunia, terutama dengan menyembuhkan dan mengangkat martabat pribadi manusia, dengan meneguhkan keseluruhan masyarakat manusia. Dan dengan memberi makna serta arti yang lebih mendalam kepada kegiatan manusia. Segenap persekutuannya, merasa mampu berjasa banyak, untuk lebih memanusiawikan keluarga manusia beserta sejarahnya.
Kecuali itu Gereja katolik dengan senang hati menyatakan penghargaannya yang tertinggi terhadap apa saja yang untuk menunaikan tugas yang sama telah dan tetap masih dijalankan serentak oleh Gereja-Gereja kristen atau jemaat-jemaat gerejawi lainnya. Sekaligus Gereja merasa sungguh yakin, bahwa dalam banyak hal dan dengan pelbagai cara ia dapat membantu dunia, baik setiap orang perorangan maupun oleh masyarakat manusia, berkat bakat-kemampuan maupun kegiatan mereka, untuk merintis jalan bagi Injil. Di sini diuraikan beberapa asas umum untuk secara tepat mengintensifkan pertukaran serta bantuan timbal-balik di bidang-bidang, yang dengan cara tertentu dihadapi bersama oleh Gereja dan dunia.

41. (Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang)
Manusia zaman sekarang sedang berusaha mengembangkan kepribadiannya secara lebih penuh dan semakin mengenal serta mau menegakkan hak-haknya. Adapun kepada Gereja dipercayakan untuk menyiarkan misteri Allah, yang merupakan tujuan terakhir manusia. Maka Gereja sekaligus menyingkapkan kepada manusia makna keberadaannya sendiri, dengan kata lain, kebenaran yang paling mendalam tentang manusia. Sesungguhnya Gereja menyadari, bahwa hanya Allah yang diabdinyalah, yang dapat memenuhi keinginan-keinginan hati manusia yang terdalam, dan tidak akan pernah mencapai kepuasan sepenuhnya dengan apa saja yang disajikan oleh dunia. Selain itu Gereja menyadari, bahwa manusia tiada hentinya di dorong oleh Roh Allah, dan karena itu tidak akan pernah acuh tak acuh belaka terhadap masalah keagamaan. Itu memang terbukti juga bukan saja oleh pengalaman abad-abad yang silam, melainkan juga oleh aneka macam kesaksian zaman sekarang. Sebab manusia selalu akan ingin mengetahui, setidak-tidaknya secara samar-samar, manakah arti hidupnya, kegiatannya dan kematiannya. Kehadiran Gereja sendiri mengingatkan akan masalah-masalah itu. Akan tetapi hanya Allah, yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan menebusnya dari dosalah, yang memberi jawaban paripurna kepada soal-soal itu, yakni melalui perwahyuan dalam Kristus Putera-Nya yang telah menjadi manusia. Barang siapa mengikuti Kristus Manusia sempurna, juga akan menjadi manusia yang lebih utuh.
Bertumpu pada iman itu Gereja dapat mengamankan martabat kodrat manusia terhadap semua kegoncangan pendapat-pendapat, misalnya yang terlalu meremehkan tubuh manusia atau menyanjung-nyanjungnya secara berlebihan. Oleh hukum manusiawi mana pun juga martabat pribadi dan kebebasan manusia tidak dapat dijamin keutuhannya sedemikian baik seperti oleh Injil Kristus, yang dipercayakan kepada gereja. Sebab Injil itu memakhlumkan dan mewartakan kebebasan putera-puteri Allah, menolak setiap perbudakan yang pada dasarnya bersumber pada dosa[87], menghormati dengan sungguh-sungguh martabat suara hati beserta keputusannya yang bebas, tiada hentinya mengingatkan, bahwa semua bakat manusia harus disuburkan demi pengabdian kepada Allah dan sesama, dan akhirnya mempercayakan siapa saja kepada cinta kasih semua orang[88]. Itu memang sesuai dengan hukum dasar tata-kristiani. Sebab memang Allah yang sama itu sekaligus Penyelamat dan Pencipta, lagi pula hanya ada satu Tuhan bagi sejarah manusia dan sejarah keselamatan. Tetapi dalam tata-ilahi itu juga otonomi yang sewajarnya bagi makhluk, dan terutama bagi manusia tidak dihapus, justru malahan dikembalikan kepada martabatnya, dan dikukuhkan dalamnya.
Oleh karena itu, berdasarkan Injil yang dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia, dan mengakui serta menjunjung tinggi dinamisme zaman sekarang, yang di mana-mana mendukung hak-hak itu. Tetapi gerakan itu perlu dijiwai oleh semangat Injil dan dilindungi terhadap setiap bentuk otonomi yang palsu. Sebab kita dapat tergoda untuk beranggapan, seolah-olah hak-hak pribadi kita hanya terjamin sepenuhnya, bila kita dibebaskan dari setiap norma Hukum ilahi. Tetapi dengan cara itu martabat pribadi manusia takkan diselamatkan, justru malahan akan runtuh.

42. (Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada masyarakat manusia)
Persatuan keluarga manusia amat diteguhkan dan dilengkapi oleh kesatuan keluarga putera-puteri Allah yang didasarkan pada Kristus[89].
Adapun misi khusus, yang oleh kristus telah dipercayakan kepada Gereja-Nya, tidak terletak di bidang politik, ekonomi atau sosial; sebab tujuan yang telah di tetapkan-Nya untuk Gereja bersifat keagamaan[90]. Tentu saja dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan daya-kekuatan, yang dapat melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum ilahi. Begitu pula bilamana diperlukan menurut situasi semasa dan setempat, misi itu dapat, bahkan wajib juga membangkitkan kegiatan untuk melayani semua orang, terutama karya-karya bagi mereka yang sangat membutuhkannya, misalnya amal belas kasihan, dan sebagainya.
Selain itu Gereja mengakui apa pun yang serba baik dalam gerak pembangunan masyarakat zaman sekarang: terutama perkembangan menuju kesatuan, kemajuan sosialisasi yang sehat dan solidaritas kewarganegaraan dan ekonomi. Sebab pengembangan kesatuan selaras dengan misi Gereja yang paling dalam, karena Gereja itu “dalam Kristus bagaikan Sakramen, yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia[91]. Begitulah Gereja menunjukkan kepada dunia, bahwa kesatuan sosial lahiriah yang sejati bersumber pada persatuan budi dan hati, artinya pada iman dan cinta kasih, yang dalam Roh Kudus secara tak terceraikan mendasari kesatuan Gereja. Sebab kekuatan yang Gereja mampu resapkan ke dalam masyarakat manusia zaman sekarang, berupa iman dan cinta kasih, yang dihayati secara efektif, bukan berdasarkan suatu kekuasaan lahiriah yang dijalankan melalui upaya-upaya manusiawi melulu.
Kecuali itu berdasarkan misi dan hekekatnya Gereja tidak terikat pada bentuk Khas kebudayaan manusiawi atau sistem politik, ekonomi atau sosial manapun juga. Maka berdasarkan sifat universalnya itu Gereja dapat menjadi tali pengikat yang erat sekali antara pelbagai masyarakat dan bangsa manusia, asal mereka mempercayai Gereja, dan sungguh-sungguh mengakui kebebasannya yang sejati untuk menunaikan misinya itu. Oleh karena itu Gereja mengingatkan putera-puterinya, tetapi juga semua orang, supaya mereka dalam semangat kekeluargaan putera-puteri Allah mengatasi segala perselisihan antar bangsa maupun antar suku, dan meneguhkan dari dalam persekutuan-persekutuan manusiawi.
Jadi apa pun yang serba benar, baik dan adil dalam bermacam ragam lembaga, yang telah dan tiada hentinya dibentuk oleh bangsa manusia, itu semua sangat dihormati oleh Konsili. Selain itu dinyatakannya juga, bahwa Gereja hendak membantu dan memajukan semua lembaga semacam itu, sejauh itu tergantung padanya dan dapat digabungkan dengan misinya. Yang paling diinginkan oleh Gereja yakni untuk mengabdi kepada kesejahteraan semua orang, dan dapat mengembangkan diri dengan bebas di bawah pemerintahan mana pun, yang mengakui hak-hak asasi pribadi dan keluarga serta kebutuhan-kebutuhan akan kesejahteraan umum.

43. (Bantuan yang diusahakan oleh Gereja melalui umat kristen bagi kegiatan manusiawi)
Konsili mendorong umat kristiani, warga negara kedua pemukiman, supaya dijiwai oleh semangat Injil mereka berusaha menunaikan dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia. Menyimpanglah dari kebenaran mereka, yang tahu bahwa di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, melainkan mencari pemukiman yang akan datang[92], dan karena itu mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa mengindahkan, bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka masing-masing[93]. Akan tetapi tidak kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa mereka dapat sejauh itu membenamkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi, seolah-olah itu semua terceraikan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan anggapan seakan-akan agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta sejumlah kewajiban moral semata-mata. Perceraian antara iman yang diikrarkan dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai sesuatu yang cukup gawat pada zaman sekarang ini. Batu sandungan itu dalam Perjanjian Lama sudah ditentang dengan sengitnya oleh para Nabi[94]; apalagi dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus sendiri mengancamnya dengan siksaan-siksaan yang berat[95]. Oleh karena itu janganlah secara salah kegiatan kejuruan dan sosial di satu pihak dipertentangkan terhadap hidup keagamaan di pihak lain. Dengan mengabaikan tugas-kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugas-kewajibannya terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan kekalnya. Lebih tepat hendaklah umat kristiani bergembira, bahwa mereka mengikuti teladan Kristus yang hidup bertukang, dan dapat menjalankan segala kegiatan duniawi, sambil memperpadukan semua usaha manusiawi, kerumah-tanggaan, kejuruan, usaha dibidang ilmu pengetahuan maupun tehnik dalam suatu sintesa yang hidup-hidup dengan nilai-nilai keagamaan, yang menjadi norma tertinggi untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah.
Secara khas – meskipun tidak eksklusif – tugas kewajiban maupun kegiatan keduniaan (sekular) termasuk kewenangan kaum awam. Maka bila mereka secara perorangan maupun kolektif, bertindak sebagai warga dunia ini, hendaknya mereka jangan hanya mematuhi hukum-hukum yang khas bagi masing-masing bidang kerja, melainkan hendaknya berusaha juga meraih kemahiran yang sungguh bermutu dibidang itu. Hendaklah mereka dengan sukarela bekerja sama dengan sesama yang mengejar tujuan-tujuan yang sama. Hendaknya mereka mengakui tuntutan-tuntutan iman serta dikuatkan olehnya, dan tanpa ragu-ragu – bila diperlukan – merekayasa usaha-usaha baru dan mewujudkannya. Termasuk kewajiban bagi suarahati mereka yang sudah terbentuk dengan baik, untuk mengusahakan supaya hukum ilahi tertanamkan dalam kehidupan kota duniawi ini. Adapun dari para imam kaum awam hendaknya mengharapkan penyuluhan dan kekuatan rohani. Tetapi janganlah mereka menyangka, seolah-olah para gembala mereka selalu sedemikian ahli, sehingga – bila muncul soal manapun, juga yang cukup berat sekalipun, – para gembala itu mampu langsung memberikan pemecahannya yang konkrit, atau seakan-akan para imam diutus untuk itu. Lebih tepat hendaklah kaum awam dalam terang kebijaksanaan kristiani dan seraya mengindahkan dengan cermat ajaran Magisterium[96], sanggup memainkan peranan mereka sendiri.
Acap kali dalam situasi tertentu pandangan kristiani sendiri akan menjuruskan mereka ke arah pemecahan tertentu pula. Tetapi orang-orang beriman lainnya, dengan hati yang tak kalah tulus, seperti cukup sering terjadi dan memang sewajarnya juga, akan mempunyai pandangan yang berbeda tentang hal yang sama. Bila pemecahan-pemecahan yang diajukan oleh pihak satu dan lainnya, juga tanpa disengaja oleh pihak-pihak itu, oleh banyak orang dengan mudah dikaitkan dengan warta Injil, mereka harus ingat bahwa dalam hal-hal itu tak seorang pun boleh secara eksklusif mengklaim kewibawaan Gereja bagi pandangannya sendiri. Melainkan hendaknya mereka selalu berusaha saling memberi penjelasan melalui musyawarah yang tulus, sambil tetap saling mengasihi dan terutama mengindahkan kesejahteraan umum.
Ada pun kaum awam, yang dalam seluruh kehidupan Gereja harus memainkan peranan aktif, tidak hanya wajib meresapi dunia dengan semangat kristiani, melainkan dipanggil juga untuk dalam segalanya menjadi saksi Kristus ditengah masyarakat manusia.
Sedangkan para Uskup, yang dipercayai untuk tugas memimpin Gereja Allah, bersama imam-imam mereka hendaknya menyiarkan warta Kristus sedemikian rupa, sehingga semua kegiatan umat beriman didunia di limpahi cahaya Injil. Selain itu hendaklah semua gembala menyadari, bahwa dengan perilaku serta kesibukan-kesibukan mereka sehari-hari[97] mereka menampilkan kepada dunia citra Gereja tertentu, yang bagai khalayak ramai menjadi pedoman untuk menilai kekuatan dan kebenaran warta kristiani. Hendaknya, melalui perihidup maupun kata-kata, mereka bersama kaum religius serta umat beriman mereka, memperlihatkan bahwa Gereja dengan kehadirannya saja, beserta semua kurnia yang ada padanya, merupakan sumber yang tak kunjung mengering bagi keutamaan-keutamaan, yang sangat dibutuhkan oleh dunia zaman sekarang. Hendaklah mereka dengan tekun belajar meraih kecakapan sedemikian rupa, sehingga mampu memainkan peranan mereka dalam menjalin dialog dengan dunia serta orang-orang yang berpandangan bermacam-ragam. Tetapi terutama hendaklah mereka memperhatikan pesan Konsili ini: “Karena sekarang ini umat manusia merupakan semakin merupakan kesatuan di bidang kenegaraan, ekonomi dan sosial, maka makin perlu pulalah para imam bersatu padu dalam segala usaha dan karya dibawah bimbingan para Uskup dan Imam Agung Tertinggi. Hendaklah mereka menyingkirkan apa saja yang menimbulkan perpecahan, supaya segenap umat manusia dibawa kedalam kesatuan keluarga Allah[98].
Sungguh pun Gereja berkat kekuatan Roh Kudus telah tetap menjadi mempelai yang setia terhadap Tuhannya, dan tak pernah berhenti menjadi tanda keselamatan di dunia, tetapi sungguh di sadari pula, bahwa diantara para anggotanya[99], klerus maupun awam, dari abad-ke-abad ada saja yang tidak setia kepada Roh Allah. Juga pada zaman kita sekarang gereja mengetahui, betapa besar kesenjangan antara warta yang disiarkannya dan kelemahan manusiawi mereka yang diserahi Injil. Entah bagaimana pun sejarah menilai ketidak-setiaan itu, kita harus menyadarinya dan dengan gigih memeranginya, supaya jangan merugikan penyiaran Injil. Begitu pula Gereja mengetahui, betapa ia dalam memupuk hubungannya dengan dunia, harus terus-menerus bertambah masak berkat pengalamannya dari zaman ke zaman. Di bimbing oleh Roh Kudus, Bunda Gereja tiada hentinya “mendorong para puteranya untuk memurnikan dan membaharui diri, supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja”[100].

44. (Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia zaman sekarang)
Adapun seperti bagi dunia pentinglah mengakui Gereja sebagai suatu kenyataan sosial dalam sejarah dan sebagai raginya, begitu pula Gereja sendiri menyadari, betapa banyak telah diterimanya dari sejarah dan perkembangan umat manusia.
Pengalaman berabad-abad silam, kemajuan ilmu-pengetahuan, harta-kekayaan yang tersembunyi dalam pelbagai bentuk kebudayaan manusia, – hal-hal yang secara lebih penuh menyingkapkan hakekat manusia dan merintis jalan-jalan baru menuju kebenaran, – itu semua berfaedah juga bagi Gereja. Sebab sejak awal sejarahnya Gereja telah belajar mengungkapkan warta Kristus melalui pengertian-pengertian maupun bahasa-bahasa pelbagai bangsa, dan selain itu berusaha menjelaskannya dengan kebijaksanaan para filsuf: maksudnya ialah untuk menyesuaikan Injil dengan daya tangkap semua orang dan dengan tuntutan-tuntutan kaum arif-bijaksana, sebagaimana wajarnya. Adapun cara yang sesuai untuk mewartakan sabda yang diwahyukan harus tetap menjadi patokan bagi setiap penyiaran Injil. Sebab dengan demikian pada setiap bangsa ditumbuhkan kemampuan untuk mengungkapkan warta tentang Kristus dengan caranya sendiri, sekaligus dikembangkan pertukaran yang hidup antara Gereja dan pelbagai kebudayaan bangsa-bangsa[101]. Terutama pada masa sekarang, zaman perubahan-perubahan yang amat pesat dan kemacam-ragaman cara berpikir, Gereja untuk meningkatkan pertukaran itu secara istimewa memerlukan bantuan mereka yang hidup di dunia, benar-benar mengenal pelbagai bidang dan cabang pengetahuan, serta sungguh menyelami inti mentalitasnya, entah menyangkut mereka yang beriman entah kaum tak beriman. Sudah sewajarnyalah segenap Umat Allah, terutama para gembala dan teolog, mendengarkan, membeda-bedakan serta menafsirkan pelbagai corak bahasa zaman sekarang, dan mempertimbangkannya dalam terang sabda ilahi, supaya kebenaran yang diwahyukan dapat ditangkap selalu makin mendalam, difahami semakin baik dn disajikan dengan cara yang makin sesuai.
Karena Gereja mempunyai tata-susunan kemasyarakatan yang nampak dan yang melambangkan kesatuannya dalam Kristus, maka Gereja dapat diperkaya dan memang diperkaya juga berkat perkembangan hidup sosial manusia; bukan seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tata-susunan yang diterimanya dari Kristus, melainkan untuk mengenalnya secara lebih mendalam, untuk mengungkapkannya secara lebih cermat, dan untuk dengan lebih mudah menyesuaikannya dengan zaman sekarang. Dengan penuh syukur Gereja menyadari bahwa selaku jemaat seperti juga dalam putera-puterinya masing-masing ia menerima aneka macam bantuan masyarakat dari setiap lapisan maupun kondisi hidup. Sebab barang siapa menurut rencana Allah mengembangkan masyarakat dalam tata hidup berkeluarga, kebudayaan, hidup ekonomi maupun sosial, begitu pula hidup berpolitik tingkat nasional maupun internasional, menyumbangkan bantuannya yang bukan kecil juga kepada jemaat Gereja, sejauh itu tergantung dari hal-hal lahiriah. Bahkan Gereja mengakui, bahwa di masa lampau maupun sekarang ia banyak berkembang berkat tentangan mereka yang melawan atau menganiayanya[102].

45. (Kristus, Alfa dan Omega)
Sementara Gereja membantu dunia dan menerima banyak dari dunia, yang dimaksudkannya hanyalah: supaya datanglah Kerajaan Allah dan terwujudlah keselamatan segenap bangsa manusia. Adapun segala sesuatu yang baik, yang oleh umat Allah selama masa ziarahnya didunia dapat di sajikan kepada keluarga manusia, bersumber pada kenyataan, bahwa Gereja ialah “sakramen keselamatan bagi semua orang”[103], yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih Allah terhadap manusia.
Sebab Sabda Allah sendiri – karena-Nya segala sesuatu dijadikan – telah menjadi daging, supaya Ia sebagai manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Dirinya. Tuhanlah tujuan sejarah manusia, titik-sasaran dambaan-dambaan sejarah maupun peradaban, pusat umat manusia, kegembiraan hati semua orang dan pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka[104]. Dialah yang oleh Bapa dibangkitkan dari kematian, ditinggikan dan ditempatkan disisi kanan-Nya; Dialah yang ditetapkan-Nya menjadi hakim bagi mereka yang hidup maupun yang mati. Kita, yang dihidupkan dan dihimpun dalam Roh-Nya, sedang berziarah menuju pemenuhan sejarah manusia, yang sepenuhnya sesuai dengan rencana cinta kasih-Nya: “Mempersatukan dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:10).
Bersabdalah Tuhan sendiri: “Sesungguhnya aku datang segera, dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang menurut perbuatannya. Akulah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (Why 22:12-13).