28. (Sikap hormat dan cinta kasih
terhadap lawan)
Sikap hormat dan cinta kasih harus diperluas
untuk manampung mereka pula, yang dibidang sosial, politik atau pun keagamaan
berpandangan atau bertindak berbeda dengan kita. Sebab semakin mendalam kita
dengan sikap ramah dan cinta kasih menyelami cara-cara mereka berpandangan,
semakin mudah pula kita akan dapat menjalin dialog dengan mereka.
Tentu saja cinta kasih dan kebaikan
hati itu janganlah sekali-kali menjadikan kita acuh tak acuh terhadap kebenaran
dan kebaikan. Bahkan cinta kasih sendiri mendesak para murid Kristus untuk
menyiarkan kebenaran yang membawa keselamatan kepada semua orang. Tetapi perlu
dibedakan antara kesesatan yang selalu harus ditolak, dan orangnya yang sesat,
yang tetap harus memiliki martabat pribadi, juga bila ia ternodai oleh
pandangan-pandangan keagamaan yang salah atau kurang cermat[51].
Allah sendirilah satu-satunya yang mengadili dan menyelami hati; maka Ia
melarang kita supaya jangan menjatuhkan pengadilan atas kesalahan batin siapa pun[52].
Ajaran Kristus meminta supaya kita
mengampuni perlakuan-perlakuan yang tak adil[53],
dan memperluas perintah cinta kasih kepada semua musuh-musuh; itulah perintah
Perjanjian Baru: “Kamu mendengar bahwa dikatakan: Kasihilah sesamamu, dan
bencilah musuhmu. Akan tetapi Aku berpesan kepada kamu: Cintailah
musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada mereka yang membenci kamu; serta
berdoalah bagi mereka yang menganiaya dan memfitnah kamu” (Mat 5:43-44).
29. (Kesamaan hakiki antara semua
orang dan keadilan sosial)
Semua orang mempunyai jiwa yang
berbudi dan diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat
serta asal mula yang sama. Mereka semua ditebus oleh Kristus, dan mengamban
panggilan serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah
kesamaan dasariah antara semua orang.
Memang karena pelbagai kemampuan
fisik maupun kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moral tidak dapat
semua orang disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi
pribadi , entah bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku,
warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan,
karena bertentangan dengan maksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa
hak-hak asasi pribadi itu belum dimana-mana dipertahankan secara utuh dan aman.
Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih
suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan
meraih kebudayaan yang sama seperti dipandang wajar bagi pria.
Kecuali itu, sungguhpun antara
orang-orang terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat
pribadi menuntut, agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil.
Sebab perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa
dalam satu keluarga manusia dibidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu
sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, mertabat
pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial dan international.
Adapun lembaga-lembaga manusiawi,
baik swasta maupun umum, hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia,
seraya sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial maupun
politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap
pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi
kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga kalau ada
kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.
30. (Etika individualis harus
diatasi)
Mendalam serta pesatnya perubahan
lebih mendesak lagi, supaya janganlah seorang pun, karena mengabaikan
perkembangan zaman atau lamban tak berdaya, mengikuti etika yang individualis
semata-mata. Tugas keadilan dan cinta kasih semakin dipenuhi, bila setiap orang
menurut kemampuannya sendiri dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan sesama
memberikan sumbangannya kepada kesejahteraan umum, serta memajukan dan membantu
lembaga-lembaga umum maupun swasta, yang melayani peningkatan kondisi-kondisi
hidup orang-orang. Ada saja yang kendati menyarakan pandangan-pandangan yang
luas dan bernada kebesaran jiwa, tetapi menurut kenyataannya selalu hidup
sedemikian rupa, seolah-olah sama sekali tidak mempedulikan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat. Malahan di pelbagai daerah tidak sedikit pula, yang meremehkan
hukum-hukum dan peraturan-peraturan sosial. Tidak sedikit juga, yang dengan
bermacam-macam tipu muslihat berani mengelakkan pajak-pajak yang wajar maupun
hal-hal lain yang termasuk hak masyarakat. Orang-orang lain menganggap sepele
beberapa peraturan hidup sosial, misalnya, untuk menjaga kesehatan, atau untuk
mengatur lalu lintas, tanpa mempedulikan, bahwa dengan kelalaian semacam itu
mereka membahayakan hidup mereka sendiri dan sesama.
Hendaknya bagi semua merupakan
kewajiban suci: memandang hubungan-hubungan sosial sebagai tugas utama manusia
zaman sekarang, serta mematuhinya. Sebab semakin dunia bersatu, semakin jelas
pulalah tugas-tugas orang-orang melampaui kepentingan kelompok-kelompok khusus,
dan lama-kelamaan meluas ke dunia semesta. Itu hanyalah mungkin bila
masing-masing perorangan dan kelompok mengembangkan keutamaan-keutamaan moral
dan sosial dalam diri mereka sendiri, dan menyebarkannya dalam masyarakat.
Dengan demikian memang sesungguhnya – berkat bantuan rahmat ilahi yang memang
diperlukan – akan bangkitlah manusia-manusia baru, yang membangun kemanusiaan
yang baru pula.
31. (Tanggung jawab dan
keikut-sertaan)
Supaya setiap orang lebih saksama
menunaikan tugas hati nuraninya baik terhadap dirinya maupun terhadap pelbagai
kelompok yang diikutinya, ia harus dengan tekun menjalani pembinaan menuju
kebudayaan rohani yang lebih luas, dengan memanfaatkan bantuan-bantuan besar,
yang sekarang ini tersedia bagi bangsa manusia. Terutama pendidikan kaum muda
dari lapisan sosial mana pun juga hendaknya di selenggarakan sedemikian rupa,
sehingga bangkitlah kaum pria maupun wanita, yang bukan saja berpendidikan
tinggi, melainkan juga berjiwa besar, karena memang mereka itulah yang sangat
diperlukan untuk zaman sekarang.
Akan tetapi praktis orang hanya
mencapai kesadaran bertanggung jawab itu, bila kondisi-kondisi hidup memungkinkannya,
untuk menyadari martabatnya, dan untuk menanggapi panggilannya dengan
membaktikan diri kepada Allah dan sesama. Adapun kebebasan manusia seringkali
melemah, bila ia jatuh ke dalam kemelaratan yang amat parah; begitu pula
kebebasan itu merosot, bila orang menuruti saja kemudahan-kemudahan hidup yang
berlebihan, dan mengurung diri bagaikan dalam menara gading. Sebaliknya
kebebasan itu diteguhkan, bila orang menerima kebutuhan-kebutuhan hidup sosial
yang tak terelakkan, menyanggupi bermacam-macam tuntutan solidaritas antar
manusia, dan mengikat diri untuk mengabdi masyarakat.
Oleh karena itu semua orang perlu di
dorong kemauan untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha bersama. Memang layak
dipujilah pola bertindak bangsa, bila sebanyak mungkin warganya dalam kebebasan
sejati melibatkan diri dalam urusan-urusan kenegaraan umum. Tetapi perlu
diperhitungkan juga keadaan nyata setiap bangsa, begitu pula perlunya
pemerintahan yang cukup kuat. Adapun supaya semua warganegara bergairah untuk
melibatkan diri dalam kehidupan pelbagai kelompok, yang seluruhnya membentuk
tubuh masyarakat, perlulah bahwa dalam kelompok-kelompok itu mereka temukan
nilai-nilai, yang menarik bagi mereka, dan membangkitkan kesediaan mereka untuk
melayani sesama. Memang wajarlah pandangan kita, bahwa nasib bangsa di kemudian
hari terletak di tangan mereka, yang mampu mewariskan kepada generasi-generasi
mendatang dasar-dasar untuk hidup dan berharap.
32. (Sabda yang menjelama dan
solidaritas manusia)
Allah menciptakan orang-orang bukan
untuk hidup sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Begitu
pula Ia “bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu per
satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka
menjadi umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan
suci[54].
Sejak awal mula sejarah keselamatan Ia memilih orang-orang bukan melulu sebagai
perorangan, melainkan sebagai anggota suatu masyarakat. Sebab seraya mewahyukan
Rencana-Nya Allah menyebut mereka yang terpilih itu “Umat-Nya” (Kel 3:7-12);
kemudian di Sinai Ia mengikat perjanjian dengan Umat itu[55].
Sifat kebersamaan itu berkat karya
Yesus Kristus disempurnakan dan dipenuhkan. Sebab Sabda yang menjelma sendiri
telah menghendaki menjadi anggota rukun hidup manusiawi. Ia menghadiri pesta
perkawinan di Kana, berkenan berkunjung ke rumah Zakeus, dan makan bersama
dengan pemungut cukai dan orang-orang pendosa. Ia mewahyukan cinta kasih Bapa
serta panggilan manusia yang luhur, dengan menunjukkan kepada
kenyataan-kenyataan sosial yang sangat lazim dan menggunakan peribahasa serta
lambang-lambang hidup sehari-hari saja. Ia menguduskan hubungan-hubungan antar
manusia, terutama hubungan keluarga, sumber kehidupan sosial. Dengan sukarela
Ia mematuhi hukum-hukum tanah air-Nya. Ia menghendaki hidup sebagai buruh pada
zaman-Nya dan di daerah-Nya sendiri.
Dalam pewartaan-Nya Ia memerintahkan
dengan jelas kepada putera-puteri Allah, supaya mereka bertingkah laku sebagai
saudara satu terhadap lainnya. Dalam doa-Nya Ia meminta, supaya semua murid-Nya
menjadi “satu”. Malahan Ia sendiri hingga wafat-Nya mengorbankan Diri bagi
semua orang, menjadi Penebus mereka semua. “Tidak ada kasih yang lebih besar
dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya”
(Yoh 15:13). Adapun para Rasul di perintahkan-Nya untuk mewartakan kepada semua
bangsa warta Injil, supaya bangsa manusia menjadi keluarga Allah, yang
kepenuhan hukumnya ialah cinta kasih.
Sesudah wafat dan kebangkitan-Nya,
sebagai Putera Sulung diantara banyak saudara, Ia membentuk dengan kurnia Roh
Kudus-Nya suatu persekutuan persaudaraan di antara mereka semua yang
menerima-Nya dengan iman dan cinta kasih, yakni dalam Tubuh-Nya, ialah Gereja.
Di situ semua orang saling menjadi anggota, dan sesuai dengan pelbagai kurnia
yang mereka terima, saling melayani.
Solidaritas itu harus selalu
dikembangkan, hingga harinya akan mencapai kepenuhannya, bila mereka
diselamatkan berkat rahmat, sebagai keluarga yang dicintai oleh Allah dan oleh
Kristus Saudaranya, akan melambungkan kemuliaan sempurna kepada Allah.
BAB
TIGA – KEGIATAN MANUSIA DI SELURUH DUNIA
33. (Masalah-persoalannya)
Manusia selalu telah berusaha
mengembangkan hidupnya dengan jerih-payah dan berkat-pembawaannnya. Tetapi
zaman sekarang ini, terutama berkat ilmu pengetahuan dan teknologi, ia telah
dan tetap masih memperluas kedaulatannya hampir atas alam semesta. Pertama-tama
berkat bantuan upaya-upaya aneka macam pertukaran (komunikasi) antar bangsa
yang meningkat, keluarga manusia lambat-laun makin mengakui dan membentuk diri
sebagai satu masyarakat di seluruh dunia. Dengan demikian banyak harta-nilai,
yang dulu oleh manusia terutama diharapkan dari kekuatan-kekuatan atas-duniawi,
sekarang sudah diusahakannya melalui kegiatannya sendiri.
Menghadapi usaha besar-besaran, yang
sudah merasuki seluruh bangsa manusia itu, banyak muncul pertanyaan-pertanyaan
dalam masyarakat. Manakah arti dan nilai jerih-payah itu? Bagamana semua itu
harus dimanfaatkan? Tujuan manakah yang mau dicapai melalui usaha-usaha baik
perorangan maupuk kelompok-kelompok? Adapun Gereja, yang menjaga khazanah sabda
Allah, yakni sumber kaidah-kaidah di bidang religius dan kesusilaan, memang
tidak selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan itu masing-masing. Tetapi
ingin memperpadukan cahaya perwahyuan dengan keahlian semua orang, supaya
menjadi teranglah jalan yang belum lama ini mulai ditempuh oleh masyarakat
manusia.
34. (Nilai kegiatan manusia)
Bagi kaum beriman ini merupakan
keyakinan: kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha
besar-besaran itu sendiri, yang dari zaman ke zaman di kerahkan oleh banyak
orang untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan
rencana Allah. Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima
titah-Nya, supaya menakhlukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat
padanya, serta menguasai dunia dalam keadilan dan kesucian[56];
ia mengemban perintah untuk mengakui Allah sebagai Pencipta segala-galanya, dan
mengarahkan diri beserta seluruh alam kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya
segala sesuatu kepada manusia nama Allah sendiri di kagumi di seluruh bumi[57].
Itu berlaku juga bagi pekerjaan
sehari-hari yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang – sementara
mencari nafkah bagi diri maupun keluarga mereka – melakukan pekerjaan mereka
sedemikian rupa sehingga sekaligus berjasa bakti bagi masyarakat, memang dengan
tepat dapat berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan
karya Sang Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan
menyumbangkan kegiatan mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam
sejarah[58]].
Oleh karena itu umat kristiani tidak
beranggapan seolah-olah karya-kegiatan, yang dihasilkan oleh bakat-pembawaan
serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan
yang berakalbudi menyaingi Penciptanya. Mereka malahan yakin bahwa kemenangan-kemenangan
bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan merupakan buah rencana-Nya
yang tidak terperikan. Adapun semakin kekuasaan manusia bertambah, semakin luas
pula jangkauan tanggung jawabnya, baik itu tanggung jawab perorangan maupun tanggung
jawab bersama. Maka jelaslah pewartaan kristiani tidak menjauhkan orang-orang
dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong mereka untuk mengabaikan
kesejahteraan sesama; melainkan justru semakin terikat tugas untuk melaksanakan
itu[59].
35. (Norma kegiatan manusia)
Adapun seperti kegaitan insani
berasal dari manusia, begitu pula kegiatan itu terarahkan kepada manusia. Sebab
bila manusia bekerja, ia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dalam
masyarakat, melainkan menyempurnakan dirinya sendiri juga. Ia belajar banyak,
mengembangkan bakat-kemampuannya, beranjak keluar dari dirinya dan melampaui
dirinya. Pengembangan diri itu, bila diartikan dengan tepat, lebih bernilai dari
harta kekayaan lahiriah yang dapat dikumpulkan. Manusia lebih bernilai karena
kenyataan dirinya sendiri dari pada karena apa yang dimilikinya[60].
Begitu pula segala sesuatu, yang diperbuat untuk orang memperoleh keadilan yang
penuh, persaudaraan yang lebih luas. Tata-cara yang manusiawi dalam
hubungan-hubungan sosial, lebih berharga dari pada kemajuan-kemajuan di bidang
teknologi. Sebab kemajuan-kemajuan itu memang dapat menyediakan semacam bahan
bagi pengembangan manusiawi, tetapi dipandang begitu saja sama sekali tidak
mewujudkan pengembangan itu sendiri.
Oleh karena inilah tolok ukur
kegiatan manusiawi: supaya kegiatan itu menurut rencana dan kehendak Allah
selaras dengan kesejahteraan sejati umat manusia, lagi pula memungkinkan
manusia sebagai perorangan maupun warga masyarakat untuk mengembangkan dan
mewujudkan sepenuhnya panggilannya seutuhnya.
36. (Otonomi hal-hal duniawi yang
sewajarnya)
Akan tetapi agaknya banyak orang
zaman sekarang mengkhawatirkan, bahwa makhluk-makhluk dan masyarakat sendiri
mempunyai hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri, yang demi sedikit harus
dikenal, dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia, maka memang sangat
pantaslah menuntut otonomi itu. Dan bukan hanya dituntut oleh orang-orang zaman
sekarang, melainkan selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab
berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikurniai kemandirian,
kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai
tata-susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua, dengan
mengakui metode-metode yang khas bagi setiap ilmu pengetahuan dan bidang
tehnik. Maka dari itu penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila
dijalankan secara sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak
pernah akan sungguh bertentangan dengan iman, karena hal-hal profan dan
pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama[61].
Bahkan barang siapa dengan rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki
rahasia-rahasia alam, kendati tanpa di sadari pun ia bagaikan di tuntun oleh
tangan Allah, yang melestarikan segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana
adanya. Oleh karena itu bolehlah kiranya disesalkan sikap-sikap tertentu, yang
kadang-kadang terdapat juga dikalangan Umat kristiani sendiri, sebab mereka
kurang memahami otonomi ilmu-pengetahuan yang sewajarnya. Karena dari situ
timbul pertengkaran dan perdebatan, sikap-sikap itu mendorong cukup banyak
orang, untuk beranggapan seolah-olah iman dan ilmu-penetahuan itu saling
bertentangan[62].
Akan tetapi bila “otonomi hal-hal
duniawi” diartikan: seolah-olah ciptaan tidak tergantung dari Allah, dan
manusia dapat menggunakannya sedemikian rupa, sehingga tidak lagi
menghubungkannya dengan Sang Pencipta, maka siapa pun yang mengakui Allah pasti
merasa juga, betapa sesatnya anggapan-anggapan semacam itu. Sebab tanpa Sang
Pencipta makhluk lenyap hilang. Selain itu semua orang beriman, termasuk agama
manapun juga, selalu mendengarkan suara serta perwahyuan-Nya dalam bahasa
makhluk-makhluk. Malahan kalau Allah di lupakan, ciptaan sendiri diliputi kegelapan.
37. (Kegiatan manusia di rusak
karena dosa)
Adapun Kitab suci, senada dengan
pengalaman dari zaman ke zaman, mengajarkan kepada keluarga manusia, bahwa
kemajuan, yang bagi manusia memang besar nilainya, dilain pihak membawa godaan
yang gawat juga. Sebab bila tata-nilai dikacaukan dan kejahatan di
campur-adukkan dengan kebaikan, masing-masing orang dan kelompok hanyalah
memperhatikan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan sesama. Demikianlah
dunia bukan wahana persaudaraan yang sejati lagi, sedangkan kemampuan manusia
yang meningkat mengancam manusia sendiri dengan kepunahannya.
Sebab seluruh sejarah manusia sarat
dengan perjuangan sengit melawan kekuasaan kegelapan. Pergulatan itu mulai
sejak awal dunia, dan menurut amanat Tuhan[63]
akan tetap berlangsung hingga hari kiamat. Terjebak dalam pergumulan itu,
manusia tiada hentinya harus berjuang untuk tetap berpegang pada yang baik. Dan
hanya melalui banyak jerih-payah, berkat bantuan rahmat Allah, ia mampu
mencapai kesatuan dalam dirinya.
Oleh sebab itu, seraya mengakui
bahwa kemajuan manusiawi memang dapat menunjang kebahagiaan manusia yang
sejati, Gereja Kristus percaya akan rencana Sang Pencipta, toh tidak dapat lain
kecuali menggemakan pesan Rasul: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
ini” (Rom 12:2), artinya: dengan semangat kesia-siaan dan kejahatan, yang
mengubah kegiatan insani – sebenarnya dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah
dan manusia – menjadi alat dosa.
Jadi kalau ada yang bertanya
bagaimana malapetaka itu dapat diatasi, Umat kristiani menyatakan, bahwa semua
kegiatan manusia, yang karena kesombongan dan cinta diri yang tidak teratur
setiap hari terancam bahaya, harus dimurnikan dan disempurnakan berkat Salib
dan kebangkitan Kristus. Sebab manusia, yang ditebus oleh Kristus dan dalam Roh
Kudus dijadikan ciptaan baru, dapat dan wajib juga mencintai semua ciptaan
Allah. Ia menerima segalanya itu dari Allah, dan memandangnya serta
menghormatinya bagaikan mengalir dari tangan Allah. Atas semua itu manusia
mengucap syukur kepada Sang Pemberi kurnia; dalam kemiskinan dan kebebasan
rohani ia menggunakan alam ciptaan dan memetik hasilnya; dan demikianlah ia
diantar untuk memiliki dunia secara sejati, seakan-akan tidak mempunyai
apa-apa, tetapi Roh memiliki segalanya[64].
“Sebab semua itu milikmu; adapun kamu milik Kristus, dan Kristus milik Allah”
(1Kor 3:22-23).
38. (Dalam misteri Paska kegiatan
manusia mencapai kesempurnaannya)
Sebab Sabda Allah sendiri,
Pengantara dalam penciptaan segala sesuatu, telah menjadi daging dan tinggal di
bumi manusia[65];
sebagai manusia sempurna ia memasuki sejarah dunia, seraya menampung dan
merangkumnya dalam Dirinya[66].
Sang Sabda mewahyukan kepada kita, “bahwa Allah itu cinta kasih” (1Yoh 4:8),
sekaligus mengajarkan kepada kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan
karena itu juga perombakan dunia ialah perintah baru cinta kasih. Maka ia
meyakinkan semua, yang percaya akan kasih-sayang ilahi, bahwa jalan cinta kasih
terbuka bagi semua orang, dan bahwa usaha untuk membangun persaudaraan
universal tidak akan percuma. Sekaligus Ia mengingatkan, bahwa cinta kasih itu
jangan hanya dikejar dalam hal-hal besar, melainkan pertama-tama dalam situasi
hidup yang serba biasa. Bagi kita semua yang pendosa ini Ia menanggung maut[67];
dengan teladan-Nya Ia mengajarkan kepada kita pula, bahwa kita pun harus
mengangkat salib, yang oleh daging dan dunia dibebankan atas bahu mereka yang
mengejar perdamaian dan keadilan. Kristus, yang karena kebangkitan-Nya
ditetapkan menjadi Tuhan, dan yang diserahi segala kuasa di langit dan di bumi[68],
sudah berkarya dihati manusia karena kekuatan Roh-Nya, bukan saja dengan
membangkitkan kerinduan akan zaman yang akan datang, melainkan demikian pula
dengan menjiwai, memurnikan serta meneguhkan aspirasi-aspirasi yang bersumber
pada kebesaran jiwa, dan menggerakkan usaha-usaha keluarga manusia untuk
menjadikan hidupnya lebih manusiawi, dan untuk membawahkan seluruh bumi kepada
tujuan itu. Adapun bermacam-ragamlah kurnia Roh: ada yang di panggil-Nya untuk
memberi kesaksian jelas tentang kerinduan akan kediaman sorgawi, dan untuk
tetap menghidupkan dambaan itu dalam keluarga manusia; ada pula yang
dipanggil-Nya untuk membaktikan diri kepada pelayanan sesama di dunia, dan
untuk dengan pengabdian itu menyiapkan landasan bagi kerajaan sorgawi. Tetapi
semua orang dibebaskan-Nya untuk mengingkari cinta diri, dan menampung segala
kekuatan dunia ini ke dalam hidup manusiawi, dan dengan demikian melaju ke masa
depan, saatnya bangsa manusia sendiri menjadi persembahan yang berkenan kepada
Allah[69].
Jaminan harapan itu dan bekal untuk
perjalanan oleh Tuhan ditinggalkan kepada para murid-Nya dalam Sakramen iman,
saatnya unsur-unsur alamiah, yang dikelola oleh manusia, di ubah menjadi Tubuh
dan Darah mulia, yakni perjamuan persekutuan persaudaraan, antipasi perjamuan
sorgawi.
39. (Bumi baru dan langit baru)
Kau tidak mengetahui, bilamana dunia
dan umat manusia akan mencapai kesudahannya[70];
tidak tahu pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang kita
kenal sekarang, dan telah rusak akibat dosa, akan berlalu[71].
Tetapi kita terima ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru, kediaman
keadilan[72],
yang kebahagiaannnya akan memenuhi dan melampaui segala kerinduan akan
kedamaian, yang timbul dalam hati manusia[73].
Dan pada saat itu maut akan dikalahkan, putera-puteri Allah akan dibangkitkan
dalam Kristus, dan benih yang telah ditaburkan dalam kelemahan dan kebinasaan,
akan mengenakan yang tidak dapat binasa[74].
Cinta kasih beserta karya-Nya akan lestari[75],
dan segenap alam tercipta, yang oleh Allah telah diciptakan demi manusia, akan
dibebaskan dari perbudakan kepada kesia-siaan[76].
Kita memang diperingatkan, bahwa
bagi manusia tiada gunanya, kalau ia memperoleh seluruh dunia, tetapi
membinasakan dirinya[77].
Akan tetapi janganlah karena mendambakan dunia baru orang lalu menjadi lemah
perhatiannya untuk mengolah dunia ini. Justru harus tumbuhlah perhatian itu,
sehingga berkembanglah Tubuh keluarga manusia yang baru, yang sudah mampu
memberi suatu bayangan tentang zaman baru. Maka dari itu, sungguh pun kemajuan
duniawi harus dengan cermat dibedakan dari pertumbuhan kerajaan Kristus, tetapi
kemajuan itu sangat penting bagi Kerajaan Allah, sejauh dapat membantu untuk
mengatur masyarakat manusia secara lebih baik[78].
Sebab nilai-nilai martabat manusia,
persekutuan persaudaraan dan kebebasan, dengan kata lain: semua buah hasil yang
baik, yang bersumber pada kodrat maupun usaha kita, sesudah kita sebarluaskan
di dunia dalam Roh Tuhan dan menurut perintah-Nya kemudian akan kita temukan
kembali, tetapi dalam keadaan dibersihkan dari segala cacat-cela, diterang dan
diubah, bila Kristus mengembalikan kepada Bapa kerajaan abadi dan universal:
“kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan
keadilan, cinta kasih dan kedamaian”[79].
Di dunia ini kerajaan itu sudah hadir dalam mister; tetapi akan mencapai
kepenuhannya bila Tuhan datang.
BAB
EMPAT – PERANAN GEREJA DALAM DUNIA ZAMAN SEKARANG
40. (Hubungan timbal-balik antara
Gereja dan Dunia)
Segala sesuatu yang telah kami
uraikan tentang martabat pribadi manusia, tentang masyarakat manusia, dan
tentang arti mendalam kegiatan manusia, merupakan dasar bagi hubungan Gereja
dan dunia, dan landasan bagi dialog timbal-balik antara keduanya[80].
Maka sekarang dalam bab ini, dengan mengandaikan semuanya yang oleh Konsili ini
telah dipaparkan tentang misteri Gereja, yang merupakan bahan refleksi yakni
Gereja sejauh hadir di dunia, hidup bersamanya dan bertindak di dalamnya.
Gereja berasal dari cinta kasih Bapa
yang kekal[81],
didirikan oleh Kristus Penebus dalam kurun waktu, dan di himpun dalam Roh Kudus[82].
Gereja itu mempunyai tujuan penyelamatan dan eskatologis, yang hanya dapat
tercapai sepenuhnya di zaman yang akan datang. Ada pun Gereja yang sudah hadir
di dunia ini, terhimpun dari orang-orang yang termasuk warga masyarakat dunia.
Mereka itu di panggil, supaya sudah sejak dalam sejarah umat manusia ini sudah
membentuk keluarga putera-puteri Allah, yang terus menerus harus berkembang
hingga kedatangan Tuhan. Keluaraga itu terhimpun demi harta-harta sorgawi, dan
diperkaya dengannya. Keluarga itu oleh Kristus “disusun dan di atur di dunia
ini sebagai serikat”[83],
dan “dilengkapi dengan sarana-sarana yang tepat untuk mewujudkan persatuan yang
nampak dan bersifat sosial[84].
Begitulah Gereja, sekaligus kelompok yang nampak dan persekutuan rohani”[85],
menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan
dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan
bagaikan penjiwa masyarakat manusia[86],
yang harus diperbaharui dalam Kristus dan diubah menjadi keluarga Allah.
Adapun bahwa masyarakat duniawi dan
sorgawi itu saling merasuki, hanyalah dapat di tangkap dalam iman, bahkan tetap
merupakan misteri sejarah manusia, yang hingga perwahyuan sepenuhnya kemuliaan
putera-puteri Allah dikeruhkan oleh dosa. Seraya mengejar keselamatan sebagai
tujuannya sendiri, Gereja bukan hanya menyalurkan kehidupan ilahi kepada manusia,
melainkan dengan cara tertentu juga memancarkan pantulan cahaya-Nya ke seluruh
dunia, terutama dengan menyembuhkan dan mengangkat martabat pribadi manusia,
dengan meneguhkan keseluruhan masyarakat manusia. Dan dengan memberi makna
serta arti yang lebih mendalam kepada kegiatan manusia. Segenap persekutuannya,
merasa mampu berjasa banyak, untuk lebih memanusiawikan keluarga manusia
beserta sejarahnya.
Kecuali itu Gereja katolik dengan
senang hati menyatakan penghargaannya yang tertinggi terhadap apa saja yang
untuk menunaikan tugas yang sama telah dan tetap masih dijalankan serentak oleh
Gereja-Gereja kristen atau jemaat-jemaat gerejawi lainnya. Sekaligus Gereja
merasa sungguh yakin, bahwa dalam banyak hal dan dengan pelbagai cara ia dapat
membantu dunia, baik setiap orang perorangan maupun oleh masyarakat manusia,
berkat bakat-kemampuan maupun kegiatan mereka, untuk merintis jalan bagi Injil.
Di sini diuraikan beberapa asas umum untuk secara tepat mengintensifkan
pertukaran serta bantuan timbal-balik di bidang-bidang, yang dengan cara
tertentu dihadapi bersama oleh Gereja dan dunia.
41. (Bantuan yang oleh Gereja mau
diberikan kepada setiap orang)
Manusia zaman sekarang sedang
berusaha mengembangkan kepribadiannya secara lebih penuh dan semakin mengenal
serta mau menegakkan hak-haknya. Adapun kepada Gereja dipercayakan untuk
menyiarkan misteri Allah, yang merupakan tujuan terakhir manusia. Maka Gereja
sekaligus menyingkapkan kepada manusia makna keberadaannya sendiri, dengan kata
lain, kebenaran yang paling mendalam tentang manusia. Sesungguhnya Gereja
menyadari, bahwa hanya Allah yang diabdinyalah, yang dapat memenuhi
keinginan-keinginan hati manusia yang terdalam, dan tidak akan pernah mencapai
kepuasan sepenuhnya dengan apa saja yang disajikan oleh dunia. Selain itu
Gereja menyadari, bahwa manusia tiada hentinya di dorong oleh Roh Allah, dan
karena itu tidak akan pernah acuh tak acuh belaka terhadap masalah keagamaan.
Itu memang terbukti juga bukan saja oleh pengalaman abad-abad yang silam,
melainkan juga oleh aneka macam kesaksian zaman sekarang. Sebab manusia selalu
akan ingin mengetahui, setidak-tidaknya secara samar-samar, manakah arti
hidupnya, kegiatannya dan kematiannya. Kehadiran Gereja sendiri mengingatkan
akan masalah-masalah itu. Akan tetapi hanya Allah, yang menciptakan manusia
menurut gambar-Nya, dan menebusnya dari dosalah, yang memberi jawaban paripurna
kepada soal-soal itu, yakni melalui perwahyuan dalam Kristus Putera-Nya yang
telah menjadi manusia. Barang siapa mengikuti Kristus Manusia sempurna, juga
akan menjadi manusia yang lebih utuh.
Bertumpu pada iman itu Gereja dapat
mengamankan martabat kodrat manusia terhadap semua kegoncangan
pendapat-pendapat, misalnya yang terlalu meremehkan tubuh manusia atau
menyanjung-nyanjungnya secara berlebihan. Oleh hukum manusiawi mana pun juga
martabat pribadi dan kebebasan manusia tidak dapat dijamin keutuhannya
sedemikian baik seperti oleh Injil Kristus, yang dipercayakan kepada gereja.
Sebab Injil itu memakhlumkan dan mewartakan kebebasan putera-puteri Allah,
menolak setiap perbudakan yang pada dasarnya bersumber pada dosa[87],
menghormati dengan sungguh-sungguh martabat suara hati beserta keputusannya
yang bebas, tiada hentinya mengingatkan, bahwa semua bakat manusia harus
disuburkan demi pengabdian kepada Allah dan sesama, dan akhirnya mempercayakan
siapa saja kepada cinta kasih semua orang[88].
Itu memang sesuai dengan hukum dasar tata-kristiani. Sebab memang Allah yang
sama itu sekaligus Penyelamat dan Pencipta, lagi pula hanya ada satu Tuhan bagi
sejarah manusia dan sejarah keselamatan. Tetapi dalam tata-ilahi itu juga
otonomi yang sewajarnya bagi makhluk, dan terutama bagi manusia tidak dihapus,
justru malahan dikembalikan kepada martabatnya, dan dikukuhkan dalamnya.
Oleh karena itu, berdasarkan Injil
yang dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia, dan mengakui
serta menjunjung tinggi dinamisme zaman sekarang, yang di mana-mana mendukung
hak-hak itu. Tetapi gerakan itu perlu dijiwai oleh semangat Injil dan
dilindungi terhadap setiap bentuk otonomi yang palsu. Sebab kita dapat tergoda
untuk beranggapan, seolah-olah hak-hak pribadi kita hanya terjamin sepenuhnya,
bila kita dibebaskan dari setiap norma Hukum ilahi. Tetapi dengan cara itu
martabat pribadi manusia takkan diselamatkan, justru malahan akan runtuh.
42. (Bantuan yang diusahakan oleh
Gereja untuk diberikan kepada masyarakat manusia)
Persatuan keluarga manusia amat
diteguhkan dan dilengkapi oleh kesatuan keluarga putera-puteri Allah yang
didasarkan pada Kristus[89].
Adapun misi khusus, yang oleh
kristus telah dipercayakan kepada Gereja-Nya, tidak terletak di bidang politik,
ekonomi atau sosial; sebab tujuan yang telah di tetapkan-Nya untuk Gereja
bersifat keagamaan[90].
Tentu saja dari misi keagamaan itu sendiri muncullah tugas, terang dan
daya-kekuatan, yang dapat melayani pembentukan dan peneguhan masyarakat manusia
menurut Hukum ilahi. Begitu pula bilamana diperlukan menurut situasi semasa dan
setempat, misi itu dapat, bahkan wajib juga membangkitkan kegiatan untuk
melayani semua orang, terutama karya-karya bagi mereka yang sangat
membutuhkannya, misalnya amal belas kasihan, dan sebagainya.
Selain itu Gereja mengakui apa pun
yang serba baik dalam gerak pembangunan masyarakat zaman sekarang: terutama
perkembangan menuju kesatuan, kemajuan sosialisasi yang sehat dan solidaritas
kewarganegaraan dan ekonomi. Sebab pengembangan kesatuan selaras dengan misi
Gereja yang paling dalam, karena Gereja itu “dalam Kristus bagaikan Sakramen,
yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat
manusia[91].
Begitulah Gereja menunjukkan kepada dunia, bahwa kesatuan sosial lahiriah yang
sejati bersumber pada persatuan budi dan hati, artinya pada iman dan cinta
kasih, yang dalam Roh Kudus secara tak terceraikan mendasari kesatuan Gereja.
Sebab kekuatan yang Gereja mampu resapkan ke dalam masyarakat manusia zaman
sekarang, berupa iman dan cinta kasih, yang dihayati secara efektif, bukan
berdasarkan suatu kekuasaan lahiriah yang dijalankan melalui upaya-upaya
manusiawi melulu.
Kecuali itu berdasarkan misi dan
hekekatnya Gereja tidak terikat pada bentuk Khas kebudayaan manusiawi atau sistem
politik, ekonomi atau sosial manapun juga. Maka berdasarkan sifat universalnya
itu Gereja dapat menjadi tali pengikat yang erat sekali antara pelbagai
masyarakat dan bangsa manusia, asal mereka mempercayai Gereja, dan
sungguh-sungguh mengakui kebebasannya yang sejati untuk menunaikan misinya itu.
Oleh karena itu Gereja mengingatkan putera-puterinya, tetapi juga semua orang,
supaya mereka dalam semangat kekeluargaan putera-puteri Allah mengatasi segala
perselisihan antar bangsa maupun antar suku, dan meneguhkan dari dalam
persekutuan-persekutuan manusiawi.
Jadi apa pun yang serba benar, baik
dan adil dalam bermacam ragam lembaga, yang telah dan tiada hentinya dibentuk
oleh bangsa manusia, itu semua sangat dihormati oleh Konsili. Selain itu
dinyatakannya juga, bahwa Gereja hendak membantu dan memajukan semua lembaga
semacam itu, sejauh itu tergantung padanya dan dapat digabungkan dengan
misinya. Yang paling diinginkan oleh Gereja yakni untuk mengabdi kepada
kesejahteraan semua orang, dan dapat mengembangkan diri dengan bebas di bawah
pemerintahan mana pun, yang mengakui hak-hak asasi pribadi dan keluarga serta
kebutuhan-kebutuhan akan kesejahteraan umum.
43. (Bantuan yang diusahakan oleh
Gereja melalui umat kristen bagi kegiatan manusiawi)
Konsili mendorong umat kristiani,
warga negara kedua pemukiman, supaya dijiwai oleh semangat Injil mereka
berusaha menunaikan dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia. Menyimpanglah
dari kebenaran mereka, yang tahu bahwa di sini kita tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap, melainkan mencari pemukiman yang akan datang[92],
dan karena itu mengira dapat melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa
mengindahkan, bahwa justru karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban
untuk menjalankan tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka masing-masing[93].
Akan tetapi tidak kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa
mereka dapat sejauh itu membenamkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi,
seolah-olah itu semua terceraikan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan
anggapan seakan-akan agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta
sejumlah kewajiban moral semata-mata. Perceraian antara iman yang diikrarkan
dan hidup sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai sesuatu yang cukup
gawat pada zaman sekarang ini. Batu sandungan itu dalam Perjanjian Lama sudah
ditentang dengan sengitnya oleh para Nabi[94];
apalagi dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus sendiri mengancamnya dengan
siksaan-siksaan yang berat[95].
Oleh karena itu janganlah secara salah kegiatan kejuruan dan sosial di satu
pihak dipertentangkan terhadap hidup keagamaan di pihak lain. Dengan
mengabaikan tugas-kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugas-kewajibannya
terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan
kekalnya. Lebih tepat hendaklah umat kristiani bergembira, bahwa mereka
mengikuti teladan Kristus yang hidup bertukang, dan dapat menjalankan segala
kegiatan duniawi, sambil memperpadukan semua usaha manusiawi, kerumah-tanggaan,
kejuruan, usaha dibidang ilmu pengetahuan maupun tehnik dalam suatu sintesa
yang hidup-hidup dengan nilai-nilai keagamaan, yang menjadi norma tertinggi
untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah.
Secara khas – meskipun tidak
eksklusif – tugas kewajiban maupun kegiatan keduniaan (sekular) termasuk
kewenangan kaum awam. Maka bila mereka secara perorangan maupun kolektif,
bertindak sebagai warga dunia ini, hendaknya mereka jangan hanya mematuhi
hukum-hukum yang khas bagi masing-masing bidang kerja, melainkan hendaknya
berusaha juga meraih kemahiran yang sungguh bermutu dibidang itu. Hendaklah
mereka dengan sukarela bekerja sama dengan sesama yang mengejar tujuan-tujuan
yang sama. Hendaknya mereka mengakui tuntutan-tuntutan iman serta dikuatkan
olehnya, dan tanpa ragu-ragu – bila diperlukan – merekayasa usaha-usaha baru
dan mewujudkannya. Termasuk kewajiban bagi suarahati mereka yang sudah
terbentuk dengan baik, untuk mengusahakan supaya hukum ilahi tertanamkan dalam
kehidupan kota duniawi ini. Adapun dari para imam kaum awam hendaknya
mengharapkan penyuluhan dan kekuatan rohani. Tetapi janganlah mereka menyangka,
seolah-olah para gembala mereka selalu sedemikian ahli, sehingga – bila muncul
soal manapun, juga yang cukup berat sekalipun, – para gembala itu mampu
langsung memberikan pemecahannya yang konkrit, atau seakan-akan para imam
diutus untuk itu. Lebih tepat hendaklah kaum awam dalam terang kebijaksanaan
kristiani dan seraya mengindahkan dengan cermat ajaran Magisterium[96],
sanggup memainkan peranan mereka sendiri.
Acap kali dalam situasi tertentu
pandangan kristiani sendiri akan menjuruskan mereka ke arah pemecahan tertentu
pula. Tetapi orang-orang beriman lainnya, dengan hati yang tak kalah tulus,
seperti cukup sering terjadi dan memang sewajarnya juga, akan mempunyai
pandangan yang berbeda tentang hal yang sama. Bila pemecahan-pemecahan yang diajukan
oleh pihak satu dan lainnya, juga tanpa disengaja oleh pihak-pihak itu, oleh
banyak orang dengan mudah dikaitkan dengan warta Injil, mereka harus ingat
bahwa dalam hal-hal itu tak seorang pun boleh secara eksklusif mengklaim
kewibawaan Gereja bagi pandangannya sendiri. Melainkan hendaknya mereka selalu
berusaha saling memberi penjelasan melalui musyawarah yang tulus, sambil tetap
saling mengasihi dan terutama mengindahkan kesejahteraan umum.
Ada pun kaum awam, yang dalam
seluruh kehidupan Gereja harus memainkan peranan aktif, tidak hanya wajib
meresapi dunia dengan semangat kristiani, melainkan dipanggil juga untuk dalam
segalanya menjadi saksi Kristus ditengah masyarakat manusia.
Sedangkan para Uskup, yang
dipercayai untuk tugas memimpin Gereja Allah, bersama imam-imam mereka
hendaknya menyiarkan warta Kristus sedemikian rupa, sehingga semua kegiatan
umat beriman didunia di limpahi cahaya Injil. Selain itu hendaklah semua
gembala menyadari, bahwa dengan perilaku serta kesibukan-kesibukan mereka
sehari-hari[97]
mereka menampilkan kepada dunia citra Gereja tertentu, yang bagai khalayak
ramai menjadi pedoman untuk menilai kekuatan dan kebenaran warta kristiani.
Hendaknya, melalui perihidup maupun kata-kata, mereka bersama kaum religius
serta umat beriman mereka, memperlihatkan bahwa Gereja dengan kehadirannya
saja, beserta semua kurnia yang ada padanya, merupakan sumber yang tak kunjung
mengering bagi keutamaan-keutamaan, yang sangat dibutuhkan oleh dunia zaman
sekarang. Hendaklah mereka dengan tekun belajar meraih kecakapan sedemikian
rupa, sehingga mampu memainkan peranan mereka dalam menjalin dialog dengan
dunia serta orang-orang yang berpandangan bermacam-ragam. Tetapi terutama
hendaklah mereka memperhatikan pesan Konsili ini: “Karena sekarang ini umat
manusia merupakan semakin merupakan kesatuan di bidang kenegaraan, ekonomi dan
sosial, maka makin perlu pulalah para imam bersatu padu dalam segala usaha dan
karya dibawah bimbingan para Uskup dan Imam Agung Tertinggi. Hendaklah mereka
menyingkirkan apa saja yang menimbulkan perpecahan, supaya segenap umat manusia
dibawa kedalam kesatuan keluarga Allah[98].
Sungguh pun Gereja berkat kekuatan
Roh Kudus telah tetap menjadi mempelai yang setia terhadap Tuhannya, dan tak
pernah berhenti menjadi tanda keselamatan di dunia, tetapi sungguh di sadari
pula, bahwa diantara para anggotanya[99],
klerus maupun awam, dari abad-ke-abad ada saja yang tidak setia kepada Roh
Allah. Juga pada zaman kita sekarang gereja mengetahui, betapa besar
kesenjangan antara warta yang disiarkannya dan kelemahan manusiawi mereka yang
diserahi Injil. Entah bagaimana pun sejarah menilai ketidak-setiaan itu, kita
harus menyadarinya dan dengan gigih memeranginya, supaya jangan merugikan
penyiaran Injil. Begitu pula Gereja mengetahui, betapa ia dalam memupuk hubungannya
dengan dunia, harus terus-menerus bertambah masak berkat pengalamannya dari
zaman ke zaman. Di bimbing oleh Roh Kudus, Bunda Gereja tiada hentinya
“mendorong para puteranya untuk memurnikan dan membaharui diri, supaya tanda
Kristus dengan lebih cemerlang bersinar pada wajah Gereja”[100].
44. (Bantuan yang diperoleh Gereja
dari dunia zaman sekarang)
Adapun seperti bagi dunia pentinglah
mengakui Gereja sebagai suatu kenyataan sosial dalam sejarah dan sebagai
raginya, begitu pula Gereja sendiri menyadari, betapa banyak telah diterimanya
dari sejarah dan perkembangan umat manusia.
Pengalaman berabad-abad silam,
kemajuan ilmu-pengetahuan, harta-kekayaan yang tersembunyi dalam pelbagai
bentuk kebudayaan manusia, – hal-hal yang secara lebih penuh menyingkapkan
hakekat manusia dan merintis jalan-jalan baru menuju kebenaran, – itu semua
berfaedah juga bagi Gereja. Sebab sejak awal sejarahnya Gereja telah belajar
mengungkapkan warta Kristus melalui pengertian-pengertian maupun bahasa-bahasa
pelbagai bangsa, dan selain itu berusaha menjelaskannya dengan kebijaksanaan
para filsuf: maksudnya ialah untuk menyesuaikan Injil dengan daya tangkap semua
orang dan dengan tuntutan-tuntutan kaum arif-bijaksana, sebagaimana wajarnya.
Adapun cara yang sesuai untuk mewartakan sabda yang diwahyukan harus tetap
menjadi patokan bagi setiap penyiaran Injil. Sebab dengan demikian pada setiap
bangsa ditumbuhkan kemampuan untuk mengungkapkan warta tentang Kristus dengan
caranya sendiri, sekaligus dikembangkan pertukaran yang hidup antara Gereja dan
pelbagai kebudayaan bangsa-bangsa[101].
Terutama pada masa sekarang, zaman perubahan-perubahan yang amat pesat dan
kemacam-ragaman cara berpikir, Gereja untuk meningkatkan pertukaran itu secara
istimewa memerlukan bantuan mereka yang hidup di dunia, benar-benar mengenal
pelbagai bidang dan cabang pengetahuan, serta sungguh menyelami inti
mentalitasnya, entah menyangkut mereka yang beriman entah kaum tak beriman.
Sudah sewajarnyalah segenap Umat Allah, terutama para gembala dan teolog,
mendengarkan, membeda-bedakan serta menafsirkan pelbagai corak bahasa zaman
sekarang, dan mempertimbangkannya dalam terang sabda ilahi, supaya kebenaran
yang diwahyukan dapat ditangkap selalu makin mendalam, difahami semakin baik dn
disajikan dengan cara yang makin sesuai.
Karena Gereja mempunyai tata-susunan
kemasyarakatan yang nampak dan yang melambangkan kesatuannya dalam Kristus,
maka Gereja dapat diperkaya dan memang diperkaya juga berkat perkembangan hidup
sosial manusia; bukan seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tata-susunan
yang diterimanya dari Kristus, melainkan untuk mengenalnya secara lebih
mendalam, untuk mengungkapkannya secara lebih cermat, dan untuk dengan lebih
mudah menyesuaikannya dengan zaman sekarang. Dengan penuh syukur Gereja
menyadari bahwa selaku jemaat seperti juga dalam putera-puterinya masing-masing
ia menerima aneka macam bantuan masyarakat dari setiap lapisan maupun kondisi
hidup. Sebab barang siapa menurut rencana Allah mengembangkan masyarakat dalam
tata hidup berkeluarga, kebudayaan, hidup ekonomi maupun sosial, begitu pula
hidup berpolitik tingkat nasional maupun internasional, menyumbangkan
bantuannya yang bukan kecil juga kepada jemaat Gereja, sejauh itu tergantung
dari hal-hal lahiriah. Bahkan Gereja mengakui, bahwa di masa lampau maupun
sekarang ia banyak berkembang berkat tentangan mereka yang melawan atau menganiayanya[102].
45. (Kristus, Alfa dan Omega)
Sementara Gereja membantu dunia dan
menerima banyak dari dunia, yang dimaksudkannya hanyalah: supaya datanglah
Kerajaan Allah dan terwujudlah keselamatan segenap bangsa manusia. Adapun
segala sesuatu yang baik, yang oleh umat Allah selama masa ziarahnya didunia
dapat di sajikan kepada keluarga manusia, bersumber pada kenyataan, bahwa
Gereja ialah “sakramen keselamatan bagi semua orang”[103],
yang menampilkan dan sekaligus mewujudkan misteri cinta kasih Allah terhadap
manusia.
Sebab Sabda Allah sendiri –
karena-Nya segala sesuatu dijadikan – telah menjadi daging, supaya Ia sebagai
manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam
Dirinya. Tuhanlah tujuan sejarah manusia, titik-sasaran dambaan-dambaan sejarah
maupun peradaban, pusat umat manusia, kegembiraan hati semua orang dan
pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka[104].
Dialah yang oleh Bapa dibangkitkan dari kematian, ditinggikan dan ditempatkan
disisi kanan-Nya; Dialah yang ditetapkan-Nya menjadi hakim bagi mereka yang
hidup maupun yang mati. Kita, yang dihidupkan dan dihimpun dalam Roh-Nya,
sedang berziarah menuju pemenuhan sejarah manusia, yang sepenuhnya sesuai
dengan rencana cinta kasih-Nya: “Mempersatukan dalam Kristus sebagai Kepala
segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:10).
Bersabdalah Tuhan sendiri:
“Sesungguhnya aku datang segera, dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan
kepada setiap orang menurut perbuatannya. Akulah Alfa dan Omega, Yang Pertama
dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir” (Why 22:12-13).