Komunitas Basis Gerejani adalah
sebuah cara baru Gereja dalam kehidupan menggereja. Orang-orang Amerika Latin menggunakan istilah Komunitas
Basis Gerejani untuk menyebut kelompok-kelompok orang Kristiani yang berusaha
untuk menghidupkan kembali semangat kehidupan gerejawi. Komunitas
itu bersama-sama mempelajari dan merenungkan Kitab Suci,
dengan menggunakan bakat-bakat pribadi mereka untuk melayani orang lain.
Mereka juga melibatkan diri dalam aksi sosial umum. Gerakan ini
didukung oleh Sidang Umum Konferensi Para Uskup Amerika Latian yang diadakan di
Medellin, Kolombia (1968) dan Puebla, Meksiko (1979). Puebla memakai istilah
“Komunitas Basis Gerejawi” untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lain yang
lebih lemah hubungannya dengan pemimpin Gereja.
Gereja
Perdana Sebagai Dasar Komunitas Basis Gerejani
Komunitas
Basis Gerejawi yang
dikembangkan sebagai sebuah cara baru Gereja dalam kehidupannya mengambil
modelnya dari komunitas gereja perdana. Beberapa teks Kitab Suci menunjukkan pendasaran
alkitabiah bagi Komunitas Basis Gerejani yang saat ini dikembangkan di berbagai
negara. Teks-teks itu antara lain:
Pertama, Kis 2:42-47: Teks
Kisah Para Rasul ini menekankan bahwa jemaat perdana selalu berkumpul untuk
memecahkan roti.
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan
mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah
mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan
semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan
mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta
miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan
masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap
hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara
bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil
memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah
jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”
Kedua, Kis
4:32-37: Teks ini menekankan soal Komunitas Basis Gerejani yang senantiasa
menampilkan sikap sehati dan sejiwa.
“Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa,
dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah
miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan
dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan
Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab
tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang
yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan
itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu
dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya. Demikian pula
dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan,
seorang Lewi dari Siprus. Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu
dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.”
Ketiga, Rm 12:3-13: Teks ini menekankan Gereja sebagai
sebuah persekutuan.
“Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada
setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih
tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir
begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang
dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab sama seperti pada satu
tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai
tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di
dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap
yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih
karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat
baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani,
baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika
karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan
sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi
pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan
kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. Hendaklah kasih itu
jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu
saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan
layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan,
dan bertekunlah dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan
usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!”
Keempat, 1Kor 12:12-30: menekankan Gereja sebagai suatu
tubuh.
Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya
banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh,
demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi,
maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi
satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. Karena tubuh juga tidak
terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. ........ Tetapi Allah
telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada
tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya adalah satu anggota, di
manakah tubuh? ...... ... Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga
kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, supaya
jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda
itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota
turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita.
Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. …..
Komunitas Basis Gerejani Menurut SAGKI 2000
Menurut
SAGKI 2000, sebuah perjumpaan pendapat (sharing) dan tukar pengalaman antara
wakil-wakil umat Katolik yang sungguh paham dan bergelut dengan kegiatan akar
rumput, para imam, dan segenap uskup dari seluruh Indonesia, KBG sebagai salah
satu cara baru hidup menggereja adalah satuan umat yang relatif kecil dan yang
mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah
sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial dan mencari
pemecahannya dalam terang Kitab Suci.
Komunitas
basis seperti ini terbuka untuk membangun suatu komunitas yang juga merangkul
saudara-saudara beriman lain….komunitas basis itu diinspirasikan oleh teladan
hidup umat perdana seperti dituliskan dalam Kitab Suci. Dengan demikian,
komunitas basis bukan sekedar tampak sebagai bentuk atau wadah, dan bukan pula
sekadar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam
pergumulan iman.
Gereja
dengan demikian diharapkan bisa lebih mengakar, lebih kontekstual, dan mampu
menjalankan perannya dalam menggarami dunia dengan lebih baik. Komunitas basis
akan memberikan wajah baru dalam hidup menggereja bagi umatnya, yang mampu
berbela rasa dengan saudara-saudara yang miskin dan tertindas.
Komunitas
basis yang dicanangkan Gereja bukan sekedar lembaga atau institusi tetapi
sebagai suatu gerakan menggereja dengan cirri-cirinya sebagai berikut kelompok
kecil, saling mengenal, berkumpul secara berkala, membaca dan mengadakan
sharing Kitab Suci, membahas dan mencari solusi masalah keseharian dalam terang
Kitab Suci dan di bawah payung Gereja universal.
Komunitas
Basis Gerejani Menurut Dokumen-Dokumen Gereja
Para uskup Asia menyebut KBG, gerakan menggereja itu,
sebagai a new way of being Church atau cara baru menggereja. Sementara
itu, Paus Yohanes Paulus II menamai gerakan itu sebagai komunitas basis
gerejawi (Ecclesia Basic Communities). Paus Yohanes Paulus II menyebut KBG
sebagai perwujudan nyata dari Gereja dan Gereja adalah rumah tangga dan keluarga
bagi siapa saja khususnya bagi mereka yang letih dan lesuh serta berbeban
berat.
Dalam Familiaris Consortio artikel 85, Paus
Yohanes Paulus II menyatakan keprihatinan Gereja terhadap kondisi sebagian
besar umat manusia yang hidup dalam kondisi kemelaratan yang amat sangat.
“Di situ, karena tiadanya perumahan yang layak, hubungan yang tidak beres,
dan tidak tetap, serta kurangnya pendidikan, maka percampuran suami-istri tidak
memungkinkan disebut sebagai keluarga dalam arti yang selayaknya. Bagi mereka
yang tidak mempunyai keluarga dalam arti biasa, pintu Keluarga Besar, yakni
Gereja, harus terbuka lebih lebar lagi. Gereja itu terwujudkan secara nyata
dalam keluarga keuskupan dan paroki, dalam jemaat-jemaat (komunitas) gerejawi,
dan dalam gerakan-gerakan kerasulan. Tidak seorangpun di dunia ini tanpa
keluarga.” (FC 85).
The Church’s Missionary Activity, dokumen
gereja dari Konsili Vatikan II, menyebutkan:
Para misionaris, yakni para pekerja yang diutus Allah,
harus membangun komunitas-komunitas kaum beriman, sehingga mereka mampu
menyebarluaskan tugas-tugas keimaman, kenabian, dan rajawi yang dipercayakan
kepada mereka oleh Tuhan. Sehubungan dengan hal itu, komunitas-komunitas
tersebut akan menjadi suatu pertanda bagi kehadiran Allah di dunia (artikel
15).
Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Church’s Missionary
Mandate (RM), artikel 51:
“Komunitas Basis Gerejawi merupakan suatu pertanda dari
daya hidup (vitalitas) Gereja sendiri, suatu perangkat untuk pembentukan dan
pewartaan Injil, serta menjadi permulaan yang mantap bagi suatu masyarakat baru
yang berdasarkan cinta kasih. Komunitas-komunitas tersebut bersifat
desentralisasi dan membentuk perkumpulan komunitas paroki, di mana
perkumpulan-perkumpulan itu senantiasa dipersatukan... Di dalam perkumpulan
itu, setiap orang Kristen mengalami perkembangan komunitasnya, bahkan rasa dan
makna dari komunitas, di mana mereka berperan aktif dan terdorong untuk berbagi
pengalaman serta pemahaman di dalam tugas bersama.....Berbarengan dengan itu,
berkat karunia cinta Kristus, komunitas-komunitas basis juga menunjukkan
betapapun peliknya masalah yang dihadapinya seperti perpecahan atau konflik,
masalah kesukuan atau ras, ternyata bisa diatasi.”
Komunitas Basis Gerejani Menurut FABC
Salah satu dokumen gerejawi yang menjadi tonggak gerakan
menggereja yang lebih kontekstual lewat Komunitas Basis datang dari Federasi
Konferensi para Uskup Asia (FABC) yang bersidang di Bandung, 17-27 Juli 1990.
Rumusan FABC berbunyi:
“Gereja di Asia harus menjadi suatu persekutuan
komunitas-komunitas (persekutuan paguyuban-paguyuban), di mana kaum awam,
biarawan-biarawati, dan rohaniwan (imam), saling mengakui dan saling
menerimanya sebagai saudara-saudari. Mereka bersama-sama dipanggil oleh Sabda
Tuhan, yang dipandang sebagai suatu kehadiran setengah sakramental dari Tuhan
yang bangkit, yang membimbing mereka untuk membentuk Komunitas Kristiani Kecil
(SCC), misalnya berupa rukun tetangga dalam satu lingkungan. Di komunitas itu,
mereka berdoa, sharing atau berbagi pandangan dan pengalaman mengenai Injil
Yesus Kristus, dan membawanya dalam kehidupan keseharian, seperti misalnya
mereka saling mendukung, saling membantu, bekerja sama dan dipersatukan
sebagaimana mereka dalam satu pikiran dan satu hati”.
Beberapa aspek diputuskan dalam sidang pleno V dari para
uskup Asia (FABC) itu. Yang paling menonjol di antaranya adalah:
Pertama, persaudaraan sejati dari
segenap putra-putri Allah. Gereja di Asia harus menjadi suatu communion of
communities, persekutuan paguyuban-paguyuban, di mana kaum awam, imam
(rohaniwan), dan biarawan-biarawati, saling mengakui satu sama lain sebagai
saudara-saudari.
Kedua, berpusat pada sabda. Mereka
berhimpun dan dipersatukan di sekitar Sabda Allah, di mana mereka bersama-sama
mengadakan sharing, berdoa dan membicarakan masalah-masalah nyata yang mereka
hadapi di sekitarnya, seturut dengan kehendak Allah. Mereka saling membantu
dalam kehidupan keseharian mereka.
Ketiga, suatu Gereja yang
partisipatif. Mereka menuju Gereja partisipatif, di mana karunia dan karisma
yang dilimpahkan oleh Roh Kudus ke segenap awam, rohaniwan, dan
biarawan-biarawati, diakui dan digerakkan untuk membangun Tubuh Kristus, suatu
Gereja di lingkungan yang berdekatan, untuk memenuhi perutusan Gereja yang
sesuai dengan waktu dan tempatnya yang khas.
Keempat, komunitas yang memberikan
kesaksian dan melakukan pewartaan Kabar Gembira. Mereka memberikan kesaksian
bersama-sama mengenai Tuhan yang bangkit mulia dan membantu semua yang
membutuhkannya. Mereka berdiskusi dan bekerja sama dengan semua orang di
sekitarnya untuk menghadirkan Kerajaan Allah.
Kelima, pertanda kenabian dari
Kerajaan Allah bagi orang di sekitarnya. Mereka menjadi suatu pertanda kenabian
yang mampu menunjukkan ke dunia mengenai Kerajaan Allah lewat upayanya dalam
melakukan transformasi bagi masyarakat, tempat mereka hidup dan berada di
tengah-tengahnya.
Keenam, kepemimpinan yang tidak
mendominasi. Kepemimpinan dalam Gereja, untuk semua tingkatan, sungguh-sungguh
tidak ada yang mendominasi. Gaya kepemimpinan Kristus menjadi contohnya.
KepemimpinanNya lebih bersifat melayani dan mengosongkan diri, dan tidak pernah
minta dilayani, tetapi mengorbankan hidupnya untuk membangun masyarakat.
Ketujuh, komunitas yang berkarya demi
keserasian hubungan antar-agama dan antarmanusia. Komunitas kristiani ditantang
untuk bekerja melalui kecenderungan yang paling dalam atas pemisahan dan
perpecahan untuk masuk ke dalam persekutuan yang intim dengan Bapa, dan bekerja
demi keselarasan yang terpadu di dalam kehidupannya dengan tetangga.
Butir-butir pernyataan para uskup Asia di Bandung ini
kemudian menjadi visi dari ASIPA (Asian Integral Pastoral Approach). Ini pula
yang dijadikan pijakan dan landasan spiritualitas gerakan cara baru
menggereja di Asia yang terwujud dalam gerakan Komunitas Basis Gerejani,
gerak menggereja gaya Asia.
Tanda-Tanda
Sebuah Komunitas Basis Gerejani
Pertama, suatu persekutuan atau perkumpulan orang-orang dengan
jumlah yang relatif kecil (10-30 orang). Anggotanya terdiri dari orang-orang
yang tinggal berdekatan atau bertetangga, kerukunan tetangga, saling mengenal
satu sama lain, atau memiliki kepentingan dan masalah bersama. Mereka terdiri
dari orang-orang yang kaya maupun miskin, tua-muda, bujangan atau sudah
menikah, majikan atau pembantu, dan lain-lain. Bisa saja anggotanya berbeda
suku, ras, bahasa dan bangsa. Karena secara geografis mereka tinggal di tempat
yang sama atau memiliki kepentingan bersama, mereka akan lebih sering
menghadapi masalah atau problem kehidupan yang sama (keamanan, kebersihan,
listrik, air, ekonomi, ketidakadilan, kemiskinan, kesejahteraan, dan
lain-lain). Tempat pertemuan ditentukan secara bergiliran. Pertemuan dilakukan
secara tetap. Frekuensinya disepakati bersama, misalnya, seminggu atau dua
minggu sekali. Lebih lama frekuensi itu, dianggap kurang memadai sebagai
pertemuan berkala yang menghidupkannya sebagai persekutuan.
Kedua, agenda utama pertemuan adalah bersama-sama membaca
Kitab Suci, mengadakan sharing atau berbagi pemikiran dan pengalaman iman yang
bersumberkan Sabda Tuhan yang dibacanya. Lewat sharing Injil, mereka akan
menghadirkan Kristus di tengah-tengah mereka. Berbagi pengalaman iman dan hidup
dengan terang Injil membantu mereka menjadi murid-murid Tuhan. Sharing Injil
juga membuat mereka sebagai keluarga baru. Sharing Kitab Suci tidak sama dengan
menafsir, menjelaskan atau berkotbah. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk
berbagi pengalaman batin dan imannya atas Sabda Tuhan yang baru saja dibacakan
dalam pertemuan itu. Setiap orang akan menemukan mutiara-mutiara berharga
yang khas dari Sabda Tuhan yang tertulis dalam teks Kitab Suci. Ciri lain yang
sering kelihatan adalah setiap anggota senantiasa membawa Kitab Suci dalam setiap
pertemuan paguyuban atau komunitas mereka.
Ketiga, mereka bertindak dan melakukan sesuatu bersama-sama
karena imannya. Gereja di seluruh dunia bertanggungjawab untuk meneruskan misi
pewartaan Kristus untuk masa kini. Suatu Komunitas Basis Gerejani harus
merasakan tanggung jawab bersama untuk melanjutkan misi pewartaan di tengah
lingkungan kehidupan di sekitarnya. Misalnya, melakukan doa pujian dan syukur
kepada Tuhan, saling memaafkan, mewujudkan kesatuan dan perdamaian, membantu
ibadat mingguan, mempersiapkan anak-anak untuk menyambut komuni pertama dan
sakramen Krisma, membantu mereka yang mau mempelajari agama Katolik dan
lain-lain. Selain itu, mereka juga harus berani melakukan tindakan nyata ke
luar, seperti menentang ketidakadilan dan korupsi, memahami dan membantu
tetangga yang miskin dan terpinggirkan, serta selalu menyapa dan hidup rukun
berdampingan dengan para tetangga yang tidak seiman. Keterlibatan dan keaktifan
dalam kehidupan bertetangga juga dirumuskan dan dirancang dalam setiap pertemuan,
seperti kegiatan RT, RW, remaja, membantu tetangga yang melaksanakan kegiatan
seperti pernikahan, ibadat dan lain sebagainya. Langkah-langkah untuk berdialog
antar-iman dan merancang kerja sama serta hidup berdampingan dengan mereka yang
tidak seiman, menjadi bagian dari kegiatan mereka terutama komunitas yang
berada di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, multiagama dan multiras.
Aksi nyata paguyuban atau komunitas berbeda dengan niat atau ujud seperti dalam
misa atau doa bersama. Kegiatan atau aksi nyata ditunjukkan dalam penetapan
pelaksanaannya yang diputuskan bersama-sama dalam setiap pertemuan. Siapa yang
melaksanakannya, untuk apa atau untuk siapa kegiatan itu, kapan dilakukan atau
selesai, mengapa aksi itu dilaksanakan dan bagaimana pelaksanaannya. Secara
singkat sering disebut 5 W + 1 H (who, what, whom, when, why, how). Kegiatan
selain direncanakan, juga dievaluasi pada pertemuan-pertemuan berikutnya.
Keempat, Komunitas Basis Gerejani harus memiliki jalinan dengan
Gereja universal. Yang paling penting dari tanda keempat adalah kesatuan dengan
orang beriman lain. Anggota Komunitas Basis Gerejani tidak bisa memiliki
Kristus apabila meeka menolak persekutuan dengan saudara-saudari Kristus.
Mereka adalah kaum kristiani dari seluruh dunia atau Gereja Dunia. Jalinan
paling erat antara Komunitas Basis Gerejani dan Gereja universal adalah
Ekaristi. Kata Paus Yohanes Paulus II, “Ekaristi memberikan ikatan sangat erat
dari persekutuan di antara kaum beriman di dalam tubuh Kristus, yakni Gereja”.
Lewat ekaristi dan Sabda Allah, anggota Komunitas Basis dan kelompok-kelompok
lain di dalam suatu paroki menjadi suatu persekutuan komunitas-komunitas atau
menjadi suatu cara baru menggereja (new way of being Church). Imam
merupakan ikatan yang hidup, yang menjalin antara paroki setempat, uskup, dan
paus dari Gereja universal. Kepemimpinan Komunitas Basis Gerejani selalu
mendapatkan pelatihan dan bimbingan rohani dari imam atau autoritas Gereja. Ini
merupakan pertalian yang erat untuk persatuan dengan Gereja.
Inilah keempat ciri atau empat unsur dari sebuah
Komunitas Basis Gerejani. Keempat syarat ini harus ada dalam sebuah Komunitas
Basis Gerejani sehingga komunitas itu layak dipandang sebagai perwujudan Gereja
di tingkat akar rumput. Bila salah satu atau dua unsur atau ciri dipangkas,
maka perkumpulan itu akan menjadi sebagai berikut:
- Hanya mengandung ciri berdekatan/kepentingan bersama, membaca/sharing Kitab Suci dan
aksi serta tindakan nyata, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah
organisasi atau aksi sosial gereja, sekte gereja.
- Hanya mengandung ciri berdekatan/kepentingan bersama
dan aksi serta tindakan nyata, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah
organisasi sosial kemasyarakatan, aksi sosial, LSM.
- Hanya mengandung ciri berdekatan/kepentingan bersama
dan membaca/sharing Kitab Suci, maka komunitas itu dipandang sebagai
sebuah organisasi atau persekutuan doa, pendalaman Kitab Suci.
- Hanya mengandung ciri membaca/sharing Kitab Suci dan
aksi serta tindakan nyata, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah
aksi sosial orang Kristen.
- Hanya mengandung ciri membaca/sharing Kitab Suci,
aksi serta tindakan nyata dan Gereja universal, maka kegiatan komunitas
itu dipandang sebagai kegiatan apostolik, misionaris, kerasulan.
- Jika keempat unsur itu ada, maka komunitas itu
adalah sungguh sebuah Komunitas Basis Gerejani.
Catatan
Akhir
Gereja
hidup dan bergerak secara dinamis dalam pergumulan imannya. Salah satu medan
kehidupan dan pergerakan itu adalah Komunitas Basis Gerejani. Di dalamnya, Gereja
mewujudkan dirinya dan dia sendiri menjadi jati diri dari Gereja itu. Inilah
sebuah cara baru menggereja yang sedang didengung-dengungkan di seantero Gereja
Katolik.
Di tengah zaman yang sarat dengan
persoalan sosial kemasyarakatan dewasa ini, KBG harus tampil dan menunujukkan
dirinya sebagai sebuah Gereja yang menaruh perhatian terhadap
masalah-masalah itu. Karena itu, KBG bukan hanya tampil sebagai kelompok pendoa
melainkan juga menjadi kelompok Gereja yang berdiskusi tentang masalah sosial,
mencari akar masalahnya dan mencari jalan keluarnya.
KBG zaman sekarang bukan hanya sekedar Kelompok Kontas
Gabungan saja. Lebih dari itu, KBG harus membuka diri, juga kepada kelompok
agama lain, untuk bekerja sama memerangi masalah-masalah sosial seperti
kemiskinan. KBG menjadi kelompok alternatif bagi umat untuk memperbaiki nasib
kehidupannya. Dalam konteks ini, KBG menjadi suatu pertanda kenabian yang mampu
menunjukkan ke dunia mengenai Kerajaan Allah lewat upayanya dalam melakukan
transformasi bagi masyarakat, tempat mereka hidup dan berada di
tengah-tengahnya.
BAHAN BACAAN
O’Collins, Gerald
dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius,
1995)
Grun, Anselm, Doa dan Mengenal Diri (Yogyakarta:
Kanisius, 1985)
Daryanto, S.S, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya:
Apollo, 1997)
Margana, A. Komunitas Basis. Gerak Menggereja
Kontekstual (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
Djegadut, John (ed.), Evangelisasi Baru Dalam Jemaat
Basis (Ende: Nusa Indah, 1996)
Prior, John Mansford,. 2000. Tegar
Mekar Komunitas Basis Gerejani (Makalah pada Pertemuan Kateketik Antar
Keuskupan se-Indonesia ke-7).