Senin, 27 Januari 2020

SPIRITUALITAS KOMUNITAS BASIS GEREJANI

BY Paroki San Juan IN




          Komunitas Basis Gerejani adalah sebuah cara baru Gereja dalam kehidupan menggereja. Orang-orang Amerika Latin menggunakan istilah Komunitas Basis Gerejani untuk menyebut kelompok-kelompok orang Kristiani yang berusaha untuk menghidupkan kembali semangat kehidupan gerejawi.  Komunitas itu bersama-sama mempelajari dan merenungkan Kitab Suci, dengan menggunakan bakat-bakat pribadi mereka untuk melayani orang lain.
          Mereka juga melibatkan diri dalam aksi sosial umum. Gerakan ini didukung oleh Sidang Umum Konferensi Para Uskup Amerika Latian yang diadakan di Medellin, Kolombia (1968) dan Puebla, Meksiko (1979). Puebla memakai istilah “Komunitas Basis Gerejawi” untuk membedakannya dari kelompok-kelompok lain yang lebih lemah hubungannya dengan pemimpin Gereja.

Gereja Perdana Sebagai Dasar Komunitas Basis Gerejani
Komunitas Basis Gerejawi yang dikembangkan sebagai sebuah cara baru Gereja dalam kehidupannya mengambil modelnya dari komunitas gereja perdana.  Beberapa teks Kitab Suci menunjukkan pendasaran alkitabiah bagi Komunitas Basis Gerejani yang saat ini dikembangkan di berbagai negara. Teks-teks itu antara lain:
Pertama, Kis 2:42-47: Teks Kisah Para Rasul ini menekankan bahwa jemaat perdana selalu berkumpul untuk memecahkan roti.
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa. Maka ketakutanlah mereka semua, sedang rasul-rasul itu mengadakan banyak mujizat dan tanda. Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Kedua, Kis 4:32-37: Teks ini menekankan soal Komunitas Basis Gerejani yang senantiasa menampilkan sikap sehati dan sejiwa.
“Adapun kumpulan orang yang telah percaya itu, mereka sehati dan sejiwa, dan tidak seorang pun yang berkata, bahwa sesuatu dari kepunyaannya adalah miliknya sendiri, tetapi segala sesuatu adalah kepunyaan mereka bersama. Dan dengan kuasa yang besar rasul-rasul memberi kesaksian tentang kebangkitan Tuhan Yesus dan mereka semua hidup dalam kasih karunia yang melimpah-limpah. Sebab tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka; karena semua orang yang mempunyai tanah atau rumah, menjual kepunyaannya itu, dan hasil penjualan itu mereka bawa dan mereka letakkan di depan kaki rasul-rasul; lalu dibagi-bagikan kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya. Demikian pula dengan Yusuf, yang oleh rasul-rasul disebut Barnabas, artinya anak penghiburan, seorang Lewi dari Siprus. Ia menjual ladang, miliknya, lalu membawa uangnya itu dan meletakkannya di depan kaki rasul-rasul.”

Ketiga, Rm 12:3-13: Teks ini menekankan Gereja sebagai sebuah persekutuan.
“Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing. Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita. Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar; jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita. Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa! Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!”

Keempat, 1Kor 12:12-30: menekankan Gereja sebagai suatu tubuh.

Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak, dan segala anggota itu, sekalipun banyak, merupakan satu tubuh, demikian pula Kristus. Sebab dalam satu Roh kita semua, baik orang Yahudi, maupun orang Yunani, baik budak, maupun orang merdeka, telah dibaptis menjadi satu tubuh dan kita semua diberi minum dari satu Roh. Karena tubuh juga tidak terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. ........ Tetapi Allah telah memberikan kepada anggota, masing-masing secara khusus, suatu tempat pada tubuh, seperti yang dikehendaki-Nya. Andaikata semuanya adalah satu anggota, di manakah tubuh? ...... ... Allah telah menyusun tubuh kita begitu rupa, sehingga kepada anggota-anggota yang tidak mulia diberikan penghormatan khusus, supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh, tetapi supaya anggota-anggota yang berbeda itu saling memperhatikan. Karena itu jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. …..



Komunitas Basis Gerejani Menurut SAGKI 2000
Menurut SAGKI 2000, sebuah perjumpaan pendapat (sharing) dan tukar pengalaman antara wakil-wakil umat Katolik yang sungguh paham dan bergelut dengan kegiatan akar rumput, para imam, dan segenap uskup dari seluruh Indonesia, KBG sebagai salah satu cara baru hidup menggereja adalah satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci.
Komunitas basis seperti ini terbuka untuk membangun suatu komunitas yang juga merangkul saudara-saudara beriman lain….komunitas basis itu diinspirasikan oleh teladan hidup umat perdana seperti dituliskan dalam Kitab Suci. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekedar tampak sebagai bentuk atau wadah, dan bukan pula sekadar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman.
Gereja dengan demikian diharapkan bisa lebih mengakar, lebih kontekstual, dan mampu menjalankan perannya dalam menggarami dunia dengan lebih baik. Komunitas basis akan memberikan wajah baru dalam hidup menggereja bagi umatnya, yang mampu berbela rasa dengan saudara-saudara yang miskin dan tertindas.
Komunitas basis yang dicanangkan Gereja bukan sekedar lembaga atau institusi tetapi sebagai suatu gerakan menggereja dengan cirri-cirinya sebagai berikut kelompok kecil, saling mengenal, berkumpul secara berkala, membaca dan mengadakan sharing Kitab Suci, membahas dan mencari solusi masalah keseharian dalam terang Kitab Suci dan di bawah payung Gereja universal.

Komunitas Basis Gerejani Menurut Dokumen-Dokumen Gereja
Para uskup Asia menyebut KBG, gerakan menggereja itu, sebagai a new way of being Church atau cara baru menggereja. Sementara itu, Paus Yohanes Paulus II menamai gerakan itu sebagai komunitas basis gerejawi (Ecclesia Basic Communities). Paus Yohanes Paulus II menyebut KBG sebagai perwujudan nyata dari Gereja dan Gereja adalah rumah tangga dan keluarga bagi siapa saja khususnya bagi mereka yang letih dan lesuh serta berbeban berat.
Dalam Familiaris Consortio artikel 85, Paus Yohanes Paulus II menyatakan keprihatinan Gereja terhadap kondisi sebagian besar umat manusia yang hidup dalam kondisi kemelaratan yang amat sangat.
“Di situ, karena tiadanya perumahan yang layak, hubungan yang tidak beres, dan tidak tetap, serta kurangnya pendidikan, maka percampuran suami-istri tidak memungkinkan disebut sebagai keluarga dalam arti yang selayaknya. Bagi mereka yang tidak mempunyai keluarga dalam arti biasa, pintu Keluarga Besar, yakni Gereja, harus terbuka lebih lebar lagi. Gereja itu terwujudkan secara nyata dalam keluarga keuskupan dan paroki, dalam jemaat-jemaat (komunitas) gerejawi, dan dalam gerakan-gerakan kerasulan. Tidak seorangpun di dunia ini tanpa keluarga.” (FC 85).

The Church’s Missionary Activity, dokumen gereja dari Konsili Vatikan II, menyebutkan:
Para misionaris, yakni para pekerja yang diutus Allah, harus membangun komunitas-komunitas kaum beriman, sehingga mereka mampu menyebarluaskan tugas-tugas keimaman, kenabian, dan rajawi yang dipercayakan kepada mereka oleh Tuhan. Sehubungan dengan hal itu, komunitas-komunitas tersebut akan menjadi suatu pertanda bagi kehadiran Allah di dunia (artikel 15).

Ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Church’s Missionary Mandate (RM), artikel 51:
“Komunitas Basis Gerejawi merupakan suatu pertanda dari daya hidup (vitalitas) Gereja sendiri, suatu perangkat untuk pembentukan dan pewartaan Injil, serta menjadi permulaan yang mantap bagi suatu masyarakat baru yang berdasarkan cinta kasih. Komunitas-komunitas tersebut bersifat desentralisasi dan membentuk perkumpulan komunitas paroki, di mana perkumpulan-perkumpulan itu senantiasa dipersatukan... Di dalam perkumpulan itu, setiap orang Kristen mengalami perkembangan komunitasnya, bahkan rasa dan makna dari komunitas, di mana mereka berperan aktif dan terdorong untuk berbagi pengalaman serta pemahaman di dalam tugas bersama.....Berbarengan dengan itu, berkat karunia cinta Kristus, komunitas-komunitas basis juga menunjukkan betapapun peliknya masalah yang dihadapinya seperti perpecahan atau konflik, masalah kesukuan atau ras, ternyata bisa diatasi.”



Komunitas Basis Gerejani Menurut FABC
Salah satu dokumen gerejawi yang menjadi tonggak gerakan menggereja yang lebih kontekstual lewat Komunitas Basis datang dari Federasi Konferensi para Uskup Asia (FABC) yang bersidang di Bandung, 17-27 Juli 1990. Rumusan FABC berbunyi:
“Gereja di Asia harus menjadi suatu persekutuan komunitas-komunitas (persekutuan paguyuban-paguyuban), di mana kaum awam, biarawan-biarawati, dan rohaniwan (imam), saling mengakui dan saling menerimanya sebagai saudara-saudari. Mereka bersama-sama dipanggil oleh Sabda Tuhan, yang dipandang sebagai suatu kehadiran setengah sakramental dari Tuhan yang bangkit, yang membimbing mereka untuk membentuk Komunitas Kristiani Kecil (SCC), misalnya berupa rukun tetangga dalam satu lingkungan. Di komunitas itu, mereka berdoa, sharing atau berbagi pandangan dan pengalaman mengenai Injil Yesus Kristus, dan membawanya dalam kehidupan keseharian, seperti misalnya mereka saling mendukung, saling membantu, bekerja sama dan dipersatukan sebagaimana mereka dalam satu pikiran dan satu hati”.

Beberapa aspek diputuskan dalam sidang pleno V dari para uskup Asia (FABC) itu. Yang paling menonjol di antaranya adalah:
          Pertama, persaudaraan sejati dari segenap putra-putri Allah. Gereja di Asia harus menjadi suatu communion of communities, persekutuan paguyuban-paguyuban, di mana kaum awam, imam (rohaniwan), dan biarawan-biarawati, saling mengakui satu sama lain sebagai saudara-saudari.
          Kedua, berpusat pada sabda. Mereka berhimpun dan dipersatukan di sekitar Sabda Allah, di mana mereka bersama-sama mengadakan sharing, berdoa dan membicarakan masalah-masalah nyata yang mereka hadapi di sekitarnya, seturut dengan kehendak Allah. Mereka saling membantu dalam kehidupan keseharian mereka.
          Ketiga, suatu Gereja yang partisipatif. Mereka menuju Gereja partisipatif, di mana karunia dan karisma yang dilimpahkan oleh Roh Kudus ke segenap awam, rohaniwan, dan biarawan-biarawati, diakui dan digerakkan untuk membangun Tubuh Kristus, suatu Gereja di lingkungan yang berdekatan, untuk memenuhi perutusan Gereja yang sesuai dengan waktu dan tempatnya yang khas.
          Keempat, komunitas yang memberikan kesaksian dan melakukan pewartaan Kabar Gembira. Mereka memberikan kesaksian bersama-sama mengenai Tuhan yang bangkit mulia dan membantu semua yang membutuhkannya. Mereka berdiskusi dan bekerja sama dengan semua orang di sekitarnya untuk menghadirkan Kerajaan Allah.
          Kelima, pertanda kenabian dari Kerajaan Allah bagi orang di sekitarnya. Mereka menjadi suatu pertanda kenabian yang mampu menunjukkan ke dunia mengenai Kerajaan Allah lewat upayanya dalam melakukan transformasi bagi masyarakat, tempat mereka hidup dan berada di tengah-tengahnya.
          Keenam, kepemimpinan yang tidak mendominasi. Kepemimpinan dalam Gereja, untuk semua tingkatan, sungguh-sungguh tidak ada yang mendominasi. Gaya kepemimpinan Kristus menjadi contohnya. KepemimpinanNya lebih bersifat melayani dan mengosongkan diri, dan tidak pernah minta dilayani, tetapi mengorbankan hidupnya untuk membangun masyarakat.
          Ketujuh, komunitas yang berkarya demi keserasian hubungan antar-agama dan antarmanusia. Komunitas kristiani ditantang untuk bekerja melalui kecenderungan yang paling dalam atas pemisahan dan perpecahan untuk masuk ke dalam persekutuan yang intim dengan Bapa, dan bekerja demi keselarasan yang terpadu di dalam kehidupannya dengan tetangga.
Butir-butir pernyataan para uskup Asia di Bandung ini kemudian menjadi visi dari ASIPA (Asian Integral Pastoral Approach). Ini pula yang dijadikan pijakan dan landasan spiritualitas gerakan cara baru menggereja di Asia yang terwujud dalam gerakan Komunitas Basis Gerejani, gerak menggereja gaya Asia.



Tanda-Tanda Sebuah Komunitas Basis Gerejani
Pertama, suatu persekutuan atau perkumpulan orang-orang dengan jumlah yang relatif kecil (10-30 orang). Anggotanya terdiri dari orang-orang yang tinggal berdekatan atau bertetangga, kerukunan tetangga, saling mengenal satu sama lain, atau memiliki kepentingan dan masalah bersama. Mereka terdiri dari orang-orang yang kaya maupun miskin, tua-muda, bujangan atau sudah menikah, majikan atau pembantu, dan lain-lain. Bisa saja anggotanya berbeda suku, ras, bahasa dan bangsa. Karena secara geografis mereka tinggal di tempat yang sama atau memiliki kepentingan bersama, mereka akan lebih sering menghadapi masalah atau problem kehidupan yang sama (keamanan, kebersihan, listrik, air, ekonomi, ketidakadilan, kemiskinan, kesejahteraan, dan lain-lain). Tempat pertemuan ditentukan secara bergiliran. Pertemuan dilakukan secara tetap. Frekuensinya disepakati bersama, misalnya, seminggu atau dua minggu sekali. Lebih lama frekuensi itu, dianggap kurang memadai sebagai pertemuan berkala yang menghidupkannya sebagai persekutuan.
Kedua, agenda utama pertemuan adalah bersama-sama membaca Kitab Suci, mengadakan sharing atau berbagi pemikiran dan pengalaman iman yang bersumberkan Sabda Tuhan yang dibacanya. Lewat sharing Injil, mereka akan menghadirkan Kristus di tengah-tengah mereka. Berbagi pengalaman iman dan hidup dengan terang Injil membantu mereka menjadi murid-murid Tuhan. Sharing Injil juga membuat mereka sebagai keluarga baru. Sharing Kitab Suci tidak sama dengan menafsir, menjelaskan atau berkotbah. Setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbagi pengalaman batin dan imannya atas Sabda Tuhan yang baru saja dibacakan dalam pertemuan itu. Setiap orang akan menemukan mutiara-mutiara berharga yang khas dari Sabda Tuhan yang tertulis dalam teks Kitab Suci. Ciri lain yang sering kelihatan adalah setiap anggota senantiasa membawa Kitab Suci dalam setiap pertemuan paguyuban atau komunitas mereka.
Ketiga, mereka bertindak dan melakukan sesuatu bersama-sama karena imannya. Gereja di seluruh dunia bertanggungjawab untuk meneruskan misi pewartaan Kristus untuk masa kini. Suatu Komunitas Basis Gerejani harus merasakan tanggung jawab bersama untuk melanjutkan misi pewartaan di tengah lingkungan kehidupan di sekitarnya. Misalnya, melakukan doa pujian dan syukur kepada Tuhan, saling memaafkan, mewujudkan kesatuan dan perdamaian, membantu ibadat mingguan, mempersiapkan anak-anak untuk menyambut komuni pertama dan sakramen Krisma, membantu mereka yang mau mempelajari agama Katolik dan lain-lain. Selain itu, mereka juga harus berani melakukan tindakan nyata ke luar, seperti menentang ketidakadilan dan korupsi, memahami dan membantu tetangga yang miskin dan terpinggirkan, serta selalu menyapa dan hidup rukun berdampingan dengan para tetangga yang tidak seiman. Keterlibatan dan keaktifan dalam kehidupan bertetangga juga dirumuskan dan dirancang dalam setiap pertemuan, seperti kegiatan RT, RW, remaja, membantu tetangga yang melaksanakan kegiatan seperti pernikahan, ibadat dan lain sebagainya. Langkah-langkah untuk berdialog antar-iman dan merancang kerja sama serta hidup berdampingan dengan mereka yang tidak seiman, menjadi bagian dari kegiatan mereka terutama komunitas yang berada di tengah-tengah masyarakat yang heterogen, multiagama dan multiras. Aksi nyata paguyuban atau komunitas berbeda dengan niat atau ujud seperti dalam misa atau doa bersama. Kegiatan atau aksi nyata ditunjukkan dalam penetapan pelaksanaannya yang diputuskan bersama-sama dalam setiap pertemuan. Siapa yang melaksanakannya, untuk apa atau untuk siapa kegiatan itu, kapan dilakukan atau selesai, mengapa aksi itu dilaksanakan dan bagaimana pelaksanaannya. Secara singkat sering disebut 5 W + 1 H (who, what, whom, when, why, how). Kegiatan selain direncanakan, juga dievaluasi pada pertemuan-pertemuan berikutnya.
Keempat, Komunitas Basis Gerejani harus memiliki jalinan dengan Gereja universal. Yang paling penting dari tanda keempat adalah kesatuan dengan orang beriman lain. Anggota Komunitas Basis Gerejani tidak bisa memiliki Kristus apabila meeka menolak persekutuan dengan saudara-saudari Kristus. Mereka adalah kaum kristiani dari seluruh dunia atau Gereja Dunia. Jalinan paling erat antara Komunitas Basis Gerejani dan Gereja universal adalah Ekaristi. Kata Paus Yohanes Paulus II, “Ekaristi memberikan ikatan sangat erat dari persekutuan di antara kaum beriman di dalam tubuh Kristus, yakni Gereja”. Lewat ekaristi dan Sabda Allah, anggota Komunitas Basis dan kelompok-kelompok lain di dalam suatu paroki menjadi suatu persekutuan komunitas-komunitas atau menjadi suatu cara baru menggereja (new way of being Church). Imam merupakan ikatan yang hidup, yang menjalin antara paroki setempat, uskup, dan paus dari Gereja universal. Kepemimpinan Komunitas Basis Gerejani selalu mendapatkan pelatihan dan bimbingan rohani dari imam atau autoritas Gereja. Ini merupakan pertalian yang erat untuk persatuan dengan Gereja.
Inilah keempat ciri atau empat unsur dari sebuah Komunitas Basis Gerejani. Keempat syarat ini harus ada dalam sebuah Komunitas Basis Gerejani sehingga komunitas itu layak dipandang sebagai perwujudan Gereja di tingkat akar rumput. Bila salah satu atau dua unsur atau ciri dipangkas, maka perkumpulan itu akan menjadi sebagai berikut:
  1. Hanya mengandung ciri berdekatan/kepentingan  bersama, membaca/sharing Kitab Suci dan aksi serta tindakan nyata, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah organisasi atau aksi sosial gereja, sekte gereja.
  2. Hanya mengandung ciri berdekatan/kepentingan bersama dan aksi serta tindakan nyata, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah organisasi sosial kemasyarakatan, aksi sosial, LSM.
  3. Hanya mengandung ciri berdekatan/kepentingan bersama dan membaca/sharing Kitab Suci, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah organisasi atau persekutuan doa, pendalaman Kitab Suci.
  4. Hanya mengandung ciri membaca/sharing Kitab Suci dan aksi serta tindakan nyata, maka komunitas itu dipandang sebagai sebuah aksi sosial orang Kristen.
  5. Hanya mengandung ciri membaca/sharing Kitab Suci, aksi serta tindakan nyata dan Gereja universal, maka kegiatan komunitas itu dipandang sebagai kegiatan apostolik, misionaris, kerasulan.
  6. Jika keempat unsur itu ada, maka komunitas itu adalah sungguh sebuah Komunitas Basis Gerejani.

Catatan Akhir

Gereja hidup dan bergerak secara dinamis dalam pergumulan imannya. Salah satu medan kehidupan dan pergerakan itu adalah Komunitas Basis Gerejani. Di dalamnya, Gereja mewujudkan dirinya dan dia sendiri menjadi jati diri dari Gereja itu. Inilah sebuah cara baru menggereja yang sedang didengung-dengungkan di seantero Gereja Katolik.  
       Di tengah zaman yang sarat dengan persoalan sosial kemasyarakatan dewasa ini, KBG harus tampil dan menunujukkan dirinya sebagai sebuah Gereja yang menaruh perhatian terhadap masalah-masalah itu. Karena itu, KBG bukan hanya tampil sebagai kelompok pendoa melainkan juga menjadi kelompok Gereja yang berdiskusi tentang masalah sosial, mencari akar masalahnya dan mencari jalan keluarnya.
       KBG zaman sekarang bukan hanya sekedar Kelompok Kontas Gabungan saja. Lebih dari itu, KBG harus membuka diri, juga kepada kelompok agama lain, untuk bekerja sama memerangi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan. KBG menjadi kelompok alternatif bagi umat untuk memperbaiki nasib kehidupannya. Dalam konteks ini, KBG menjadi suatu pertanda kenabian yang mampu menunjukkan ke dunia mengenai Kerajaan Allah lewat upayanya dalam melakukan transformasi bagi masyarakat, tempat mereka hidup dan berada di tengah-tengahnya.


         
BAHAN BACAAN

O’Collins, Gerald  dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1995)
Grun, Anselm, Doa dan Mengenal Diri (Yogyakarta: Kanisius, 1985)
Daryanto, S.S, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap (Surabaya: Apollo, 1997)
Margana, A. Komunitas Basis. Gerak Menggereja Kontekstual (Yogyakarta: Kanisius, 2004)
Djegadut, John (ed.), Evangelisasi Baru Dalam Jemaat Basis (Ende: Nusa Indah, 1996)
       Prior, John Mansford,. 2000. Tegar Mekar Komunitas Basis Gerejani (Makalah pada Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se-Indonesia ke-7).