Senin, 03 Februari 2020

MEMBANGUN KELUARGA SEBAGAI GEREJA RUMAH

BY Paroki San Juan




MEMBANGUN KELUARGA SEBAGAI GEREJA RUMAH
(ECCLESIA DOMESTICA)

Bernardus Belawa Wara, Pr, Lic.
(Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Larantuka)


Abstrak:
Gereja melahirkan keluarga-keluarga Kristiani, menyalurkan kepada mereka rahmat Allah yang menyelamatkan melalui sakramen-sakramennya. Gereja mendorong dan membimbing keluarga dalam menghayati panggilannya untuk hidup dalam kasih, agar dapat meneladani kasih pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia. Gereja adalah peletak dasar iman dan nilai kekatolikan bagi keluarga-keluarga Katolik. Karena keluarga menjadi dasar dari kehidupan Gereja, maka ia dapat disebut “Gereja Rumah” (Ecclesia Domestica).

I.     LATAR BELAKANG
Keluarga, suatu kesatuan sosial yang menyejarah, aktual dan menjadi buah tutur masyarakat/umat sepanjang zaman. Adalah hal yang wajar bila kita menyaksikan sepasang pria dan wanita melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga dengan pelbagai cita-cita yang melekat erat di dalamnya, yakni kebahagiaan suami-istri serta melahirkan dan melanjutkan kehidupan baru. Namun, perkembangan dunia yang ditandai oleh meningkatnya perkembangan IPTEK dan INFOKOM, memberi imbas pada menguat atau melemahnya sendi-sendi kehidupan perkawinan dan keluarga sebagai institusi. Perkawinan dan Keluarga seolah berada di titik nadir menghadapi tegangan demi tegangan yang datang menghampirinya.
Keluarga (dan perkawinan) menyentuh secara amat mendalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial (homo sociale) yang mesti saling membutuhkan. No man is an island”, demikian ungkapan yang menyatakan betapa penting arti sebuah kebersamaan. Benturan kepentingan antar manusia, gejolak keprihatinan yang muncul dan melanda hidup keluarga (dan perkawinan) telah menimbulkan persoalan yang tidak sedikit di tengah keluarga dan masyarakat/umat manusia. Nyata bahwa keluarga (dan perkawinan) dapat mendatangkan berkat, tetapi juga kutuk, karena tidak sedikit bahkan rumit persoalan-persoalan yang timbul di dalam keluarga (dan perkawinan), antara sesama anggota keluarga dan antara keluarga-keluarga yang sedang berinteraksi.
Manusia lahir dalam keluarga, hidup dan dibesarkan dalam keluarga kemudian akan membentuk sebuah keluarga baru lagi. Kehidupan manusia berkisar seputar keluarga. Keluarga adalah suatu kesatuan sosial berdasarkan hubungan biologis, ekonomis, emosional, dan rohani yang bertujuan mendidik dan mendewasakan anak-anak sebagai anggota masyarakat luas maupun terbatas. Setiap anggota dalam satu keluarga menjalin interaksi dan komunikasi.
Keluarga merupakan masyarakat kecil, tempat anak-anak mulai belajar untuk bersosialisasi dengan masyarakat yang dimulai dengan kedua orangtuanya. Sebagaimana keluarga adalah sel masyarakat yang terpenting, demikian pula keluarga merupakan Gereja Rumah atau “Ecclesia Domestica” yang menjadi gambaran hidup tentang misteri Gereja. Gerejalah yang melahirkan keluarga-keluarga Kristiani, yang menyalurkan kepada mereka rahmat Allah yang menyelamatkan melalui sakramen-sakramennya. Gereja mendorong dan membimbing keluarga dalam menghayati panggilannya untuk hidup dalam kasih, agar dapat meneladani kasih pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia.[1] Dengan melihat, mendengar, merasakan apa yang dikatakan dan diperbuat oleh kedua orangtuanya, seorang anak belajar untuk menghadapi kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Inilah aspek misioner dari keluarga sebagai Gereja Rumah.
Selain sebagai kesatuan sosial, keluarga juga merupakan kesatuan religius-sakramental yang bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan suami-istri serta, mendidik dan mendewasakan anak sebagai anggota Gereja. Keluarga adalah komunitas pertama yang diciptakan Allah untuk manusia. Dalam Kitab Kejadian dikatakan, “… laki-laki dan perempuan diciptakanNya mereka” (Kej. 1:27). Selanjutnya Allah memberkati pasangan itu dan mengutus mereka untuk: “,… beranak cucu dan bertambah banyaklah” (Kej. 1:28). Keluarga sebagai komunitas pertama yang diciptakan Allah untuk manusia mempunyai tanggung jawab atas kehidupan manusia itu, baik jasmani maupun rohani. Di dalam keluarga, seorang anak mengenal dan mengetahui hal-hal rohaniah dari perilaku religius orangtuanya.
Sinode VI Keuskupan Larantuka mengamanatkan dalam rumusan akhir pentingnya kehadiran keluarga sebagai peletak dasar pendidikan nilai dan iman Katolik, di tengah realitas konkret keluarga dengan segala persoalannya, antara lain: merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai sakramental perkawinan: pisah ranjang, hidup bersama sebelum nikah, perceraian sipil, perselingkuhan, hamil di luar nikah dan KDRT[2], meluasnya wabah penyakit sosial: HIV/AIDS, judi, miras, narkoba yang meluas hingga ke tengah keluarga.[3]
Tema tentang keluarga sudah diperbincangkan juga dalam Program Jangka Pendek tahap I (2008). Sinode VI mengangkat kembali tema ini dan menggelutinya secara khusus dalam program Jangka Pendek Tahap II (2016). Hal ini diinspirasi oleh kenyataan Gereja Lokal saat ini dan dalam kesadaran akan panggilan Gereja sebagai peletak dasar iman dan nilai kekatolikan bagi keluarga-keluarga Katolik.

II.    MENGAPA MEMBANGUN GEREJA RUMAH (ECCLESIA DOMESTICA)
Perkawinan adalah suatu panggilan hidup yang suci dan luhur dari Allah. Melampaui realitas sosial, perkawinan pada hakekatnya adalah suatu yang suci dan sakral. Sejak waktu penciptaan manusia sebagai pria dan wanita, Allah sekaligus telah menguduskan kehidupan perkawinan mereka dengan berkatnya (bdk. Kej. 1;28). Kristus kemudian mengangkat perkawinan antara orang yang dibaptis ke dalam status sakramen.[4] Keistimewaan dalam Sakramen Perkawinan itu nyata dalam cinta yang menjalar di mana suami-istri dapat saling mengampuni satu sama lain secara sempurna.
Dari perkawinan muncullah keluarga, dalamnya dilahirkan warga baru masyarakat yang dengan rahmat Roh Kudus dijadikan putera-puteri Allah dalam pembaptisan, guna melanggengkan umat Allah sepanjang peredaran zaman.[5] Dengan demikian, keluarga itu menjadi dasar dari kehidupan Gereja sekaligus sel dari masyarakat. Karena keluarga menjadi dasar dari kehidupan Gereja, maka ia dapat disebut “Gereja Rumah” (Ecclesia Domestica). Adapun Misi Utama dalam Membangun Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) adalah membantu keluarga melalui pembinaan, bimbingan dan pendampingan agar keluarga dapat bertumbuh dan berkembang sebagai suatu persekutuan iman, harap dan kasih dalam semua aspek kehidupannya. Sebagai Gereja Rumah, aspek-aspek kehidupan Gereja seperti: liturgi, pelayanan, dan kesaksian hendaknya menjadi ciri dan nafas kehidupan setiap keluarga.
a.      Tugas Mewartakan (Kerygma)
Ini adalah tugas pertama Gereja yaitu kita/Umat Allah. Jikalau Mrk 1:1 menulis, “Inilah permulaan tentang Injil Yesus Kristus berarti Injil/Kabar Gembira itu milik Yesus, malahan Dia sendiri (hidup, kata-kata, sikap, perbuatan, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya) adalah Kabar Gembira. Kita tahu bahwa iman timbul dari pendengaran (Yoh. 20; 24-29), dan orang hanya bisa mendengar apabila ada pihak yang mewartakannya, maka perintah Tuhan untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya sekaligus menjadi suruhan bagi keluarga-keluarga Katolik untuk mewartakan Yesus. Implementasi tugas pewartaan bukan terlaksana hanya melalui pengajaran saja, melainkan juga melalui pengamalan akan semua ajaran dan kebenaran yang diwahyukan dalam Kitab Suci dan terpelihara dalam Gereja. Oleh kesetiaan, keluarga-keluarga Katolik melaksanakan jalan keadilan baru seperti diajarkan Kristus serentak dengan itu, mereka mewartakan bahwa janji keselamatan dari Allah sedang digenapi di tengah kita.
b.      Tugas Persekutuan (Koinonia)
Apa yang dimaksudkan dengan persekutuan adalah keikutsertaan dalam persekutuan (persaudaraan) anak-anak Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh Kudus. Sebagai orang beriman, kita dipanggil kepada persatuan dengan Allah dan sesama. Bidang koinonia adalah sarana membentuk kesatuan umat yang berpusat pada Kristus dan menampakkan kehadiran-Nya. Koinonia berhubungan dengan ‘cura animarum’ (pemeliharaan jiwa-jiwa) dan menyatukan umat sebagai Tubuh Kristus. Sebab itu, keluarga-keluarga Katolik diharapkan dapat menciptakan kesatuan antar anggota keluarga, antara keluarga-keluarga bertetangga dalam kesatuan dengan umat dan masyarakat pada umumnya. Koinonia selanjutnya harus diwujudkan lewat penghayatan hidup menggereja, entah secara teritorial (keuskupan, paroki, stasi, KBG, keluarga) maupun dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja.
c.       Tugas Menguduskan (Leiturgia)
Tugas ini mengharuskan keluarga-keluarga Katolik ikut serta dalam perayaan ibadat resmi yang dilakukan Yesus Kristus dalam Gereja-Nya kepada Allah Bapa. Ini berarti keluarga-keluarga Katolik harus mengambil bagian secara aktif dan sadar dalam imamat umum, melaksanakan tiga tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja. Dalam kehidupan menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman. Melalui bidang karya ini, setiap anggota keluarga menemukan, mengakui dan menyatakan identitas Kristiani mereka dalam Gereja Katolik. Hal ini dinyatakan dengan doa, simbol, lambang-lambang dan dalam kebersamaan di tengah keluarga dan di antara umat beriman yang hidup bertetangga. Partisipasi aktif keluarga dalam liturgi dapat diwujudkan dalam bentuk: memimpin Ibadat Sabda/doa bersama, menyiapkan perayaan liturgi tertentu di rumah atau di KBG, khususnya Ekaristi. Keluarga-keluarga Katolik mesti bertekun dalam doa, memuji Allah dan mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup suci dan berkenan pada Allah. Keluarga-keluarga Katolik melaksanakan fungsi imamat rajawi (umum) bagi kaum terbaptis melalui doa, menyambut sakramen, dan memberi kesaksian hidup.
d.      Tugas Pelayanan (Diakonia)
Pelayanan adalah perwujudan iman Kristiani. "Apabila kamu selalu melakukan segala sesuatu yang ditugaskan padamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami lakukan" (Luk. 17:10). Adapun ciri-ciri pelayanan Gereja, antara lain:
ü  Kerendahan Hati: Keluarga-keluarga Katolik tidak boleh berbangga diri, tetapi tetap melihat dirinya sebagai "Hamba yang tak berguna" (Luk. 17:10). Menjadi pelayan itu sikap iman yang radikal, bukti kesetiaan kita pada Kristus sebagai Tuhan dan Guru. Karena itu, keluarga-keluarga Katolik diharapkan agar saling menaruh hormat, saling mencintai dan menjaga kesetiaan satu sama lain dalam kerendahan hati.
ü  Berorientasi pada kaum miskin: Kesadaran bahwa keluarga-keluarga Katolik mesti juga hidup dalam kesederhanaan menjadikan kita sanggup memandang semua anggota keluarga dan keluarga-keluarga yang lain sebagai saudara. Kita tidak lagi saling menjatuhkan, saling memusuhi, dan saling menyingkirkan. Pelayanan yang kita berikan ini bernuansa pemulihan dan pengangkatan harkat kaum miskin sebagai manusia yang bermartabat seperti diri kita.
e.       Tugas Kesaksian (Martyria)
Menjadi saksi Kristus berarti memperlihatkan apa yang kita imani, kita kenal, kita ketahui dan kita alami tentang Kristus dalam hidup kita kepada orang lain. Bila ada penolakan, ancaman dan bahaya, maka itu merupakan resiko tugas perutusan yang harus siap ditanggung. "Kamu akan dikucilkan bahkan akan datang saatnya setiap orang yang membunuhmu akan menyangka ia berbuat bakti pada Allah" (Yoh. 16:2). Keluarga-keluarga Katolik diharapkan mampu memberi kesaksian tentang betapa mulianya hidup perkawinan dan keluarga sebagai institusi sakral yang direncanakan Allah sejak penciptaan, melalui kesaksian tentang kesetiaan suami-isteri, kesetiaan dan cinta antar anggota keluarga dan di antara sesama.
Mengingat pentingnya persekutuan hidup perkawinan dan keluarga terhadap Gereja dan masyarakat, maka perhatian dan pelayanan pastoral terhadap kehidupan perkawinan dan keluarga merupakan suatu tugas dan panggilan yang sangat penting dari semua anggota Gereja. Semua anggota Gereja dipanggil untuk membantu keluarga dalam mengembangkan kehidupan perkawinan dan keluarganya menjadi suatu persekutuan “Gereja Rumah” (Ecclesia Domestica).
Perubahan demi perubahan di tengah tata dunia dan segala sesuatu yang menyertai perubahan itu telah mempengaruhi keluarga (dan perkawinan) sebagai institusi. Gereja (dan masyarakat) yang di dalamnya keluarga-keluarga berkumpul ikut mengalami perubahan seiring perubahan dan perkembangan dunia. Keluarga sebagai Gereja Rumah terajak untuk mendefenisikan dirinya secara baru; didorong dan dibimbing untuk menghayati panggilannya, untuk hidup dalam kasih, agar dapat meneladani kasih dan pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia.[6]
Memang harus diakui bahwa perjuangan untuk menjadikan keluarga Katolik sebagai Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) masih terus menjadi suatu harapan, namun kita tetap optimis, sebagaimana ajakan Paus Fransiskus dalam Exortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injili). Evangelii Gaudium mengundang semua umat beriman untuk bercermin pada hidup para pengarang injil yang selalu membuka diri terhadap karya Roh Kudus. Roh Kudus mengaruniakan kita kekuatan untuk mewartakan kabar gembira secara baru kapan dan di mana saja, kendati harus melawan arus zaman. Untuk itu, Paus Fransiskus memberanikan seluruh Gereja, “Lantaran kita tidak selalu menyaksikan benih-benih yang sedang bertumbuh itu, maka kita membutuhkan kepastian dan keyakinan hakiki bahwa Allah dapat bertindak setiap saat, juga di saat-saat kegagalan, sebab harta ini kita punyai dalam bejana tanah liat” (EG.279). Dalam keyakinan iman akan kuat kuasa Allah yang menjadikan segalanya indah pada waktunya, keluarga-keluarga Katolik di mana saja dan kapan pun juga selalu merasakan bimbingan dan penyertaan Allah dalam aktivitas mereka masing-masing.

III.  KEUSKUPAN LARANTUKA MENGGELUTI TEMA KELUARGA: KAJIAN
Tema tentang KELUARGA sudah amat sering menjadi pergulatan rohani umat Katolik Keuskupan Larantuka dalam beberapa tema Aksi Puasa Pembangunan. Meski demikian, betapa keluarga menjadi titik start perjumpaan manusia dengan Tuhan, sesama dan dirinya sendiri dengan segala problematika yang melingkarinya,  maka Sinode VI mengangkat kembali tema tentang KELUARGA ini dan menggelutinya secara khusus dalam program Jangka Pendek Tahap II (2016). Hal ini diinspirasi oleh kenyataan Gereja Lokal saat ini dan dalam kesadaran akan panggilan Gereja sebagai peletak dasar iman dan nilai kekatolikan keluarga-keluarga Katolik. Sinode VI Keuskupan Larantuka mengamanatkan dalam rumusan akhir tentang pentingnya kehadiran keluarga sebagai peletak dasar pendidikan nilai dan iman Katolik, di tengah realitas konkret keluarga dengan segala persoalannya.[7]
Adapun keluarga diangkat dan menjadi tema Tahun Program 2016 dilatarbelakangi oleh realitas konkret yang mewarnai Gereja lokal kita, antara lain: merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai sakramental perkawinan: pisah ranjang, hidup bersama sebelum nikah, perceraian sipil, perselingkuhan, hamil di luar nikah dan KDRT, meluasnya wabah penyakit sosial: HIV/AIDS, judi, miras, narkoba yang meluas hingga ke tengah keluarga serta budaya pesta yang boros dan mengganggu KAMTIBMAS.[8]
Dalam upaya untuk bisa mengatasi realitas bermasalah dalam hubungannya dengan keluarga, maka ditetapkan dua program utama, yaitu: 1) Pemberdayaan keluarga sebagai Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) dan 2) Pemberdayaan keluarga sebagai sel masyarakat. Kedua program utama ini didukung dengan sejumlah program pendukung dengan sejumlah kegiatan yang menyertainya.
Program-program beserta segala kegiatan yang menyertainya, yang telah ditetapkan dalam Tahun Keluarga ini bertujuan agar: 1) Keluarga sungguh menjadi sekolah nilai, 2) Orangtua diharapkan menjadi pendidik utama nilai di dalam keluarga, 3) Pastoral keluarga berjenjang, 4) Menguatkan ketahanan komunitas masyarakat terhadap pengaruh luar yang merusak, serta 5) Menghidupkan kembali nilai-nilai luhur adat-budaya.
Dalam rangka program pastoral Jangka Pendek II, keluarga tetap menjadi pusat perhatian pastoral mengingat perannya yang istimewa terkait keberadaan dan keberlangsungan KBG. Kita mengharapkan, keluarga sebagai Ecclesia Domestica merupakan tempat yang kudus, karena di dalam keluarga Allah sendiri hadir di tengah umat-Nya. Secara khusus dalam doa keluarga digenapilah Sabda Tuhan yang mengajarkan; “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). “Tempat yang kudus” dalam keluarga tidak untuk diartikan secara jasmani, di mana keluarga menyediakan tempat khusus untuk berdoa; tetapi juga tempat kudus rohani, di mana keluarga bersama-sama menerapkan iman, pengharapan dan kasih yang melibatkan pengorbanan dan pemberian diri seturut teladan Kristus.[9] Dengan menerapkan kasih dan pengorbanan, setiap anggota keluarga mengambil bagian dalam kurban Kristus bagi pengudusan umat manusia dan turut mengambil bagian dalam tugas Gereja menjadi sarana keselamatan.[10]

IV.   GERAK MENUJU ECCLESIA DOMESTICA: KELUARGA SEMAKIN BERTUMBUH DALAM IMAN HARAPAN DAN KASIH SERTA BERKEMBANG DALAM BIDANG-BIDANG PERUTUSAN GEREJA (KOINONIA, LITURGIA, DIAKONIA, KERYGMA DAN MARTYRIA)
Keluarga sebagai Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) tidak cukup menyikapi persoalan sosial sebatas menemukan spiritualitasnya dan memeliharanya dalam praktik kultis saja. Spiritualitas harus berbuah dalam aneka aksi nyata. Persoalan kehidupan keluarga (dan perkawinan) menuntut respon multi-pihak: Gereja, Pemerintah, Masyarakat Adat  untuk selanjutnya mengambil langkah konkrit dalam aksi preventif maupun kuratif.
Pastoral keluarga kiranya tidak cukup hanya berkutat pada pelayanan dan pemenuhan tuntutan administratif sakramental dalam persiapan perkawinan sambil mengabaikan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Pastoral Keluarga Berjenjang kiranya menjadi sebuah kemendesakan di tengah mimpi besar menjadikan Keluarga sebagai Gereja Rumah bagi semua Keluarga Katolik di mana saja mereka berada. Pastoral keluarga mestinya tidak berlindung di balik dalih kapasitas dan kompetensi cura animarum, karena pastoral keluarga sesungguhnya menyentuh subyek personal dan komunal manusia secara utuh dengan mengutamakan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai keharusan iman dan moral. AKSI PASTORAL harus dijalankan dalam kebersamaan dengan semua pihak untuk menegaskan keluhuran martabat perkawinan dan keluarga di semua level-jenjang mulai dari Anak-anak-Remaja (SEKAMI-SEKAR), OMK, Persiapan Nikah dan Bina Lanjut Keluarga Pasca Nikah.
Selama Gereja sebagai institusi begitu ketat memberlakukan aturan legal-formal dan mengabaikan dukungan untuk proses yang manusiawi dan intervensi yang memberdayakan, selama Gereja cuma “menonton dari jauh dan hanya berurusan dengan pelayanan konvensional/tradisional, dan para pihak lain “berdiam diri”, maka persoalan hidup keluarga (dan perkawinan) tetap menjadi momok yang melelahkan. Kita membutuhkan spirit kebangkitan Yesus untuk memandang wajah Yesus yang terluka dalam diri sesama/keluarga yang menderita sakit/penyakit dan kesusahan-kesusahan lain. Sebagaimana pengalaman Rasul Tomas yang tidak percaya akan kebangkitan Kristus, ketika keluar dari komunitas para murid, keluarga-keluarga Katolik juga diajak untuk senantiasa kembali ke dalam rumah, kembali ke dalam kebersamaan untuk menemukan Yesus yang bangkit (Yoh. 20:24-29). Dibutuhkan langkah extraordinary (luar biasa), inovasi, sinergi dan kolaborasi para pihak (Gereja, pemerintah, lembaga adat, LSM) untuk memberdayakan Keluarga-keluarga Katolik dalam wujud:

A.    Meningkatkan Tanggung Jawab Keluarga Terhadap Iman Anak
Dalam Gereja Katolik, keluarga mendapat perhatian yang sungguh karena kesadaran akan pentingnya keluarga sebagai asal mula bertumbuh dan berkembangnya iman. Dengan mendidik anak-anak, orangtua ikut ambil bagian dalam cara Allah mengajar yang bersifat kebapaan dan keibuan.[11] Melalui teladan, doa, dan berkat dari orangtua, anak-anak bahkan semua orang yang tinggal dalam keluarga akan mudah menemukan jalan Allah, jalan keselamatan yang diajarkan oleh Gereja. Tugas dan tanggung jawab orangtua ini tidak lepas dari martabat sakramen pernikahan yang telah mereka terima. Allah sendirilah Pencipta perkawinan.[12] Ia yang telah menginginkan agar manusia, pria dan wanita bersatu bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi, serta tujuan kekal masing-masing anggota keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai, dan kesejahteraan keluarga itu sendiri maupun seluruh masyarakat manusia.

B.     Meningkatkan Tanggung Jawab Keluarga Terhadap Pendidikan Nilai dalam Keluarga
Pendidikan itu penting. Nilai itu berharga. Di satu sisi, pendidikan merupakan substansi yang sangat bernilai karena berfungsi sebagai pencerahan (aufklärung) dalam kegelapan dan jalan buntu manusia. Di sisi lain, pendidikan nilai adalah roh dan jiwa pendidikan anak. Roh dan jiwa itu mula-mula ditanam dalam pendidikan keluarga, selanjutnya bertumbuh mekar dan menjadi besar melalui pendidikan sekolah. Keluarga dan sekolah bersama-sama perlu menjunjung tinggi nilai pendidikan dan mengoptimalkan pendidikan nilai. Nilai adalah sesuatu yang dianggap luhur dan bermakna bagi kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan nilai adalah usaha manusia untuk menanamkan nilai-nilai ke dalam diri manusia agar manusia dapat hidup dan berkembang mencapai tujuan hidupnya.

C.      Membangun Keluarga Sebagai Sebuah Gereja Rumah
Amanat Apostolik Familiaris Consortio, no.49, menyatakan, “... Kita harus memeriksa banyak ikatan mendalam yang menghubungkan Gereja dan keluarga Kristiani yang membentuk keluarga sebagai Gereja mini, Gereja rumah (Ecclesia Domestica)”. Hal senada ditegaskan dalam Pedoman Pastoral Keluarga KWI, no.17 yang menjelaskan esensi keluarga sebagai Gereja Rumah, yakni mengambil bagian dalam lima (5) tugas Gereja (koinonia, leiturgia, kerygma, diakonia dan martyria).[13]
Pertama, Pewartaan Injil (Kerygma). Pewartaan Injil yang ada di gereja harus dihidupkan juga dalam rumah keluarga. Keluarga harus mempunyai kesempatan untuk membaca, mendengar, menghayati, melaksanakan dan mewartakan Kitab Suci. Keluarga harus menjadi tempat Injil disalurkan dan diwartakan. Keluarga-keluarga Katolik perlu membiasakan diri untuk menerima pewartaan injil dan mewartakan injil itu kepada orang lain.
Kedua, Liturgi (Leiturgia). Liturgi yang ada di gereja itu harus dirayakan juga dalam rumah keluarga. Di gereja ada meja altar dan mimbar sabda maka di rumah juga harus ada bentuk mininya, harus ada meja doa dan tempat Kitab Suci. Setiap keluarga perlu menyisihkan waktu untuk berdoa, membaca dan merenungkan Kitab Suci. Sesekali, setiap keluarga dapat meminta pastor untuk mengadakan misa di rumah bila ada peringatan-peringatan khusus keluarga. Dengan adanya perayaan liturgi dan sakramen ini, keluarga dikuduskan dan menguduskan orang lain. Paus Benedictus XVI dalam Anjuran Apostolik Sacramentum Caritatis, menegaskan Panggilan Keluarga untuk menjadikan Ekaristi sebagai pusat hidup keluarga-keluarga Katolik. Dalam Anjuran Apostolik yang sama, Bapa Suci mendorong agar keluarga-keluarga Katolik memetik ilham dan kekuatan dari sakramen Ekaristi. Kasih antara laki-laki dan perempuan, keterbukaan kepada kehidupan dan pendidikan anak adalah iklim khusus di mana Ekaristi dapat menyingkapkan kekuatannya untuk mengubah hidup dan memberinya makna yang penuh.[14]
Ketiga, Persekutuan (Koinonia). Persekutuan yang ada dalam Gereja itu harus menjadi nyata dalam rumah keluarga. Persekutuan itu sudah ada dengan sendirinya antara suami-isteri, orangtua-anak, saudara-saudari, keluarga inti dengan keluarga besar. Roh dari persekutuan Gereja harus menjiwai persekutuan antar pribadi-pribadi dalam keluarga. Roh itu adalah iman kepada Allah dan cinta kasih kepada sesama. Persekutuan yang ada di Gereja harus juga ada secara mini di dalam keluarga, sehingga keluarga sungguh-sungguh menjadi Gereja Rumah.
Keempat, Pelayanan (Diakonia). Cinta kasih dan pelayanan yang ada dalam Gereja harus nyata juga dalam rumah keluarga. Keluarga yang merupakan persekutuan cinta kasih dipanggil untuk mengamalkan cinta kasihnya itu kepada orang lain.
Kelima, Kesaksian Iman (Martyria). Kesaksian iman yang ada dalam Gereja itu harus mendorong anggota Gereja untuk mewujudkannya dalam keluarga. Berani menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan nilai-nilai dalam hidup yang baik dan benar adalah komitmen etis, moral dan iman anggota keluarga terhadap komunitas dan masyarakat luas.

D.      Meningkatkan Peran Keluarga untuk Mendukung KBG
KBG adalah persekutuan hidup Umat Allah yang bertumbuh dan berkembang karena persekutuan yang tetap dan serasi antara keluarga-keluarga Katolik yang hidup bertetangga dekat satu sama lain. Keterlibatan semua anggota keluarga dalam kehidupan menggereja khusus di KBG akan mendukung pemberdayaan komunitas. Peran penting anggota keluarga Katolik dalam kehidupan KBG belum nyata secara signifikan dan secara maksimal menekankan aspek keterlibatan semua anggota keluarga. KBG kita dalam beragam kegiatan cenderung menampilkan wajah para ibu dan anak-anak. Peran serta aktif para bapak dan orang muda terasa masih kurang dalam seluruh kegiatan bersama, khususnya kegiatan yang terjadi di KBG. Diharapkan dengan memberi perhatian khusus pada pastoral keluarga, keterlibatan semua anggota keluarga dalam komunitas akan turut mendukung keberadaan dan keberlangsungan KBG.

V.  KELUARGA MENGHAYATI SUKACITA INJIL
Keluarga memancarkan sukacita Injil manakala keluarga mendasarkan hidupnya pada Kristus dan dengan tekun menjumpai-Nya dalam hidup sehari hari, karena “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua orang yang menjumpai Yesus”.[15] Sukacita Injil itu nampak ketika keluarga mampu menghayati panggilan dan perutusannya dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat dalam situasi apapun juga.
Ketika keluarga Katolik, khususnya pasangan suami-isteri, mampu menghayati dan menemukan  keindahan dalam kehidupan perkawinan dan keluarga mereka, menerimanya dengan penuh syukur dan memancarkan pengalaman sukacita itu kepada keluarga lain, itulah sukacita Injil. Di sisi lain, ketika keluarga mampu saling setia satu sama lain dalam menghadapi berbagai krisis dalam kehidupan mereka, bahkan mampu menemukan jalan baru untuk menghadapinya dengan menyandarkan kekuatannya pada Kristus yang dijumpainya dalam kehidupan sehari hari, itulah sukacita Injil. Keluarga Katolik menunjukkan sukacita yang sejati ketika dalam pergumulan mereka yang tidak mudah tetap menawarkan senyum, melambungkan syukur, menawarkan kasih dan pengharapan baru, serta menunjukkan kesetiaan dan keteguhan iman dalam musim-musim kehidupan mereka karena tetap percaya pada Allah sendiri yang menyertai perjalanan keluarga mereka.
Memandang betapa pentingnya keterlibatan semua anggota keluarga dalam pemberdayaan KBG, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Dewasa ini menulis: “Kehadiran aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka, tetapi juga pengurusan rumah tangga oleh ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan”.[16] Kita mengharapkan, keluarga sebagai Ecclesia Domestica merupakan tempat yang kudus, karena di dalam keluarga Allah sendiri hadir di tengah umat-Nya. Secara khusus dalam doa keluarga digenapilah Sabda Tuhan yang mengajarkan bahwa jika dua atau tiga orang yang bersekutu di dalam nama-Nya, Tuhan hadir (Mat. 18:20). “Tempat yang kudus” dalam keluarga tidak untuk diartikan secara jasmani, di mana keluarga menyediakan tempat khusus untuk berdoa; tetapi juga tempat kudus rohani, di mana keluarga bersama-sama menerapkan iman, pengharapan dan kasih yang melibatkan pengorbanan dan pemberian diri seturut teladan Kristus.[17] Dengan menerapkan kasih dan pengorbanan, setiap anggota keluarga mengambil bagian dalam kurban Kristus bagi pengudusan umat manusia dan turut mengambil bagian dalam tugas Gereja menjadi sarana keselamatan.[18]

VI.   PENUTUP
Mari kita menegaskan bahwa keputusan untuk menikah bukan sebuah tindakan terburu-buru. Kita juga mengetahui dengan baik bahwa perjanjian perkawinan antara dua orang dibaptis diangkat ke martabat sakramen oleh Kristus Tuhan dan menjadi sakramen Perjanjian Baru. Suami-isteri kristiani menjadi “Gereja Domestik”, “sel utama dan vital masyarakat”.[19] Karena itu, bagi pasangan kristiani, perkawinan sungguh-sungguh merupakan panggilan kepada status kehidupan yang istimewa dan penuh rahmat Ilahi. Untuk dapat memahami dan menghidupi semuanya itu calon pasangan membutuhkan katekese khusus. Dituntut persiapan yang memadai, agar sungguh dapat menghasilkan kehidupan keluarga yang sehat dan subur yang sanggup menghasilkan buah-buah kebaikan bagi Gereja dan masyarakat.
Ruang lingkup pastoral perkawinan itu amat luas sebagaimana terungkap dalam GS, no. 52 yang antara lain menegaskan bahwa: “Termasuk tugas para imam, untuk [….] mendukung panggilan suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral, pewartaan Sabda Allah, ibadat liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan dalam keluarga mereka. Tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hati dan dengan sabar meneguhkan mereka di tengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh berpengaruh baik.”[20]
Pastoral perkawinan dan keluarga hendaknya selalu berpegang teguh pada asas salus animarum supprema lex est-keselamatan jiwa-jiwa atau kesejahteraan umat Allah adalah hukum yang tertinggi”. Untuk mencapai tujuan yang luhur tersebut para agen pastoral sungguh diharapkan memiliki pemahaman yang benar akan norma-norma hukum yang ada. Dengan demikian tidak mudah terjebak dalam sikap tidak serius dan improvisasi yang dapat menimbulkan kerugian bagi umat Allah. Pastoral perkawinan hendaknya tidak sekedar mempersiapkan pasangan untuk orang atau pasangan sampai pada perayaan liturgi perkawinan. Akan tetapi hendaknya menjadi “pengawal” sejak awal persiapan hingga berakhir, entah oleh kematian atau atas alasan lain yang legitim.



SINGKATAN DAN ISTILAH
CiV                 : Caritas in Veritate, Surat Ensiklik I Paus Benediktus XVI tentang perkembangan umat manusia seutuhnya di dalam kasih dan kebenaran.
SC                   : Sacramentum Caritatis, Anjuran Apostolik, Paus Benediktus XVI tentang Ekaristi sebagai sumber dan puncak kehidupan serta persekutuan Gereja.
DV                  :           Dei Verbum, Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi.
FC                   : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Katolik dalam Dunia Modern.
GS                   :           Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini.
HIV/Aids        : Human Immunodeficiency Virus, yaitu virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Aids (Acquired immunodeficiency  syndromes) yakni sekumpulan gejala yang timbul akibat melemahnya sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV.
LG                  :           Lumen Gentium, Konsili Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja.
GE                  : Gravissimum Educationis, Konsili Vatikan II, Pernyataan tentang Pendidikan Kristen
AA                  : Apostolicam Actuositatem, Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Kerasulan Awam.
SC                   : Sacrosanctum Concilium, Konsili Vatikan II, Konstitusi tentang Liturgi Suci.
TMA               : Tertio Millennio Adveniente, Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II dalam menyongsong milenium ketiga.
KGK               : Katekismus Gereja Katolik, terjemahan P. Herman Embuiru, SVD
SAGKI       : Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia, yaitu sidang 5 (lima) tahunan yang dihadiri oleh Para Bapak Uskup bersama para imam, biarawan/wati dan utusan umat dari masing-masing keuskupan di seluruh wilayah Indonesia.


[1] Bdk. FC. 49-50.
[2] Bdk. Dokumen Sinode VI, Rumpun Communio nomor 4,5,13 (Sekpas: Larantuka, 2013).
[3] Ibid., Rumpun Missio no.5.
[4]  KHK 1055. Lihat juga FC.13.
[5] LG.11
[6] FC.49-50.
[7] Bdk. Rumusan Akhir Sinode/PUKKEL VI, no. 8 & 11.
[8] Bdk. Ibid., no. 11 & 12.
[9] FC.49.
[10] LG.1.
[11] GS.48.
[12] Ibid.
[13] Konferensi Waligereja Indonesia, Pedoman Pastoral Keluarga KWI,(Jakarta: OBOR 2011), No.17.
[14] SC. 79.
[15] EG.1.
[16] GS.52. 
[17] FC.49.
[18] LG.1.
[19] AA. 11.
[20] GS. 52