Minggu, 02 Februari 2020

DEMI PERANTAUAN YANG BERIMAN, LEGAL DAN PRODUKTIF

BY Paroki San Juan



DEMI PERANTAUAN 
YANG BERIMAN, LEGAL DAN PRODUKTIF
(catatan atas kerja sama pastoral mirantau Keuskupan Larantuka dan Keuskupan Agung Kuala Lumpur)
Anselmus D. Atasoge

Sepuluh tahun sudah, sejak 2013, Keuskupan Larantuka melalui Commision for the Pastoral Care of Migrants and Itinerant People  (Komisi Pastoral Migran dan Perantau) menjalin kerja sama. Kerja sama difokuskan pada persoalan migrasi dan perantauan. Kerja sama dimulai ketika Romo Lukas Laba Erap, Pr atas nama Uskup Larantuka menemui Most. Reverend Murpy Pakiam, Uskup Agung Kuala Lumpur kala itu dalam koordinasi dengan Komunitas Katolik Indonesia yang diketuai Bapak Andreas Making.
Bahwasanya, globalisasi migrasi telah terasa hampir di semua belahan dunia. Menurut Romo Lukas Laba, migrasi bukan hanya sebuah realitas sosial, ekonomi dan politik, tetapi juga realitas rohani, sebuah ziarah iman dan harapa seperti Abraham dan keluarganya, eksodus dari Mesir dan inkarnasi Sabda yang menjadi manusia. 
Spiritualitas ini hendaknya melahirkan kebijakan pastoral khusus dari Gereja Lokal yang terkena dampak migrasi terutama kebijakan dari para uskupnya. Mengapa? Hal ini penting mengingat para migran dan perantau memiliki konteks tersendiri yang memerlukan reksa pastoral khusus (cf. Konsili Vatikan II, Christus Dominus art. 18).
Berkenan dengan hal ini, Komisi Pastoral Mirantau Keuskupan Larantuka dan Komunitas Katolik Indonesia di Kuala Lumpur-Malaysia mendatangi pimpinan baru Gereja Lokal Kuala Lumpur, Most. Reverend Julian Leow untuk menyampaikan kehendak baik dari Keuskupan Larantuka-Indonesia. Maksud utama dari kehendak baik itu adalah melanjutkan kerja sama yang telah dimulai bersama Uskup Emeritus Most. Reverend Murpy Pakiam.
Menurut Romo Lukas, Ketua Komisi Pastoral Mirantau Keuskupan Larantuka, untuk merasakan secara langsung jeritan hati para migran dan perantau yang sedang berziarah dalam iman, para pastor dari Keuskupan Larantuka terus memberikan pelayanan pada hari raya natal dan paskah sejak 2013 hingga saat ini. Belakangan ini, frekuensi pelayanan pun ditingkatkan dalam bentuk ret-ret dan rekoleksi yang juga melibatkan para pastor dari Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Ruteng dan keuskupan lain di Indonesia.
Romo Lukas mengakui bahwa selama visitasi dan asistensi untuk para migran, para pastor membuat pendataan dan menangkap sejumlah persoalan yang dihadapi para migran dan perantau. Persoalan itu di antaranya masalah dokumen keimigrasian, masalah perkawinan dan keluarga, masalah anak-anak migran serta prosedur pelayanan rohani dari para pastor asal Indonesia.
Dalam evaluasi pasca Paskah 2017 di Hotel Vistana Kuala Lumpur Malaysia, para pastor dari Keuskupan Larantuka bersama KKI (Komunitas Katolik Indonesia) merekomendasikan beberapa hal penting untuk dipertimbangkan dan disetujui oleh Keuskupan Agung Kuala Lumpur. Hasilnya selanjutnya dipergunakan sebagai rujukan pelayanan pastoral bagi para migran.
Pertama, pelayanan rohani oleh para pastor dari Indonesia perlu ditingkatkan di waktu mendatang mengingat pelayanan rohani adalah pintu masuk untuk memberi penyadaran tentang sebuah migrasi yang bermartabat: beriman, legal dan produktif. Terkait pelayanan rohani beberapa hal ini menjadi fokus perhatian: pelayanan rohani yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh para pastor dari Flores atau keuskupan lain di Indonesia ketika melakukan visitasi dan asistensi di Keuskupan Agung Kuala Lumpur; prosedur permohonan dokumen nikah dan pencatatan permandian setelah para migran diterimakan sakramen perkawinan dan permandian, khususnya bagi para katekumen dan anak-anak serta bayi; dan proses pemakaman bagi para migran yang meninggal dunia dalam konteks Gereja Lokal Keuskupan Agung Kuala Lumpur. Kedua, permohonan pelayanan rohani dalam bentuk apa saja hendaknya diketahui oleh Uskup Kuala Lumpur dan Uskup-Uskup di Flores NTT atau keuskupan lain di Indonesia dan dalam koordinasi dengan Komunitas Katolik Indonesia dan Koordinator Migran Indonesia yakni Ibu Maria Widhijanto Ng. Ketiga, terkait dengan beberapa hal tersebut hendaknya masing-masing keuskupan di Flores atau daerah lain di Indonesia membuat memorandum of understanding (MoU) dengan Keuskupan Agung Kuala Lumpur agar semua bentuk pelayanan dapat dikoordinir dengan baik.
Ketika sejuta soal bertaburan, realitas migran jadinya makin kompleks di negara tujuan khususnya di Kuala Lumpur-Malaysia dan sekitarnya. Keuskupan asal para migran tak henti-hentinya mengkritisi realitas migrasi dalam terang iman, meningkatkan dampak positif migrasi dan menekan dampak negatifnya terutama persoalan HAM, khususnya hak-hak para migran, komunitas-komunitas migran (Komunitas Katolik Indonesia) dan institusi yang menaungi para migran untuk taat pada regulasi pemerintahan di Malaysia.
Tanggung jawab yang sama dititipkan pula kepada Gereja-gereja Lokal, juga tarekat-tarekat religius dan awam untuk memberi penyadaran kepada para migran yang memperjuangkan hidupnya di Malaysia. Sejatinya, kasih Kristus untuk para migran (erga migrantes caritas Christi) menjadi spiritualitas sosial yang menggerakan keterlibatan dalam pastoral khusus ini. Sebab, kaum buruh Migran dan perantau bukan hanya sebagai obyek evangelisasi Gereja, tetapi juga subyek evangelisasi Gereja. Pengakuan iman dan komitmen pribadi dan bersama untuk “memihak Dia”, menuntut tanggungjawab sosial  kita (cf. Porta Fidei, art. 7).