DEMI PERANTAUAN
YANG BERIMAN, LEGAL DAN
PRODUKTIF
(catatan atas kerja sama pastoral
mirantau Keuskupan Larantuka dan Keuskupan Agung Kuala Lumpur)
Anselmus D. Atasoge
Sepuluh tahun sudah, sejak 2013, Keuskupan Larantuka melalui Commision for the Pastoral Care of Migrants
and Itinerant People (Komisi
Pastoral Migran dan Perantau) menjalin kerja sama. Kerja sama difokuskan pada
persoalan migrasi dan perantauan. Kerja sama dimulai ketika Romo Lukas Laba
Erap, Pr atas nama Uskup Larantuka menemui Most. Reverend Murpy Pakiam, Uskup
Agung Kuala Lumpur kala itu dalam koordinasi dengan Komunitas Katolik Indonesia
yang diketuai Bapak Andreas Making.
Bahwasanya, globalisasi migrasi telah
terasa hampir di semua belahan dunia. Menurut Romo Lukas Laba, migrasi bukan
hanya sebuah realitas sosial, ekonomi dan politik, tetapi juga realitas rohani,
sebuah ziarah iman dan harapa seperti Abraham dan keluarganya, eksodus dari
Mesir dan inkarnasi Sabda yang menjadi manusia.
Spiritualitas ini hendaknya melahirkan kebijakan pastoral
khusus dari Gereja Lokal yang terkena dampak migrasi terutama kebijakan dari
para uskupnya. Mengapa? Hal ini penting mengingat para migran dan perantau memiliki
konteks tersendiri yang memerlukan reksa pastoral khusus (cf. Konsili Vatikan
II, Christus Dominus art. 18).
Berkenan dengan hal ini, Komisi
Pastoral Mirantau Keuskupan Larantuka dan Komunitas Katolik Indonesia di Kuala
Lumpur-Malaysia mendatangi pimpinan baru Gereja Lokal Kuala Lumpur, Most.
Reverend Julian Leow untuk menyampaikan kehendak baik dari Keuskupan
Larantuka-Indonesia. Maksud utama dari kehendak baik itu adalah melanjutkan
kerja sama yang telah dimulai bersama Uskup Emeritus Most. Reverend Murpy
Pakiam.
Menurut Romo Lukas, Ketua Komisi
Pastoral Mirantau Keuskupan Larantuka, untuk merasakan secara langsung jeritan
hati para migran dan perantau yang sedang berziarah dalam iman, para pastor
dari Keuskupan Larantuka terus memberikan pelayanan pada hari raya natal dan
paskah sejak 2013 hingga saat ini. Belakangan ini, frekuensi pelayanan pun
ditingkatkan dalam bentuk ret-ret dan rekoleksi yang juga melibatkan para
pastor dari Keuskupan Agung Ende, Keuskupan Ruteng dan keuskupan lain di Indonesia.
Romo Lukas mengakui bahwa selama
visitasi dan asistensi untuk para migran, para pastor membuat pendataan dan
menangkap sejumlah persoalan yang dihadapi para migran dan perantau. Persoalan
itu di antaranya masalah dokumen keimigrasian, masalah perkawinan dan keluarga,
masalah anak-anak migran serta prosedur pelayanan rohani dari para pastor asal
Indonesia.
Dalam evaluasi pasca Paskah 2017 di
Hotel Vistana Kuala Lumpur Malaysia, para pastor dari Keuskupan Larantuka
bersama KKI (Komunitas Katolik Indonesia) merekomendasikan beberapa hal penting
untuk dipertimbangkan dan disetujui oleh Keuskupan Agung Kuala Lumpur. Hasilnya
selanjutnya dipergunakan sebagai rujukan pelayanan pastoral bagi para migran.
Pertama,
pelayanan rohani oleh para pastor dari
Indonesia perlu ditingkatkan di waktu mendatang mengingat pelayanan rohani
adalah pintu masuk untuk memberi penyadaran tentang sebuah migrasi yang
bermartabat: beriman, legal dan produktif. Terkait pelayanan rohani beberapa
hal ini menjadi fokus perhatian: pelayanan rohani yang boleh atau tidak boleh
dilakukan oleh para pastor dari Flores atau keuskupan lain di Indonesia ketika
melakukan visitasi dan asistensi di Keuskupan Agung Kuala Lumpur; prosedur
permohonan dokumen nikah dan pencatatan permandian setelah para migran
diterimakan sakramen perkawinan dan permandian, khususnya bagi para katekumen
dan anak-anak serta bayi; dan proses pemakaman bagi para migran yang meninggal
dunia dalam konteks Gereja Lokal Keuskupan Agung Kuala Lumpur. Kedua, permohonan pelayanan rohani dalam
bentuk apa saja hendaknya diketahui oleh Uskup Kuala Lumpur dan Uskup-Uskup di
Flores NTT atau keuskupan lain di Indonesia dan dalam koordinasi dengan
Komunitas Katolik Indonesia dan Koordinator Migran Indonesia yakni Ibu Maria
Widhijanto Ng. Ketiga, terkait dengan
beberapa hal tersebut hendaknya masing-masing keuskupan di Flores atau daerah
lain di Indonesia membuat memorandum of
understanding (MoU) dengan Keuskupan Agung Kuala Lumpur agar semua bentuk
pelayanan dapat dikoordinir dengan baik.
Ketika sejuta soal bertaburan, realitas
migran jadinya makin kompleks di negara tujuan khususnya di Kuala
Lumpur-Malaysia dan sekitarnya. Keuskupan asal para migran tak henti-hentinya
mengkritisi realitas migrasi dalam terang iman, meningkatkan dampak positif
migrasi dan menekan dampak negatifnya terutama persoalan HAM, khususnya hak-hak
para migran, komunitas-komunitas migran (Komunitas Katolik Indonesia) dan
institusi yang menaungi para migran untuk taat pada regulasi pemerintahan di
Malaysia.
Tanggung jawab yang sama dititipkan
pula kepada Gereja-gereja Lokal, juga tarekat-tarekat religius dan awam untuk
memberi penyadaran kepada para migran yang memperjuangkan hidupnya di Malaysia.
Sejatinya, kasih Kristus untuk para migran (erga migrantes caritas Christi)
menjadi spiritualitas sosial yang menggerakan keterlibatan dalam pastoral
khusus ini. Sebab, kaum buruh Migran dan perantau bukan hanya sebagai obyek
evangelisasi Gereja, tetapi juga subyek evangelisasi Gereja. Pengakuan iman dan
komitmen pribadi dan bersama untuk “memihak Dia”, menuntut tanggungjawab
sosial kita (cf. Porta Fidei, art. 7).