Selasa, 28 Januari 2020

MENJADI AWAM BIROKRAT GEREJA KATOLIK: PILIHAN KERASULAN YANG MENYENANGKAN

BY Paroki San Juan IN




MENJADI AWAM BIROKRAT GEREJA KATOLIK:
PILIHAN KERASULAN YANG MENYENANGKAN
Oleh Anselmus Atasoge
Komunitas Studi Kreatif Flores

Disampaikan dalam Lokakarya di Paroki Santu Ignasius Waibalun
11 Agustus 2018


Sekedar Pengantar

Menjadi sebuah kebanggaan sekaligus kenangan tersendiri, ketika saya ‘duduk bersama’ dua tokoh hebat untuk mempercakapkan tentang keterpanggilan dan peran (tugas) kaum awam kristiani dalam kehidupan menggereja. Pater Paul Budi yang adalah dosen dan pembimbing bidang akademik semasa kuliah; Romo Eduard Jebarus yang saya pandang sebagai ‘guru sejarah Gereja’ yang perjumpaan dengan Beliau dilalui bersama buku-buku sejarahnya dan di ruang-ruang khusus ketika beliau berkotbah dan ketika memberikan ceramah-ceramah. Perjumpaan hari ini pun saya pandang sebagai bagian dari proses pembelajaran bagi saya sebagai seorang awam yang hampir separuh hidup selepas dari ‘seminari’, saya baktikan untuk Gereja Paroki di mana saya menjadi anggotanya.

Banyak gagasan cemerlang telah dan akan disampaikan oleh Beliau berdua. Saya tidak akan banyak berteori dan menyampaikan ajaran-ajaran suci yang diyakini dan dihidupkan Gereja sepanjang masa melainkan mencoba mensharingkan apa yang telah saya lalui meski baru sedikit saja sembari memberi satu dua pendasaran teologis (mungkin juga sosiologis-antropologis) atas apa yang telah saya lewati.

Sharing ini merupakan sharing dari seorang awam muda yang boleh dianggap sebagai segelas kopi siang (penyemangat awal) bagi kaum muda (bapak-bapak muda) untuk tak segan-segan “menjadikan paroki” sebagai bagian dari “pergerakan keseharian” di tengah kesibukan mengurus keluarga dan kelekatan pada tugas-tugas pokok.

Tahun 2018 merupakan tahun kesepuluh bagi saya ketika dipercayakan sebagai Sekretaris DPP sembari menangani Seksi Komsos di Paroki dan membantu satu dua pekerjaan di Komisi Komsos dan Komisi Migran dan Perantauan Keuskupan Larantuka. Kepercayaan ini saya jalani dengan penuh kegembiraan meskipun tidak berbayar (bukan prabayar. Pra bayarnya menjadi urusan-tanggungan Tuhan. Dan, sering pra bayarnya nampak dalam rupa post-selalu datang belakangan dalam bentuk-bentuk lain yang saya rasakan dan alami ketika berjumpa orang-orang baru di lain tempat atau perhatian yang diberikan oleh sesama yang lain kepada keluarga-keluarga saya).



Berkiblat Pada Lumen Gentium 31

Keterlibatan dan partisipasi ini pertama nian dijalani berbasiskan pada kesadaran atas jati diri sebagai seorang awam katolik yang telah Gereja gagaskan dalam dokumen Lumen Gentium 31. Ada 6 konsekuensi logis tentang jati diri kaum awam menurut Lumen Gentium (LG) 31: Berdasarkan panggilan khasnya awam bertugas MENCARI KERAJAAN ALLAH dengan MENGUSAHAKAN HAL-HAL DUNIAWI dan mengaturnya sesuai dengan KEHENDAK ALLAH; Mereka HIDUP DALAM DUNIA, yakni dalam semua dan setiap jabatan serta kegiatan dunia dan dalam situasi hidup di mana mereka berada; Mereka DIPANGGIL ALLAH, agar sambil menjalankan tugas khasnya, DIBIMBING OLEH SEMANGAT INJIL, mereka menyumbang pengudusan dunia dari dalam laksana ragi; Menampilkan KESAKSIAN HIDUP yang baik sambil BERCAHAYAKAN IMAN, HARAPAN DAN CINTA KASIH, MEMPERLIHATKAN KRISTUS kepada orang lain; Tugas mereka secara khusus: MENERANGI DAN MENATA SEMUA IKHWAL DUNIAWI yang erat berhubungan dengan mereka, sehingga selalu TERJADI DAN BERKEMBANG SESUAI KRISTUS, dan merupakan PUJIAN BAGI PENCIPTA; Relasinya dengan dunia bukan merupakan relasi sosiologis melainkan merupakan relasi kristiani sebagai gereja. Gereja juga punya relasi terhadap dunia.

Gagasan ini sekedar mengulang apa yang telah digagaskan oleh Konsili Vatikan II melalui Lumen Gentium. Pada intinya, LG 31 hendak menegaskan bahwa kaum awam adalah semua orang beriman kristiani dan yang tidak termasuk golongan tahbisan suci dan status kebiaraan yang diakui dalam gereja. Jadi kaum awam itu adalah mereka yang telah dipermandikan dan menjadi anggota tubuh Kristus; Dijadikan umat Allah; dan dengan cara tersendiri ambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi dan raja. Kekhasan dan kekhususannya adalah ciri keduniaannya yakni mencari Kerajaan Allah dengan mengurus hal ikhwal keduniaan dan mengaturnya menurut kehendak Allah.


Kesadaran ini, menurut saya, dilahirkan oleh empat dimensi pilihan keawaman: eksistensial, eklesial, epistemologis dan kesetiakawanan. Eksistensial: timbul dari kedalaman keberadaan saya seorang awam dalam struktur Gereja [hierarki, biarawan/wati, awam]. Melalui pilihan ini saya dapat dibawa ke dalam Gereja, atau oleh Gereja saya dapat dibawa ke dalam keanggotaan [tidak sekedar sebagai anggota biasa] dalam struktur Gereja.

Di titik ini, saya menempatkan diri sebagai agen pastoral yang tidak hadir sebagai pribadi yang tunggal melainkan dalam kerja sama dengan agen-agen yang lain: agen pastoral terbaptis (katekis, guru agama Katolik, DPP, DPS, pengurus KBG, pengurus Yayasan Katolik), agen pastoral tertahbis (Uskup, imam diosesan dan biarawan, diakon) dan agen pastoral tertakdis (pemimpin dan dewan pimpinan Lembaga Hidup Bakti).

Eklesial: suatu kiblat baru saya sebagai anggota Gereja dalam hubungannnya dengan partisipasi saya dalam karya keselamatan Allah sebagai karya yang diemban oleh Gereja di dunia ini. Epistemologis: suatu cara baru dalam memandang kenyataan Gereja, yang lahir dalam diri saya. Bahwasanya awam Katolik mempunyai peran dan fungsi yang penting sebagai Co-Creator Allah bersama Hierarki [dari sudut pandang keduniawian]. Di sini saya memandang diri saya sebagai subjek yang turut serta dalam “menciptakan dunia“ dan membawa “hasil ciptaan saya“ untuk dimurnikan dengan “Tangan Tuhan“ agar berbuah keselamatan. Suatu pilihan dalam kesetiakawanan: suatu pilihan yang mengantar saya untuk menerima aneka pergerakan dan keterlibatan Yesus semasa berkeliling di tanah Palestina sebagai milik saya, sebagai sesuatu yang berarti dan penting bagi saya demi membangun suatu dunia yang diliputi oleh kebaikan bersama serentak keselamatan bersama. Pilihan untuk mengalami kenyataan Kristus  dan merasakannya. Bayaran atas pilihan: kerelaan berbagi waktu untuk Gereja dan sesama; melelehkan lilin kehidupan diri saya untuk Gereja dan sesama.

Ini terkesan sebagai kata-kata yang terlalu melambung tinggi namun justru inilah yang tertanam dalam kesadaran saya setiap kali saya terlibat dan melibatkan diri dalam setiap kegiatan di Paroki. Empat dimensi kesadaran ini menjadi bingkai sekaligus membimbing dan mengawasi setiap langkah keterlibatan saya. Di titik ini, bukan prestasi dan prestise yang dicari [dan untuk apa mencarinya?] melainkan selalu disadari sebagai bagian dari keterpanggilan sebagai AWAM KATOLIK. Dan, kesadaran ini bukan tidak lahir sekali jadi melainkan senantiasa bertumbuh dalam proses bersama berjalannya waktu.

Menjadi Awam [Birokrat]: Aktualisasi Jati Diri Katolik
Ada dua isu utama yang diperbincangkan dan mendapatkan tanggapan pastoral dalam Sinode VI KL terkait Awam Birokrat. Isu pertama berkaitan dengan communio: Awam birokrat kurang merasa menjadi bagian dari Gereja dan KBG. Isu kedua berkaitan missio: Awam Birokrat belum maksimal berperan dalam tata dunia, kurang berpihak dalam menentukan kebijakan yang terarah kepada kepentingan umum dan kekhasan lokal. Tak ada penjelasan yang detail terkait dua hal ini. Namun, kita bisa membangun satu hipotesis kecil: pertama, bahwasanya sedemikian strategisnya peran dan posisi awam birokrat dalam Gereja sehingga kehadirannya menjadi salah satu condition sine qua non bagi kehidupan Gereja. Kedua, dirasakan bahwa posisi dan peran strategis itu belum maksimal ‘diaktualisasikan’ dalam kehidupan menggereja (Paroki, Lingkungan, KBG dan juga kelompok-kelompok kategorial lainnya).

Sejuta latar yang menjadi alasan bisa kita ajukan sebagai kerangka untuk menjawabi atau sekedar menepis hipotesis terutama hipotesis kedua. Kita tidak akan masuk lebih jauh tentang hal ini. Baiklah itu cukup menjadi latar intelek dan latar rasa dari masing-masing kita. Namun, saya ingin mengajak kita sekalian untuk kembali membongkar kembali tiga hal penting yang terlekatkan dalam diri kita: pertama, dari mana kita datang [siapakah saya sebagai seorang Katolik yang ber-paroki, ber-lingkungan, ber-KBG]; kedua, di posisi manakah kita berada sekarang [seorang  awam Katolik yang sedang memegang jabatan di pemerintahan, di dunia pendidikan, di dunia politik dan di dunia-dunia lainnya]; ketiga, ke manakah arah kita selanjutnya [seorang birokrat/guru/politisi/dll: ingin yang biasa saja seperti sekarang, ingin stagnat atau ingin being, processing dan becoming dalam konteks hidup menggereja sebagai aktualisasi jati diri awam yang kental kekatolikannya].


Sebuah Kisah Besar dari Dunia Lain: St. Thomas More
St. Thomas More seorang kudus dari kerajaan Inggris, merupakan salah satu dari deretan para kudus awam. Prestasinya yang gemilang dalam studi, membuat dia menjadi seorang pengacara dan penulis terkenal di kerajaan Inggris. Tidak hanya itu, rupanya kesuksesan dan keberuntungan menyertai dia, sampai akhirnya dia diangkat sebagai penasihat Raja (Lord High Chancellor) oleh raja Henry VIII atau istilah lain menjadi perdana menteri, orang kedua tertinggi di kerajaaan Inggris. Kedekatannya dengan raja, sering digambarkan bagaimana raja Henry VIII sering melingkarkan tangannya di bahu Thomas More.

Tetapi, semua pencapaian itu tidak membuat Thomas More menjadi terlena. Dia selalu berusaha menghayati kehidupannya, baik sebagai perdana menteri, sebagai kepala keluarga, lebih-lebih sebagai pengikut Kristus, sebagai seorang Katolik. Di tengah segala kesibukannya, pada malam hari Thomas More banyak mempersembahkan waktunya untuk doa pribadi. Dia membangun kapela pribadi di rumahnya, agar sewaktu-waktu dia dapat hadir di hadapan Tuhan. Di Gereja pun dia aktif melayani sebagai asisten imam. Dan dia pun aktif membuat tulisan-tulisan rohani.

Apa yang Bisa Kita Gagasan untuk Kita
Ada semacam harapan yang dialamatkan kepada para awam birokrat yang terbaca dalam sinode VI KL: Awam birokrat terlibat dalam kehidupan berKBG; Berperan dalam kepengurusan KBG; dan Menghayati semangat Injil. Saya memandang harapan ini sebagai harapan minimal di hadapan konsekuensi besar dari predikat kekatolikan kita. Meski demikian, baiklah jika kita mencoba membawa diri kita yang terpanggil sebagai awam birokrat untuk “mewarnai” KBG, Lingkungan dan Paroki dengan jati diri kita sebagai awam birokrat yang tidak ‘mengasingkan diri’ dari kenyataan dan harapan Gereja atas diri kita.

Saya membaca bahwa pada umumnya ABK adalah pribadi-pribadi yang punya latar belakang pendidikan yang memadai, apapun spesifikasinya. Latar yang memadai ini saya pandang sebagai modal yang mumpuni bagi keterlibatan ABK. Saya sebutkan beberapa: kemampuan managerial, ketajaman analisis dengan perspektif dan pendekatan berbasis keilmuan, kegemaran pada networking, kepatuhan pada regulasi/pimpinan, serpihan visioner, militansi birokratis [dalam artian positif]. Tentu masih banyak lagi modalitas yang boleh dikaji dan dikategorikan. Jika boleh menganjurkan maka saya menganjurkan agar modal-modal individual maupun sosial ini hendaknya diaplikasikan juga pada medan-medan kegerejaan [KBG, Lingkungan, Paroki].



Sekedar Menutup
Saya ingin menutup percakapan ini dengan mengatakan bahwa ‘keterlibatan ABK dan ABK yang terlibat merupakan sebuah imperatif kategoris dari kejati-dirian seorang ABK. Dan, keterlibatan itu dibuktikan tidak hanya dengan Sabda/Kata/Logos melainkan menyata dalam Sikap Laku/Aksi. “Dunia menantikan orang-orang Katolik….Ya…menantikan pemikirannya yang dilahirkan dari sebuah kesunyian dan membawanya ke tengah aksi nyata,” kata Albert Camus (1948).***