MENJADI AWAM BIROKRAT
GEREJA KATOLIK:
PILIHAN KERASULAN
YANG MENYENANGKAN
Oleh Anselmus
Atasoge
Komunitas Studi Kreatif Flores
Disampaikan dalam Lokakarya di Paroki Santu Ignasius Waibalun
11 Agustus 2018
Sekedar Pengantar
Menjadi
sebuah kebanggaan sekaligus kenangan tersendiri, ketika saya ‘duduk bersama’
dua tokoh hebat untuk mempercakapkan tentang keterpanggilan dan peran (tugas)
kaum awam kristiani dalam kehidupan menggereja. Pater Paul Budi yang adalah
dosen dan pembimbing bidang akademik semasa kuliah; Romo Eduard Jebarus yang
saya pandang sebagai ‘guru sejarah Gereja’ yang perjumpaan dengan Beliau
dilalui bersama buku-buku sejarahnya dan di ruang-ruang khusus ketika beliau
berkotbah dan ketika memberikan ceramah-ceramah. Perjumpaan hari ini pun saya
pandang sebagai bagian dari proses pembelajaran bagi saya sebagai seorang awam
yang hampir separuh hidup selepas dari ‘seminari’, saya baktikan untuk Gereja
Paroki di mana saya menjadi anggotanya.
Banyak
gagasan cemerlang telah dan akan disampaikan oleh Beliau berdua. Saya tidak
akan banyak berteori dan menyampaikan ajaran-ajaran suci yang diyakini dan
dihidupkan Gereja sepanjang masa melainkan mencoba mensharingkan apa yang telah
saya lalui meski baru sedikit saja sembari memberi satu dua pendasaran teologis
(mungkin juga sosiologis-antropologis) atas apa yang telah saya lewati.
Sharing
ini merupakan sharing dari seorang awam muda yang boleh dianggap sebagai
segelas kopi siang (penyemangat awal) bagi kaum muda (bapak-bapak muda) untuk
tak segan-segan “menjadikan paroki” sebagai bagian dari “pergerakan keseharian”
di tengah kesibukan mengurus keluarga dan kelekatan pada tugas-tugas pokok.
Tahun
2018 merupakan tahun kesepuluh bagi saya ketika dipercayakan sebagai Sekretaris
DPP sembari menangani Seksi Komsos di Paroki dan membantu satu dua pekerjaan di
Komisi Komsos dan Komisi Migran dan Perantauan Keuskupan Larantuka. Kepercayaan
ini saya jalani dengan penuh kegembiraan meskipun tidak berbayar (bukan
prabayar. Pra bayarnya menjadi urusan-tanggungan Tuhan. Dan, sering pra
bayarnya nampak dalam rupa post-selalu datang belakangan dalam bentuk-bentuk
lain yang saya rasakan dan alami ketika berjumpa orang-orang baru di lain
tempat atau perhatian yang diberikan oleh sesama yang lain kepada
keluarga-keluarga saya).
Berkiblat Pada
Lumen Gentium 31
Keterlibatan
dan partisipasi ini pertama nian dijalani berbasiskan pada kesadaran atas jati
diri sebagai seorang awam katolik yang telah Gereja gagaskan dalam dokumen
Lumen Gentium 31. Ada 6 konsekuensi logis tentang
jati diri kaum awam menurut Lumen Gentium (LG) 31: Berdasarkan panggilan khasnya awam bertugas MENCARI KERAJAAN ALLAH dengan MENGUSAHAKAN HAL-HAL DUNIAWI dan
mengaturnya sesuai dengan KEHENDAK ALLAH; Mereka HIDUP DALAM
DUNIA, yakni dalam semua dan setiap jabatan serta kegiatan dunia dan dalam
situasi hidup di mana mereka berada; Mereka DIPANGGIL
ALLAH, agar sambil menjalankan tugas khasnya, DIBIMBING OLEH SEMANGAT INJIL, mereka menyumbang pengudusan dunia dari dalam laksana ragi; Menampilkan KESAKSIAN HIDUP yang baik sambil BERCAHAYAKAN IMAN, HARAPAN DAN CINTA KASIH, MEMPERLIHATKAN KRISTUS kepada orang lain; Tugas mereka secara khusus: MENERANGI DAN MENATA SEMUA IKHWAL DUNIAWI
yang erat berhubungan dengan mereka, sehingga selalu TERJADI DAN BERKEMBANG SESUAI KRISTUS, dan merupakan PUJIAN BAGI PENCIPTA; Relasinya dengan dunia bukan merupakan relasi sosiologis melainkan merupakan
relasi kristiani sebagai gereja. Gereja juga punya relasi terhadap dunia.
Gagasan
ini sekedar mengulang apa yang telah digagaskan oleh Konsili Vatikan II melalui
Lumen Gentium. Pada intinya, LG 31 hendak menegaskan bahwa kaum awam adalah semua orang beriman kristiani dan yang tidak termasuk golongan tahbisan suci dan status
kebiaraan yang diakui dalam gereja. Jadi kaum awam itu
adalah mereka yang telah dipermandikan dan menjadi
anggota tubuh Kristus;
Dijadikan umat Allah; dan dengan cara tersendiri ambil bagian dalam tugas Kristus sebagai imam, nabi
dan raja.
Kekhasan dan kekhususannya adalah ciri keduniaannya
yakni mencari Kerajaan Allah dengan mengurus hal ikhwal
keduniaan dan mengaturnya menurut kehendak Allah.
Kesadaran ini,
menurut saya, dilahirkan oleh empat dimensi pilihan keawaman: eksistensial,
eklesial, epistemologis dan kesetiakawanan. Eksistensial: timbul dari kedalaman keberadaan saya seorang awam
dalam struktur Gereja [hierarki, biarawan/wati, awam]. Melalui pilihan
ini saya dapat dibawa ke dalam Gereja, atau oleh Gereja saya dapat dibawa ke dalam keanggotaan [tidak sekedar
sebagai anggota biasa] dalam struktur Gereja.
Di titik ini,
saya menempatkan diri sebagai agen pastoral yang tidak hadir sebagai pribadi
yang tunggal melainkan dalam kerja sama dengan agen-agen
yang lain: agen pastoral terbaptis
(katekis, guru agama Katolik, DPP, DPS, pengurus KBG, pengurus Yayasan
Katolik), agen pastoral tertahbis
(Uskup, imam diosesan dan biarawan, diakon) dan agen pastoral tertakdis (pemimpin dan dewan pimpinan
Lembaga Hidup Bakti).
Eklesial: suatu kiblat baru saya sebagai
anggota Gereja dalam hubungannnya dengan partisipasi saya dalam karya keselamatan Allah sebagai karya yang
diemban oleh Gereja di dunia ini. Epistemologis: suatu cara baru dalam memandang kenyataan Gereja, yang
lahir dalam diri saya. Bahwasanya awam Katolik mempunyai peran dan fungsi yang
penting sebagai Co-Creator Allah bersama Hierarki [dari sudut pandang
keduniawian]. Di sini saya memandang diri saya sebagai subjek yang turut serta
dalam “menciptakan dunia“ dan membawa “hasil ciptaan saya“ untuk dimurnikan
dengan “Tangan Tuhan“ agar berbuah keselamatan. Suatu pilihan
dalam kesetiakawanan: suatu pilihan
yang mengantar saya untuk menerima aneka pergerakan
dan keterlibatan Yesus semasa
berkeliling di tanah Palestina sebagai milik saya, sebagai sesuatu
yang berarti dan penting bagi saya demi membangun suatu dunia yang diliputi oleh kebaikan bersama serentak keselamatan bersama. Pilihan untuk mengalami kenyataan Kristus
dan merasakannya. Bayaran atas pilihan: kerelaan berbagi waktu untuk
Gereja dan sesama; melelehkan lilin kehidupan diri saya untuk Gereja dan
sesama.
Ini terkesan sebagai kata-kata yang terlalu melambung
tinggi namun justru inilah yang tertanam dalam kesadaran saya setiap kali saya
terlibat dan melibatkan diri dalam setiap kegiatan di Paroki. Empat dimensi
kesadaran ini menjadi bingkai sekaligus membimbing dan mengawasi setiap langkah
keterlibatan saya. Di titik ini, bukan prestasi dan prestise yang dicari [dan
untuk apa mencarinya?] melainkan selalu disadari sebagai bagian dari
keterpanggilan sebagai AWAM KATOLIK. Dan, kesadaran ini bukan tidak lahir
sekali jadi melainkan senantiasa bertumbuh dalam proses bersama berjalannya
waktu.
Menjadi Awam [Birokrat]:
Aktualisasi Jati Diri Katolik
Ada
dua isu utama yang diperbincangkan dan mendapatkan tanggapan pastoral dalam
Sinode VI KL terkait Awam Birokrat. Isu pertama berkaitan dengan communio: Awam birokrat kurang merasa menjadi bagian dari Gereja
dan KBG. Isu kedua berkaitan missio: Awam Birokrat belum maksimal berperan dalam tata dunia,
kurang berpihak dalam menentukan kebijakan yang terarah kepada kepentingan umum
dan kekhasan lokal. Tak ada penjelasan yang detail
terkait dua hal ini. Namun, kita bisa membangun satu hipotesis kecil: pertama,
bahwasanya sedemikian strategisnya peran dan posisi awam birokrat dalam Gereja
sehingga kehadirannya menjadi salah satu condition sine qua non bagi kehidupan
Gereja. Kedua, dirasakan bahwa posisi dan peran strategis itu belum maksimal
‘diaktualisasikan’ dalam kehidupan menggereja (Paroki, Lingkungan, KBG dan juga
kelompok-kelompok kategorial lainnya).
Sejuta latar yang menjadi alasan
bisa kita ajukan sebagai kerangka untuk menjawabi atau sekedar menepis
hipotesis terutama hipotesis kedua. Kita tidak akan masuk lebih jauh tentang
hal ini. Baiklah itu cukup menjadi latar intelek dan latar rasa dari
masing-masing kita. Namun, saya ingin mengajak kita sekalian untuk kembali
membongkar kembali tiga hal penting yang terlekatkan dalam diri kita: pertama,
dari
mana kita datang [siapakah saya sebagai seorang Katolik yang ber-paroki,
ber-lingkungan, ber-KBG]; kedua, di posisi manakah kita berada sekarang
[seorang awam Katolik yang sedang
memegang jabatan di pemerintahan, di dunia pendidikan, di dunia politik dan di
dunia-dunia lainnya]; ketiga, ke manakah arah kita selanjutnya [seorang
birokrat/guru/politisi/dll: ingin yang biasa saja seperti sekarang, ingin
stagnat atau ingin being, processing dan becoming dalam konteks hidup
menggereja sebagai aktualisasi jati diri awam yang kental kekatolikannya].
Sebuah Kisah
Besar dari Dunia Lain: St. Thomas More
St. Thomas More
seorang kudus dari kerajaan Inggris, merupakan salah satu dari deretan para
kudus awam. Prestasinya yang gemilang dalam studi, membuat dia menjadi seorang
pengacara dan penulis terkenal di kerajaan Inggris. Tidak hanya itu, rupanya
kesuksesan dan keberuntungan menyertai dia, sampai akhirnya dia diangkat
sebagai penasihat Raja (Lord High Chancellor) oleh raja Henry VIII atau istilah lain
menjadi perdana menteri, orang kedua tertinggi di kerajaaan Inggris.
Kedekatannya dengan raja, sering digambarkan bagaimana raja Henry VIII sering
melingkarkan tangannya di bahu Thomas More.
Tetapi, semua
pencapaian itu tidak membuat Thomas More menjadi terlena. Dia selalu berusaha
menghayati kehidupannya, baik sebagai perdana menteri, sebagai kepala keluarga,
lebih-lebih sebagai pengikut Kristus, sebagai seorang Katolik. Di tengah segala
kesibukannya, pada malam hari Thomas More banyak mempersembahkan waktunya untuk
doa pribadi. Dia membangun kapela pribadi di rumahnya, agar sewaktu-waktu dia
dapat hadir di hadapan Tuhan. Di Gereja pun dia aktif melayani sebagai asisten
imam. Dan dia pun aktif membuat tulisan-tulisan rohani.
Apa yang Bisa
Kita Gagasan untuk Kita
Ada
semacam harapan yang dialamatkan kepada para awam birokrat yang terbaca dalam
sinode VI KL: Awam birokrat terlibat dalam kehidupan berKBG; Berperan dalam
kepengurusan KBG; dan Menghayati semangat Injil. Saya memandang harapan ini
sebagai harapan minimal di hadapan konsekuensi besar dari predikat kekatolikan
kita. Meski demikian, baiklah jika kita mencoba membawa diri kita yang
terpanggil sebagai awam birokrat untuk “mewarnai” KBG, Lingkungan dan Paroki
dengan jati diri kita sebagai awam birokrat yang tidak ‘mengasingkan diri’ dari
kenyataan dan harapan Gereja atas diri kita.
Saya
membaca bahwa pada umumnya ABK adalah pribadi-pribadi yang punya latar belakang
pendidikan yang memadai, apapun spesifikasinya. Latar yang memadai ini saya
pandang sebagai modal yang mumpuni bagi keterlibatan ABK. Saya sebutkan
beberapa: kemampuan managerial, ketajaman analisis dengan perspektif dan
pendekatan berbasis keilmuan, kegemaran pada networking, kepatuhan pada
regulasi/pimpinan, serpihan visioner, militansi birokratis [dalam artian
positif]. Tentu masih banyak lagi modalitas yang boleh dikaji dan
dikategorikan. Jika boleh menganjurkan maka saya menganjurkan agar modal-modal
individual maupun sosial ini hendaknya diaplikasikan juga pada medan-medan
kegerejaan [KBG, Lingkungan, Paroki].
Sekedar Menutup
Saya ingin menutup percakapan ini
dengan mengatakan bahwa ‘keterlibatan ABK dan ABK yang terlibat merupakan
sebuah imperatif kategoris dari kejati-dirian seorang ABK. Dan, keterlibatan
itu dibuktikan tidak hanya dengan Sabda/Kata/Logos melainkan menyata dalam
Sikap Laku/Aksi. “Dunia menantikan orang-orang Katolik….Ya…menantikan
pemikirannya yang dilahirkan dari sebuah kesunyian dan membawanya ke tengah
aksi nyata,” kata Albert Camus (1948).***