MEMBANGUN
KELUARGA SEBAGAI GEREJA RUMAH
(ECCLESIA
DOMESTICA)
Bernardus Belawa Wara,
Pr, Lic.
(Ketua Komisi Keluarga Keuskupan Larantuka)
Abstrak:
Gereja melahirkan keluarga-keluarga Kristiani, menyalurkan kepada mereka
rahmat Allah yang menyelamatkan melalui sakramen-sakramennya. Gereja mendorong
dan membimbing keluarga dalam menghayati panggilannya untuk hidup dalam kasih,
agar dapat meneladani kasih pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia. Gereja
adalah peletak dasar iman dan nilai
kekatolikan bagi keluarga-keluarga Katolik. Karena keluarga menjadi dasar dari kehidupan Gereja, maka
ia dapat disebut “Gereja Rumah” (Ecclesia
Domestica).
I. LATAR
BELAKANG
Keluarga, suatu kesatuan sosial yang
menyejarah, aktual dan menjadi buah tutur masyarakat/umat sepanjang zaman.
Adalah hal yang wajar bila kita menyaksikan sepasang pria dan wanita
melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga dengan pelbagai cita-cita yang
melekat erat di dalamnya, yakni kebahagiaan suami-istri
serta melahirkan dan melanjutkan kehidupan
baru. Namun, perkembangan
dunia yang ditandai oleh meningkatnya perkembangan IPTEK dan INFOKOM, memberi imbas pada menguat atau
melemahnya sendi-sendi kehidupan perkawinan dan keluarga sebagai institusi.
Perkawinan dan Keluarga seolah berada di titik nadir menghadapi tegangan demi
tegangan yang datang menghampirinya.
Keluarga (dan perkawinan) menyentuh
secara amat mendalam keberadaan manusia sebagai makhluk sosial (homo sociale) yang mesti saling
membutuhkan. “No man is an island”, demikian ungkapan yang menyatakan
betapa penting arti sebuah kebersamaan. Benturan kepentingan antar manusia,
gejolak keprihatinan yang muncul dan melanda hidup keluarga (dan perkawinan)
telah menimbulkan persoalan yang tidak sedikit di tengah keluarga dan
masyarakat/umat manusia. Nyata bahwa keluarga (dan perkawinan) dapat
mendatangkan berkat, tetapi juga kutuk, karena tidak sedikit bahkan rumit
persoalan-persoalan yang timbul di dalam keluarga (dan perkawinan), antara
sesama anggota keluarga dan antara keluarga-keluarga yang sedang berinteraksi.
Manusia
lahir dalam keluarga, hidup dan dibesarkan dalam keluarga kemudian akan
membentuk sebuah keluarga baru lagi. Kehidupan manusia berkisar seputar
keluarga. Keluarga adalah suatu kesatuan sosial berdasarkan hubungan biologis,
ekonomis, emosional, dan rohani yang bertujuan mendidik dan mendewasakan
anak-anak sebagai anggota masyarakat luas maupun terbatas. Setiap anggota dalam
satu keluarga menjalin interaksi dan komunikasi.
Keluarga
merupakan masyarakat kecil, tempat anak-anak mulai belajar untuk bersosialisasi
dengan masyarakat yang dimulai dengan kedua orangtuanya. Sebagaimana keluarga
adalah sel masyarakat yang terpenting, demikian pula keluarga merupakan Gereja
Rumah atau “Ecclesia Domestica”
yang menjadi gambaran hidup tentang misteri Gereja. Gerejalah yang melahirkan
keluarga-keluarga Kristiani, yang menyalurkan kepada mereka rahmat Allah yang
menyelamatkan melalui sakramen-sakramennya. Gereja mendorong dan membimbing
keluarga dalam menghayati panggilannya untuk hidup dalam kasih, agar dapat
meneladani kasih pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia.[1] Dengan melihat,
mendengar, merasakan apa yang dikatakan dan diperbuat oleh kedua orangtuanya,
seorang anak belajar untuk menghadapi kehidupan sosial yang lebih luas lagi.
Inilah aspek misioner dari keluarga sebagai Gereja Rumah.
Selain sebagai kesatuan sosial, keluarga
juga merupakan kesatuan religius-sakramental yang bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan
suami-istri serta, mendidik dan mendewasakan anak sebagai anggota Gereja.
Keluarga adalah komunitas pertama yang diciptakan Allah untuk manusia. Dalam
Kitab Kejadian dikatakan, “… laki-laki
dan perempuan diciptakanNya mereka” (Kej. 1:27). Selanjutnya Allah memberkati pasangan itu dan mengutus mereka
untuk: “,… beranak cucu dan bertambah
banyaklah” (Kej. 1:28).
Keluarga sebagai komunitas pertama yang diciptakan Allah untuk manusia
mempunyai tanggung jawab atas kehidupan manusia itu, baik jasmani maupun
rohani. Di dalam keluarga, seorang anak mengenal dan mengetahui hal-hal
rohaniah dari perilaku religius orangtuanya.
Sinode VI Keuskupan Larantuka mengamanatkan dalam rumusan
akhir pentingnya kehadiran keluarga sebagai peletak dasar pendidikan nilai dan
iman Katolik, di tengah realitas konkret keluarga dengan segala persoalannya,
antara lain: merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai sakramental
perkawinan: pisah ranjang, hidup bersama sebelum nikah, perceraian sipil,
perselingkuhan, hamil di luar nikah dan KDRT[2], meluasnya wabah
penyakit sosial: HIV/AIDS, judi, miras, narkoba yang meluas hingga ke tengah
keluarga.[3]
Tema tentang keluarga sudah diperbincangkan juga dalam
Program Jangka Pendek tahap I (2008). Sinode VI mengangkat kembali tema ini dan
menggelutinya secara khusus dalam program Jangka Pendek Tahap II (2016). Hal
ini diinspirasi oleh kenyataan Gereja Lokal saat ini dan dalam kesadaran akan
panggilan Gereja sebagai peletak dasar
iman dan nilai kekatolikan bagi keluarga-keluarga Katolik.
II. MENGAPA MEMBANGUN GEREJA RUMAH (ECCLESIA DOMESTICA)
Perkawinan adalah suatu panggilan hidup yang
suci dan luhur dari Allah. Melampaui realitas sosial, perkawinan pada
hakekatnya adalah suatu yang suci dan sakral. Sejak waktu penciptaan manusia
sebagai pria dan wanita, Allah sekaligus telah menguduskan kehidupan perkawinan
mereka dengan berkatnya (bdk. Kej. 1;28). Kristus
kemudian mengangkat perkawinan antara orang yang dibaptis ke dalam status
sakramen.[4] Keistimewaan dalam Sakramen Perkawinan itu nyata dalam cinta
yang menjalar di mana suami-istri dapat saling mengampuni satu sama lain secara
sempurna.
Dari perkawinan muncullah keluarga,
dalamnya dilahirkan warga baru masyarakat yang dengan rahmat Roh Kudus
dijadikan putera-puteri Allah dalam pembaptisan, guna melanggengkan umat Allah
sepanjang peredaran zaman.[5] Dengan demikian, keluarga itu menjadi
dasar dari kehidupan Gereja sekaligus sel dari masyarakat. Karena keluarga
menjadi dasar dari kehidupan Gereja, maka ia dapat disebut “Gereja Rumah” (Ecclesia Domestica). Adapun Misi Utama dalam Membangun Gereja Rumah (Ecclesia
Domestica) adalah membantu keluarga melalui pembinaan, bimbingan dan
pendampingan agar keluarga dapat bertumbuh dan berkembang sebagai suatu
persekutuan iman, harap dan kasih dalam semua aspek kehidupannya. Sebagai
Gereja Rumah, aspek-aspek kehidupan Gereja seperti: liturgi, pelayanan, dan
kesaksian hendaknya menjadi ciri dan nafas kehidupan setiap keluarga.
a. Tugas
Mewartakan (Kerygma)
Ini adalah tugas pertama Gereja yaitu
kita/Umat Allah. Jikalau Mrk 1:1 menulis, “Inilah
permulaan tentang Injil Yesus Kristus”
berarti Injil/Kabar Gembira itu milik Yesus, malahan Dia sendiri (hidup,
kata-kata, sikap, perbuatan, sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya) adalah Kabar
Gembira. Kita tahu bahwa iman timbul dari pendengaran (Yoh. 20; 24-29), dan
orang hanya bisa mendengar apabila ada pihak yang mewartakannya, maka perintah
Tuhan untuk menjadikan segala bangsa murid-Nya sekaligus menjadi suruhan bagi
keluarga-keluarga Katolik untuk mewartakan Yesus. Implementasi tugas pewartaan
bukan terlaksana hanya melalui pengajaran saja, melainkan juga melalui
pengamalan akan semua ajaran dan kebenaran yang diwahyukan dalam Kitab Suci dan
terpelihara dalam Gereja. Oleh kesetiaan, keluarga-keluarga Katolik
melaksanakan jalan keadilan baru seperti
diajarkan Kristus serentak dengan itu, mereka mewartakan bahwa janji
keselamatan dari Allah sedang digenapi di tengah kita.
b.
Tugas Persekutuan (Koinonia)
Apa yang
dimaksudkan dengan persekutuan adalah keikutsertaan dalam persekutuan (persaudaraan) anak-anak Bapa dengan pengantaraan Kristus dalam kuasa Roh Kudus. Sebagai orang beriman, kita dipanggil
kepada persatuan dengan Allah dan sesama. Bidang koinonia adalah sarana
membentuk kesatuan umat yang berpusat pada Kristus dan menampakkan
kehadiran-Nya. Koinonia
berhubungan dengan ‘cura animarum’ (pemeliharaan jiwa-jiwa) dan menyatukan umat sebagai
Tubuh Kristus. Sebab itu, keluarga-keluarga Katolik diharapkan dapat
menciptakan kesatuan antar anggota keluarga, antara keluarga-keluarga
bertetangga dalam kesatuan dengan umat dan masyarakat pada umumnya. Koinonia
selanjutnya harus diwujudkan lewat penghayatan
hidup menggereja, entah secara teritorial (keuskupan, paroki, stasi, KBG,
keluarga) maupun dalam kelompok-kelompok kategorial yang ada dalam Gereja.
c.
Tugas
Menguduskan (Leiturgia)
Tugas ini mengharuskan keluarga-keluarga Katolik ikut serta dalam perayaan ibadat resmi yang dilakukan Yesus Kristus dalam
Gereja-Nya kepada Allah Bapa. Ini
berarti keluarga-keluarga Katolik harus mengambil bagian secara aktif dan sadar
dalam imamat umum, melaksanakan tiga tugas Kristus sebagai Imam, Nabi dan Raja.
Dalam kehidupan menggereja, peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman.
Melalui bidang karya ini, setiap anggota keluarga menemukan, mengakui dan
menyatakan identitas Kristiani mereka dalam Gereja Katolik. Hal ini dinyatakan
dengan doa, simbol, lambang-lambang dan dalam kebersamaan di tengah keluarga
dan di antara umat beriman yang hidup bertetangga. Partisipasi aktif keluarga
dalam liturgi dapat diwujudkan dalam bentuk: memimpin Ibadat Sabda/doa bersama,
menyiapkan perayaan liturgi tertentu di rumah atau di KBG, khususnya Ekaristi.
Keluarga-keluarga Katolik mesti bertekun dalam doa, memuji Allah dan
mempersembahkan diri sebagai korban yang hidup suci dan berkenan pada Allah.
Keluarga-keluarga Katolik melaksanakan fungsi imamat rajawi (umum) bagi kaum
terbaptis melalui doa, menyambut sakramen, dan memberi kesaksian hidup.
d. Tugas
Pelayanan (Diakonia)
Pelayanan adalah perwujudan iman
Kristiani. "Apabila kamu selalu
melakukan segala sesuatu yang ditugaskan padamu, hendaklah kamu berkata: Kami
adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang harus kami
lakukan" (Luk. 17:10).
Adapun ciri-ciri pelayanan Gereja, antara lain:
ü
Kerendahan Hati: Keluarga-keluarga Katolik tidak boleh berbangga diri,
tetapi tetap melihat dirinya sebagai "Hamba
yang tak berguna" (Luk. 17:10). Menjadi pelayan itu sikap iman yang radikal, bukti
kesetiaan kita pada Kristus sebagai Tuhan dan Guru. Karena itu,
keluarga-keluarga Katolik diharapkan agar saling menaruh hormat, saling
mencintai dan menjaga kesetiaan satu sama lain dalam kerendahan hati.
ü
Berorientasi pada kaum miskin: Kesadaran bahwa keluarga-keluarga
Katolik mesti juga hidup dalam kesederhanaan menjadikan kita sanggup memandang
semua anggota keluarga dan keluarga-keluarga yang lain sebagai saudara. Kita
tidak lagi saling menjatuhkan, saling memusuhi, dan saling menyingkirkan. Pelayanan
yang kita berikan ini bernuansa pemulihan dan pengangkatan harkat kaum miskin
sebagai manusia yang bermartabat seperti diri kita.
e. Tugas
Kesaksian (Martyria)
Menjadi saksi Kristus berarti
memperlihatkan apa yang kita imani, kita kenal, kita ketahui dan kita alami
tentang Kristus dalam hidup kita kepada orang lain. Bila ada penolakan, ancaman dan bahaya, maka itu merupakan
resiko tugas perutusan yang harus siap ditanggung. "Kamu akan
dikucilkan bahkan akan datang saatnya setiap orang yang membunuhmu akan menyangka
ia berbuat bakti pada Allah" (Yoh. 16:2).
Keluarga-keluarga Katolik diharapkan mampu memberi kesaksian tentang betapa
mulianya hidup perkawinan dan keluarga sebagai institusi sakral yang
direncanakan Allah sejak penciptaan, melalui kesaksian tentang kesetiaan
suami-isteri, kesetiaan dan cinta antar anggota keluarga dan di antara sesama.
Mengingat pentingnya persekutuan hidup
perkawinan dan keluarga terhadap Gereja dan masyarakat, maka perhatian dan
pelayanan pastoral terhadap kehidupan perkawinan dan keluarga merupakan suatu
tugas dan panggilan yang sangat penting dari semua anggota Gereja. Semua
anggota Gereja dipanggil untuk membantu keluarga dalam mengembangkan kehidupan
perkawinan dan keluarganya menjadi suatu persekutuan “Gereja Rumah” (Ecclesia Domestica).
Perubahan demi perubahan di tengah tata dunia dan segala
sesuatu yang menyertai perubahan itu telah mempengaruhi keluarga (dan
perkawinan) sebagai institusi. Gereja (dan masyarakat) yang di dalamnya
keluarga-keluarga berkumpul ikut mengalami perubahan seiring perubahan dan
perkembangan dunia. Keluarga sebagai Gereja Rumah terajak untuk mendefenisikan
dirinya secara baru; didorong dan
dibimbing untuk menghayati panggilannya, untuk hidup dalam kasih, agar dapat
meneladani kasih dan pengorbanan Kristus yang diberikan kepada manusia.[6]
Memang harus diakui bahwa perjuangan untuk menjadikan
keluarga Katolik sebagai Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) masih terus menjadi
suatu harapan, namun kita tetap optimis, sebagaimana ajakan Paus Fransiskus
dalam Exortasi Apostolik Evangelii Gaudium (Sukacita Injili). Evangelii Gaudium mengundang semua umat beriman untuk
bercermin pada hidup para pengarang injil yang selalu membuka diri terhadap
karya Roh Kudus. Roh Kudus mengaruniakan kita kekuatan untuk mewartakan kabar
gembira secara baru kapan dan di mana saja, kendati harus melawan arus zaman.
Untuk itu, Paus Fransiskus memberanikan seluruh Gereja, “Lantaran
kita tidak selalu menyaksikan benih-benih yang sedang bertumbuh itu, maka kita
membutuhkan kepastian dan keyakinan hakiki bahwa Allah dapat bertindak setiap
saat, juga di saat-saat kegagalan, sebab harta ini kita punyai dalam bejana
tanah liat” (EG.279). Dalam keyakinan iman akan kuat kuasa Allah yang menjadikan
segalanya indah pada waktunya, keluarga-keluarga Katolik di mana saja dan kapan
pun juga selalu merasakan bimbingan dan penyertaan Allah dalam aktivitas mereka
masing-masing.
III. KEUSKUPAN LARANTUKA MENGGELUTI TEMA KELUARGA: KAJIAN
Tema tentang KELUARGA sudah amat sering menjadi pergulatan rohani umat
Katolik Keuskupan Larantuka dalam beberapa tema Aksi Puasa Pembangunan. Meski
demikian, betapa keluarga menjadi titik start perjumpaan manusia dengan Tuhan,
sesama dan dirinya sendiri dengan segala problematika yang melingkarinya, maka Sinode VI mengangkat kembali tema
tentang KELUARGA ini dan menggelutinya secara khusus dalam program Jangka Pendek
Tahap II (2016). Hal ini diinspirasi oleh kenyataan Gereja Lokal saat ini dan
dalam kesadaran akan panggilan Gereja sebagai peletak dasar iman dan nilai kekatolikan keluarga-keluarga Katolik.
Sinode VI Keuskupan Larantuka mengamanatkan dalam rumusan akhir tentang
pentingnya kehadiran keluarga sebagai peletak dasar pendidikan nilai dan iman
Katolik, di tengah realitas konkret keluarga dengan segala persoalannya.[7]
Adapun keluarga diangkat dan menjadi tema Tahun Program 2016
dilatarbelakangi oleh realitas konkret yang mewarnai Gereja lokal kita, antara
lain: merosotnya penghargaan terhadap nilai-nilai sakramental perkawinan: pisah
ranjang, hidup bersama sebelum nikah, perceraian sipil, perselingkuhan, hamil
di luar nikah dan KDRT, meluasnya wabah penyakit sosial: HIV/AIDS, judi, miras,
narkoba yang meluas hingga ke tengah keluarga serta budaya pesta yang boros dan
mengganggu KAMTIBMAS.[8]
Dalam upaya untuk bisa mengatasi
realitas bermasalah dalam hubungannya dengan keluarga, maka ditetapkan dua program utama, yaitu: 1) Pemberdayaan
keluarga sebagai Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) dan 2) Pemberdayaan keluarga
sebagai sel masyarakat. Kedua program
utama ini didukung dengan sejumlah program pendukung dengan sejumlah kegiatan
yang menyertainya.
Program-program beserta segala kegiatan yang menyertainya,
yang telah ditetapkan dalam Tahun Keluarga ini bertujuan agar: 1) Keluarga sungguh menjadi sekolah nilai,
2) Orangtua diharapkan menjadi pendidik utama nilai di dalam keluarga, 3) Pastoral
keluarga berjenjang, 4) Menguatkan ketahanan komunitas masyarakat terhadap pengaruh
luar yang merusak, serta 5) Menghidupkan kembali nilai-nilai luhur adat-budaya.
Dalam rangka program pastoral Jangka Pendek II, keluarga
tetap menjadi pusat perhatian pastoral mengingat perannya yang istimewa terkait
keberadaan dan keberlangsungan KBG. Kita mengharapkan, keluarga sebagai Ecclesia Domestica merupakan
tempat yang kudus, karena di dalam keluarga Allah sendiri hadir di tengah
umat-Nya. Secara khusus dalam doa keluarga digenapilah Sabda Tuhan yang
mengajarkan; “Sebab
di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di
tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). “Tempat yang
kudus” dalam keluarga tidak untuk diartikan secara jasmani, di mana keluarga
menyediakan tempat khusus untuk berdoa; tetapi juga tempat kudus rohani, di
mana keluarga bersama-sama menerapkan iman, pengharapan dan kasih yang melibatkan
pengorbanan dan pemberian diri seturut teladan Kristus.[9] Dengan menerapkan kasih dan pengorbanan, setiap anggota
keluarga mengambil bagian dalam kurban Kristus bagi pengudusan umat manusia dan
turut mengambil bagian dalam tugas Gereja menjadi sarana keselamatan.[10]
IV.
GERAK MENUJU ECCLESIA DOMESTICA: KELUARGA SEMAKIN BERTUMBUH DALAM IMAN HARAPAN DAN KASIH SERTA
BERKEMBANG DALAM BIDANG-BIDANG PERUTUSAN GEREJA (KOINONIA, LITURGIA,
DIAKONIA, KERYGMA DAN MARTYRIA)
Keluarga sebagai Gereja Rumah (Ecclesia Domestica) tidak cukup
menyikapi persoalan sosial sebatas menemukan spiritualitasnya dan memeliharanya
dalam praktik kultis saja. Spiritualitas harus berbuah dalam aneka aksi nyata.
Persoalan kehidupan keluarga (dan perkawinan) menuntut respon multi-pihak: Gereja, Pemerintah, Masyarakat
Adat untuk selanjutnya mengambil langkah konkrit
dalam aksi preventif maupun kuratif.
Pastoral keluarga kiranya tidak cukup hanya
berkutat pada pelayanan dan pemenuhan tuntutan administratif sakramental dalam
persiapan perkawinan sambil mengabaikan situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Pastoral Keluarga Berjenjang kiranya menjadi sebuah kemendesakan di tengah mimpi besar
menjadikan Keluarga sebagai Gereja Rumah bagi semua Keluarga Katolik di mana saja
mereka berada. Pastoral keluarga
mestinya tidak berlindung di balik dalih kapasitas dan kompetensi cura animarum,
karena pastoral keluarga sesungguhnya menyentuh subyek personal dan komunal
manusia secara utuh dengan mengutamakan penghargaan terhadap martabat manusia
sebagai keharusan iman dan moral. AKSI PASTORAL harus
dijalankan dalam kebersamaan dengan semua pihak untuk menegaskan keluhuran
martabat perkawinan dan keluarga di semua level-jenjang mulai dari
Anak-anak-Remaja (SEKAMI-SEKAR), OMK, Persiapan Nikah dan Bina Lanjut Keluarga
Pasca Nikah.
Selama Gereja sebagai institusi begitu ketat
memberlakukan aturan legal-formal dan mengabaikan dukungan untuk proses yang
manusiawi dan intervensi yang memberdayakan, selama Gereja cuma “menonton” dari jauh dan hanya berurusan dengan
pelayanan konvensional/tradisional, dan para pihak lain “berdiam diri”, maka persoalan hidup keluarga (dan
perkawinan) tetap menjadi momok yang melelahkan. Kita membutuhkan
spirit kebangkitan Yesus untuk memandang wajah Yesus yang terluka dalam diri
sesama/keluarga yang menderita sakit/penyakit dan kesusahan-kesusahan lain. Sebagaimana
pengalaman Rasul Tomas yang tidak percaya akan kebangkitan Kristus, ketika
keluar dari komunitas para murid, keluarga-keluarga Katolik juga diajak untuk
senantiasa kembali ke dalam rumah, kembali ke dalam kebersamaan untuk menemukan
Yesus yang bangkit (Yoh. 20:24-29). Dibutuhkan langkah extraordinary
(luar biasa), inovasi, sinergi dan kolaborasi para pihak (Gereja, pemerintah,
lembaga adat, LSM) untuk memberdayakan Keluarga-keluarga Katolik dalam wujud:
A.
Meningkatkan
Tanggung
Jawab Keluarga Terhadap Iman Anak
Dalam Gereja Katolik, keluarga mendapat perhatian yang
sungguh karena kesadaran akan pentingnya keluarga sebagai asal mula bertumbuh
dan berkembangnya iman. Dengan mendidik anak-anak, orangtua ikut ambil bagian
dalam cara Allah mengajar yang bersifat kebapaan dan keibuan.[11] Melalui teladan, doa, dan
berkat dari orangtua, anak-anak bahkan semua orang yang tinggal dalam keluarga
akan mudah menemukan jalan Allah, jalan keselamatan yang diajarkan oleh Gereja.
Tugas dan tanggung jawab orangtua ini tidak lepas dari martabat sakramen
pernikahan yang telah mereka terima. Allah sendirilah Pencipta perkawinan.[12] Ia yang telah
menginginkan agar manusia, pria dan wanita bersatu bagi kelangsungan umat
manusia, bagi pertumbuhan pribadi, serta tujuan kekal masing-masing anggota
keluarga, bagi martabat, kelestarian, damai, dan kesejahteraan keluarga itu
sendiri maupun seluruh masyarakat manusia.
B.
Meningkatkan Tanggung Jawab Keluarga Terhadap Pendidikan
Nilai dalam Keluarga
Pendidikan itu penting. Nilai itu berharga. Di satu sisi,
pendidikan merupakan substansi yang sangat bernilai karena berfungsi sebagai
pencerahan (aufklärung) dalam kegelapan dan jalan buntu manusia. Di sisi
lain, pendidikan nilai adalah roh dan jiwa pendidikan anak. Roh dan jiwa itu
mula-mula ditanam dalam pendidikan keluarga, selanjutnya bertumbuh mekar dan
menjadi besar melalui pendidikan sekolah. Keluarga dan sekolah bersama-sama
perlu menjunjung tinggi nilai pendidikan dan mengoptimalkan pendidikan nilai. Nilai adalah sesuatu yang dianggap luhur dan bermakna bagi
kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan nilai adalah usaha manusia untuk menanamkan nilai-nilai
ke dalam diri manusia agar manusia dapat hidup dan berkembang mencapai tujuan
hidupnya.
C.
Membangun Keluarga Sebagai Sebuah Gereja Rumah
Amanat Apostolik
Familiaris Consortio, no.49, menyatakan, “... Kita harus memeriksa banyak ikatan mendalam yang menghubungkan
Gereja dan keluarga Kristiani yang membentuk keluarga sebagai Gereja mini,
Gereja rumah (Ecclesia Domestica)”. Hal senada ditegaskan dalam Pedoman Pastoral
Keluarga KWI, no.17
yang menjelaskan esensi keluarga sebagai Gereja Rumah, yakni mengambil bagian
dalam lima (5) tugas Gereja (koinonia,
leiturgia, kerygma, diakonia dan martyria).[13]
Pertama, Pewartaan
Injil (Kerygma). Pewartaan Injil yang ada di gereja harus dihidupkan juga dalam rumah
keluarga. Keluarga harus mempunyai kesempatan untuk membaca, mendengar,
menghayati, melaksanakan dan mewartakan Kitab Suci. Keluarga harus menjadi
tempat Injil disalurkan dan diwartakan. Keluarga-keluarga Katolik perlu
membiasakan diri untuk menerima pewartaan injil dan mewartakan injil itu kepada
orang lain.
Kedua, Liturgi (Leiturgia). Liturgi yang ada di
gereja itu harus dirayakan juga dalam rumah keluarga. Di gereja ada meja altar
dan mimbar sabda maka di rumah juga harus ada bentuk mininya, harus ada meja
doa dan tempat Kitab Suci. Setiap keluarga perlu menyisihkan waktu untuk
berdoa, membaca dan merenungkan Kitab Suci. Sesekali, setiap keluarga dapat
meminta pastor untuk mengadakan misa di rumah bila ada
peringatan-peringatan khusus keluarga. Dengan adanya perayaan liturgi dan
sakramen ini, keluarga dikuduskan dan menguduskan orang lain. Paus
Benedictus XVI dalam Anjuran Apostolik Sacramentum
Caritatis, menegaskan Panggilan Keluarga untuk menjadikan Ekaristi sebagai
pusat hidup keluarga-keluarga Katolik. Dalam Anjuran Apostolik yang sama, Bapa
Suci mendorong agar keluarga-keluarga Katolik memetik ilham dan kekuatan dari
sakramen Ekaristi. Kasih antara laki-laki dan perempuan, keterbukaan kepada
kehidupan dan pendidikan anak adalah iklim khusus di mana Ekaristi dapat menyingkapkan kekuatannya untuk mengubah hidup dan memberinya
makna yang penuh.[14]
Ketiga, Persekutuan
(Koinonia). Persekutuan yang ada dalam Gereja itu harus menjadi nyata dalam rumah
keluarga. Persekutuan itu sudah ada dengan sendirinya antara suami-isteri,
orangtua-anak, saudara-saudari, keluarga inti dengan keluarga besar. Roh dari
persekutuan Gereja harus menjiwai persekutuan antar pribadi-pribadi dalam
keluarga. Roh itu adalah iman kepada Allah dan cinta kasih kepada sesama.
Persekutuan yang ada di Gereja harus juga ada secara mini di dalam keluarga, sehingga keluarga sungguh-sungguh menjadi Gereja Rumah.
Keempat, Pelayanan
(Diakonia). Cinta kasih dan pelayanan yang ada dalam Gereja harus nyata juga dalam
rumah keluarga. Keluarga yang merupakan persekutuan cinta kasih dipanggil untuk
mengamalkan cinta kasihnya itu kepada orang lain.
Kelima, Kesaksian
Iman (Martyria). Kesaksian iman yang ada dalam Gereja itu harus mendorong anggota Gereja
untuk mewujudkannya dalam keluarga. Berani menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan
nilai-nilai dalam hidup yang baik dan benar adalah komitmen etis, moral dan
iman anggota keluarga terhadap komunitas dan masyarakat luas.
D.
Meningkatkan Peran Keluarga untuk Mendukung KBG
KBG adalah persekutuan hidup Umat Allah
yang bertumbuh dan berkembang karena persekutuan yang tetap dan serasi antara
keluarga-keluarga Katolik yang hidup bertetangga dekat satu sama lain.
Keterlibatan semua anggota keluarga dalam kehidupan menggereja khusus di KBG
akan mendukung pemberdayaan komunitas. Peran penting anggota keluarga Katolik
dalam kehidupan KBG belum nyata secara signifikan dan secara maksimal
menekankan aspek keterlibatan semua anggota keluarga. KBG kita dalam beragam
kegiatan cenderung menampilkan wajah para ibu dan anak-anak. Peran serta aktif
para bapak dan orang muda terasa masih kurang dalam seluruh kegiatan bersama,
khususnya kegiatan yang terjadi di KBG. Diharapkan dengan memberi perhatian
khusus pada pastoral keluarga, keterlibatan semua anggota keluarga dalam
komunitas akan turut mendukung keberadaan dan keberlangsungan KBG.
V. KELUARGA MENGHAYATI
SUKACITA INJIL
Keluarga memancarkan sukacita Injil manakala keluarga mendasarkan hidupnya pada
Kristus dan dengan tekun menjumpai-Nya dalam hidup sehari hari, karena “Sukacita Injil memenuhi hati dan hidup semua
orang yang menjumpai Yesus”.[15] Sukacita Injil itu nampak ketika keluarga mampu menghayati
panggilan dan perutusannya dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat dalam
situasi apapun juga.
Ketika keluarga Katolik, khususnya pasangan suami-isteri, mampu
menghayati dan menemukan keindahan dalam kehidupan perkawinan dan
keluarga mereka, menerimanya dengan penuh syukur dan memancarkan pengalaman
sukacita itu kepada keluarga lain, itulah sukacita Injil. Di sisi lain, ketika
keluarga mampu saling setia satu sama lain dalam menghadapi berbagai krisis
dalam kehidupan mereka, bahkan mampu menemukan jalan baru untuk menghadapinya
dengan menyandarkan kekuatannya pada Kristus yang dijumpainya dalam kehidupan sehari
hari, itulah sukacita Injil. Keluarga Katolik menunjukkan sukacita yang sejati ketika
dalam pergumulan mereka yang tidak mudah tetap menawarkan senyum, melambungkan
syukur, menawarkan kasih dan pengharapan baru, serta menunjukkan kesetiaan dan
keteguhan iman dalam musim-musim kehidupan mereka karena tetap percaya pada
Allah sendiri yang menyertai perjalanan keluarga mereka.
Memandang betapa pentingnya keterlibatan
semua anggota keluarga dalam pemberdayaan KBG, Konstitusi Pastoral tentang
Gereja dalam Dunia Dewasa ini menulis: “Kehadiran
aktif ayah sangat membantu pembinaan mereka, tetapi juga pengurusan rumah
tangga oleh ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu
dijamin, tanpa maksud supaya pengembangan sosial wanita yang sewajarnya
dikesampingkan”.[16] Kita
mengharapkan, keluarga sebagai Ecclesia
Domestica merupakan tempat yang kudus, karena di dalam keluarga
Allah sendiri hadir di tengah umat-Nya. Secara khusus dalam doa keluarga
digenapilah Sabda Tuhan yang mengajarkan bahwa jika dua atau tiga orang yang
bersekutu di dalam nama-Nya, Tuhan hadir (Mat. 18:20). “Tempat yang kudus” dalam keluarga tidak untuk
diartikan secara jasmani, di mana keluarga menyediakan tempat khusus untuk
berdoa; tetapi juga tempat kudus rohani, di mana keluarga bersama-sama
menerapkan iman, pengharapan dan kasih yang melibatkan pengorbanan dan
pemberian diri seturut teladan Kristus.[17] Dengan
menerapkan kasih dan pengorbanan, setiap anggota keluarga mengambil bagian
dalam kurban Kristus bagi pengudusan umat manusia dan turut mengambil bagian
dalam tugas Gereja menjadi sarana keselamatan.[18]
VI.
PENUTUP
Mari kita menegaskan bahwa keputusan untuk menikah bukan sebuah tindakan terburu-buru. Kita juga
mengetahui dengan baik bahwa perjanjian perkawinan antara dua orang dibaptis
diangkat ke martabat sakramen oleh Kristus Tuhan dan menjadi sakramen
Perjanjian Baru. Suami-isteri kristiani menjadi “Gereja Domestik”, “sel utama
dan vital masyarakat”.[19] Karena itu, bagi pasangan kristiani, perkawinan
sungguh-sungguh merupakan panggilan kepada status kehidupan yang istimewa dan
penuh rahmat Ilahi. Untuk dapat memahami dan menghidupi semuanya itu calon
pasangan membutuhkan katekese khusus. Dituntut persiapan yang memadai, agar
sungguh dapat menghasilkan kehidupan keluarga yang sehat dan subur yang sanggup
menghasilkan buah-buah kebaikan bagi Gereja dan masyarakat.
Ruang lingkup pastoral perkawinan itu amat luas sebagaimana
terungkap dalam GS, no. 52 yang antara lain menegaskan bahwa: “Termasuk tugas para imam, untuk [….] mendukung panggilan
suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral, pewartaan Sabda Allah, ibadat
liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan dalam keluarga mereka. Tugas
para imam pula, untuk dengan kebaikan hati dan dengan sabar meneguhkan mereka
di tengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih,
supaya terbentuklah keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh berpengaruh baik.”[20]
Pastoral perkawinan dan keluarga hendaknya selalu berpegang teguh pada asas “salus animarum supprema lex
est-keselamatan jiwa-jiwa atau kesejahteraan umat Allah adalah hukum yang
tertinggi”. Untuk mencapai
tujuan yang luhur tersebut para agen pastoral sungguh diharapkan memiliki
pemahaman yang benar akan norma-norma hukum yang ada. Dengan demikian tidak
mudah terjebak dalam sikap tidak serius dan improvisasi yang dapat menimbulkan
kerugian bagi umat Allah. Pastoral perkawinan hendaknya tidak sekedar mempersiapkan
pasangan untuk orang atau pasangan sampai pada perayaan liturgi perkawinan.
Akan tetapi hendaknya menjadi “pengawal” sejak awal persiapan hingga berakhir,
entah oleh kematian atau atas alasan lain yang legitim.
SINGKATAN
DAN ISTILAH
CiV : Caritas
in Veritate, Surat Ensiklik I Paus Benediktus XVI tentang perkembangan
umat manusia seutuhnya di dalam kasih dan kebenaran.
SC : Sacramentum Caritatis, Anjuran Apostolik, Paus
Benediktus XVI tentang Ekaristi sebagai sumber dan puncak
kehidupan serta persekutuan Gereja.
DV : Dei Verbum, Konsili
Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
Ilahi.
FC : Familiaris Consortio, Anjuran Apostolik Paus
Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Katolik dalam Dunia Modern.
GS :
Gaudium et Spes, Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini.
HIV/Aids : Human Immunodeficiency
Virus, yaitu virus yang melemahkan sistem kekebalan tubuh manusia. Aids (Acquired immunodeficiency syndromes) yakni sekumpulan gejala yang timbul akibat melemahnya
sistem kekebalan tubuh karena infeksi HIV.
LG :
Lumen Gentium, Konsili
Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Gereja.
GE : Gravissimum Educationis, Konsili Vatikan II, Pernyataan
tentang Pendidikan Kristen
AA : Apostolicam Actuositatem, Konsili Vatikan II, Dekrit
tentang Kerasulan Awam.
TMA : Tertio
Millennio Adveniente, Surat Apostolik Paus Yohanes Paulus II dalam menyongsong milenium ketiga.
KGK : Katekismus Gereja Katolik, terjemahan P. Herman Embuiru, SVD
SAGKI : Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia,
yaitu sidang 5 (lima) tahunan yang dihadiri oleh Para Bapak Uskup bersama para
imam, biarawan/wati dan utusan umat dari masing-masing keuskupan di seluruh
wilayah Indonesia.
[1] Bdk. FC.
49-50.
[2] Bdk. Dokumen Sinode VI, Rumpun Communio nomor 4,5,13 (Sekpas: Larantuka, 2013).
[3] Ibid., Rumpun Missio no.5.
[4] KHK 1055. Lihat juga FC.13.
[5] LG.11
[6] FC.49-50.
[7] Bdk. Rumusan Akhir
Sinode/PUKKEL VI, no. 8 & 11.
[8] Bdk. Ibid., no. 11 & 12.
[9] FC.49.
[10] LG.1.
[11] GS.48.
[12] Ibid.
[13] Konferensi
Waligereja Indonesia, Pedoman
Pastoral Keluarga KWI,(Jakarta: OBOR 2011), No.17.
[14] SC. 79.
[15] EG.1.
[16] GS.52.
[17] FC.49.
[18] LG.1.
[19] AA. 11.
[20] GS. 52