Dewasa ini, dengan falsafah pendidikan yang kian
terbuka dan porsi murid non-Katolik yang demikian besar, dapat dikatakan bahwa
tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Gereja adalah mencerdaskan
anak-anak bangsa dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Pewartaan iman Katolik
tetap diperhatikan, namun tidak lagi menjadi yang dominan. Gereja mengambilbagian
aktif dalam merealisasikan tujuan negara Indonesia dan menafsir pelayanan pendidikan
sebagai bagian dari usaha besar untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan
menumbuhkan ketrampilan dasar atau keahlian khusus bagi manusia-manusia muda
Indonesia.
Pergeseran ini merupakan upaya kreatif
lembaga-lembaga pendidikan yang diasuh Gereja dalam menanggapi permasalahan
yang muncul dalam kaitan dengan bidang pelayanan khusus ini. Namun, upaya
kreatif ini belum efektif menangkal kenyataan menurunnya jumlah siswa dan
mahasiswa yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Katolik, termasuk yang
dikelola tarekat-tareka religius. Data yang disampaikan Komisi Pendidikan KWI
pada Sidang Tahunan KWI 2008 yang mendiskusikan secara khusus masalah
pendidikan menunjukkan penurunan jumlah siswa yang belajar pada sekolah-sekolah
Katolik sebanyak 20.355 orang dari tahun 2003 hingga 2008. Dalam kurun waktu
yang sama, jumlah mahasiwa yang belajar pada lembaga pendidikan Katolik pun
menurun sebanyak 17.106 orang. Sebagian penurunan ini terjadi juga di
sekolah-sekolah yang dikelola tarekat-tarekat religius. Hanya sebagai contoh,
Yayasan Sang Timur (PIJ) mengalami penurunan sebanyak 1.330 siswa dalam kurun
waktu dari 2003 sampai 2008, Yayasan Tarakanita sebanyak 3.227, Yayasan
Perkumpulan Dharmaputri sebanyak 1.464 siswa.[1]
1 Makna teologis pendidikan
Kitab Suci menggunakan kata mendidik sebagai model
pendekatan Tuhan terhadap umat-Nya. Dalam Kitab Ulangan tertulis: “Dari sana
engkau harus sadar bahwa Tuhan, Allahmu, mendidik engkau, seperti seorang bapa
mendidik anaknya.” (8:5). Maksudnya, Tuhan mempunyai tujuan yang baik bagi
manusia, dan untuk mencapai tujuan ini Tuhan menempuh proses pendidikan. Tuhan
yang mendidik bukan Tuhan yang secepatnya mau mendapat hasil, tetapi yang masuk
ke dalam proses pendidikan yang sering sulit dan mengecewakan. Hal yang sama ditegaskan
lagi dalam surat Paulus kepada Titus: “Ia (rahmat Tuhan) mendidik kita supaya
kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita
hidup bijaksana, adil dan beribada dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12).
Dalam teologi Kristen, Yesus dilihat sebagai imam,
nabi atau guru dan gembala. Yesus adalah nabi atau guru yang mewartakan pesan
Allah dan mengajarkan manusia untuk mematuhi kehendak Allah tersebut. Dan
melalui pembaptisan, setiap orang Kristen mengambil bagian dalam ketiga tugas
tersebut. Dengan demikian pendidikan menjadi bagian utuh dari kekristenan.
“Gravissimum Educationis”, Pernyataan Tentang
Pendidikan sebagai satu dokumen dari Konsili Vatikan II, menunjukkan lebih
lanjut paham Gereja tentang pendidikan. Pendidikan diakui sebagai hal “yang
sangat penting dalam hidup manusia” (Pendahuluan). Kenapa demikian? Konsili
memberikan pendasaran dengan merujuk pada hak asasi setiap manusia untuk
mendapatkan pendidikan. “Semua orang dari suku, kondisi atau usia mana pun jua,
berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, mempunyai hak yang tak dapat
diganggugugat atas pendidikan” (1). Salah satu hal menarik dari pernyataan
pendasaran ini adalah bahwa Gereja menegaskan hak atas pendidikan dari mereka
yang mengalami cacad fisik dan psikis. Dalam kondisi manapun, setiap orang
mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan.
Gereja berpandangan, bahwa keselamatan yang
diwartakan Kristus dan yang disaksikannya dalam sejarah, merupakan keselamatan
manusia seutuhnya. Artinya, keselamatan yang mencakupi pula dimensi
keduniawian. Perkembangan dunia dan perbaikan kualitas hidup manusia adalah
bagian utuh dari keselamatan. Termasuk dalam dimensi keduaniawian ini adalah
kesadaran dan kebutuhan untuk berperanserta dalam kehidupan bersama. Konsili
mengatakan, “Sebab orang-orang makin menyadari martabat maupun tugas kewajiban
mereka sendiri, dan ingin berperan serta aktif dalam kehidupan sosial, terutama
di bidang ekonomi dan politik” (pendahuluan). Dan pendidikan merupakan jalan
untuk mendapatkan akses tersebut. Itulah sebabnya, Gereja melihat sebagai tugas
dan panggilannya untuk “berperanserta dalam pengembangan dan perluasan
pendidikan” (pendahuluan). Pendidikan bermakna teologis sebagai dia menunjukkan
rasa hormat kita terhadap martabat luhur manusia dan memungkinkan orang untuk
mengalami keselamatan dalam artinya yang menyeluruh.
Ideal pendidikan Katolik dirumuskan sebagai usaha
sadar dalam mendampingi setiap orang, terutama anak-anak dan kaum remaja agar
mereka “setapak demi setapak mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian
penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan
saksama mengembangkan hidup mereka sendiri. Sambil mengatasi hambatan-hambatan
dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, mereka akan mencapai kebebasan yang
sejati. Hendaknya seiring dengan bertambahnya umur mereka menerima pendidikan
seksualitas yang bijaksana. Kecuali itu, hendaknya mereka dibina untuk
melibatkan diri dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga dibekali
upaya-upaya seperlunya yang sungguh menunjang, mereka mampu berintegrasi secara
aktip dalam pelbagai kelompok rukun manusiawi, makin terbuka terbuka berkat
pertukaran pandangan dengan saksama, dan dengan sukarela ikut mengusahakan
peningkatan kesejahteraan umum.”
Dari rumusan ini dapat dibaca gambaran ideal manusia
dari perspektif Katolik. Kita dapat sebutkan beberapa ciri berikut. Pertama, melalui pendidikan kita hendak
membantu orang untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Apa artinya?
Bertanggungjawab berarti tahu apa yang menjadi tugasnya, mau dan mampu melaksanakan
tugas tersebut. Dalam perumpamaan tentang para hamba yang mendapat talenta
Yesus berbicara sebenarnya mengenai tanggungjawab. Hamba yang tidak
bertanggungjawab adalah dia yang tahu apa yang harus dibuat dan sebenarnya
mampun, tetapi tidak mau melakukan kewajibannya. Selain itu, bertanggungjawab
berarti pula berani menerima risiko dari sebuah tindakan. Di dalam dunia dewasa
ini, tanggungjawab ini menjadi satu keprihatinan besar, karena kita berhadapan
dengan semakin banyak warga dan umat yang tidak atau kurang bertanggungjawab.
Tidak sedikit orang yang tidak melihat apa yang menjadi kewajibannya karena
terobsesi pada hak-haknya. Kelalaian melaksanakan kewajiban dibenarkan dengan
berbagai alasan. Orang mau mendapat hasil tanpa bekerjakeras dan jujur. Tentu
saja, supaya pendidikan di sekolah dapat menghasilkan manusia yang
bertanggungjawab, kita perlukan para guru yang sungguh bertanggungjawab.
Kedua,
pribadi yang percaya diri. Pendidikan dalam arti kata Latinnya, educare, artinya mengantar keluar. Antar
orang keluar dari penjara ketakutan kepada sikap percaya diri. Karena
pendidikan orang yang dari keluarga miskin atau dari daerah terbekelakang bisa
tampil sejajar malah melampaui anak-anak dari keluarga kaya dan dari perkotaan.
Dalam arti ini pendidikan yang benar sungguh-sungguh membebaskan dan membawa
kesetaraan.
Percaya diri harus dibedakan dari kesombongan.
Seperti dikatakan dokumen Konsili Vatikan II tadi, orang yang percaya diri
adalah orang yang berusaha mengembangkan diri mengatasi tantangan-tantangan
dalam hidup. Dalam bahasa yang lebih populer, kita dapat katakan, orang yang
percaya diri adalah orang tahu diri, tahu bawa diri dan tahu harga diri.
Percaya diri yang sehat merupakan satu keutamaan
yang sangat diperlukan dalam dunia global dewasa ini. Seperti dikatakan dokumen
Konsili Vatikan II, pendidikan membuka peluang bagi setiap orang untuk turut
dalam interaksi antarbangsa dan antarbudaya. Menghadapi arus globalisasi, kita
perlu menanamkan rasa percaya diri personal, kultural dan religius. Orang perlu
dididik untuk tidak takut dan malu menjadi penganut agama tertentu dan berasal
dari budaya tertentu. Di sini pendidikan kebudayaan menjadi satu hal yang
sangat mendesak. Hanya dengan ini kita tidak mudah “ikut arus”, ramai-ramai
melakukan atau bersikap secara tertentu karena hal itu menjadi mode.
Ketiga,
kedewasaan seksual. Gereja mengharapkan agar pendidikan mengenai seksualitas
diberikan di sekolah-sekolah sesuai dengan tingkatannya. Setiap orang perlu
menyadari dan menrima seksualitas sebagai satu realitas manusia yang utuh dan
bertanggungjawab menghidupi seksualitas ini. Termasuk dalam hal ini adalah
kesadaran akan kesetaraan gender. Melalui pendidikan di sekolah perlu
ditanamkan kesadaran dan kebiasaan untuk saling menghargai sebagai sesama yang
sejajar antara laki-laki dan perempuan. Banyak kasus kekerasan rumah tangga
dapat diatasi apabila pendidikan seksual dan kesetaraan gender ini sungguh
diperhatikan di lembaga-lembaga pendidikan.
Keempat, dialogal
dan solider. Gereja menekankan pentingnya sikap, kemampuan dan kemauan untuk
terlibat dalam kehidupan bersama. Orang-orang yang terdidik tidak boleh menjadi
manusia tertutup yang tidak tahu bergaul dan menjauhkan diri dari masyarakat. Seorang
Katolik yang baik tidak menjadi kudus untuk dirinya sendiri dan hanya untuk
kalangan sendiri. Melalui lembaga pendidikan yang mempertemukan anak-anak dari
berbagai latar belakang status ekonomi, budaya dan agama, keterbukaan dan sikap
bela rasa mempunyai peluang untuk ditumbuhkan.
Selain keempat ciri di atas, dalam sejarah
pendidikannya peran Gereja Katolik dalam pendidikan dikenal karena dua hal
berikut. Yang pertama adalah
disiplin. Di depan sudah dikatakan, bahwa pada pengikuti Yesus disebut sebagai
murid, atau dalam versi bahasa Latin: discipulus
(Inggris: disciple). Kata ini berkaitan erat dengan disiplin. Ciri seorang
murid adalah disiplin. Kita dapat memahami disiplin sebagai kemampuan untuk
mengarahkan seluruh potensi diri, waktu dan relasi untuk mencapai tujuan
tertentu. Seorang atlet mendisiplinkan dirinya, artinya mengatur pola makan,
waktu latihan dan istirahat, mengurangi pesta dan kunjungan, karena hendak
memenangkan sebuah pertandingan. Seorang siswa yang hendak lulus ujian harus
atur waktu belajar, batasi piknik dan nonton televisi, asah ingatan dan daya
nalar.
Ada empat aspek disiplin yang perlu diperhatikan
dalam pendidikan berdasarkan perspektif Katolik. Pertama, disiplin waktu. Kita
sadar dan mengakui bahwa waktu adalah milik Tuhan dan diberikan kepada kita
sebagai talenta yang mesti digunakan agar bermanfaat. Kita perlu mendidik
anak-anak kita agar menjadi manusia yang tahu hargai dan gunakan waktu. Kedua,
disiplin berbicara. Lidah memang tanpa tulang, sering membual janji dan
menyebar kebohongan. Santo Yakobus sudah mengingatkan: “Lihatlah, betapapun
kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidah pun adalah api; ia
merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota
tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda
kehidupan kita” (Yak 3:5a-6). Ketiga, disiplin pergaulan. Kita mendidik orang
agar tahu membawa diri dalam pergaulan, menghormati orang lain.
Hal kedua yang mencirikan pendidikan Katolik adalah
perhatiannya pada dimensi seni dan budaya. Tujuan pendidikan Katolik adalah
menghasilkan manusia yang berilmu dan berbudaya. Penghargaan terhadap
kebudayaan merupakan bagian penting dari kekristenan. Menggali nilai-nilai
kemanusiaan yang universal dari budaya dan berani mengkritik elemen-elemen
budaya yang memenjarakan sekelompok warga mesti mendapat tempat dalam
pendidikan Katolik. Dalam hal ini kita berbicara mengenai pentingnya seni
sastra dalam pendidikan Katolik. Sastra tidak hanya
menjadi komoditi mahal bagi sejumlah orang, tetapi perlu
dimasyarakatkan, karena melaluinya ketajaman rasa diperdalam dan pengalihan
nilai melalui penampilan figur-figur terlaksana. Pergumulan dengan sastra
merupakan sebuah bentuk pendidikan yang menggunakan model tokoh. Analisis atas
tokoh membantu internalisasi nilai dan penajaman kesanggupan untuk
memantau masyarakat.
2.
Tantangan bagi
Perenan Gereja dalam Dunia Pendidikan Dewasa ini
Semua hal di atas masih relatif mudah dilakukan
ketika kondisi pendidikan masih kuat dikendalikan oleh Gereja Katolik. Dewasa
ini peran Gereja Katolik ditantang secara serius. Komisi Pendidikan KWI
menyebut tujuh hal sebagai akar persoalan yang tengah dihadapi pendidikan
Katolik di Indonesia. Yang pertama
adalah aspek filosofi pendidikan, termasuk di sana masalah orientasi nilai dan
tujuan lembaga pendidikan Katolik. Kedua,
aspek pastoral yang mencakup antara lain masalah persaingan tidak sehat antara
lembaga pendidikan Katolik dan lemahnya peran koordinatif komisi pendidikan
pada tingkat Keuskupan. Ketiga, aspek politik
pendidikan, termasuk antara isu sekolah gratis dan “gerakan” menjauhi sekolah
Katolik. Keempat, aspek manajemen yang mencakup masalah lemahnya jejaring dan
manajemen kepegawaian. Kelima, aspek
SDM, termasuk di antaranya kurangnya profesionalisme dan kentalnya budaya
mapan. Keenam, aspek finansial, yang
diuraikan dalam antara lain masalah kurangnya uang dan prasarana serta lemahnya
penerapan subsidi silang dan solidaritas. Terakhir,
aspek demografi, termasuk di dalamnya masalah pemukiman keluarga baru dan
keberhasilan program KB.[2]
Dari ketujuh akar persoalan
ini, saya hendak menyoroti tiga di antaranya, yakni masalah keuangan, masalah
falsafat pendidikan dan masalah regulasi pemerintah. Permasalahan atau
tantangan pertama adalah persoalan keuangan. Pada masa penjajahan Belanda,
sebagai hasil dari negosiasi pimpinan Gereja dengan pemerintah kolonial
Belanda, dicapai kesepakatan bahwa sekolah-sekolah Katolik mendapat subsidi
dari pemerintah Belanda.[3] Praktik ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia
setelah kemerdekaan. Namun, karena keterbatasan dana, subsidi dari pemerintah
semakin dikurangi dan dibatasi pada sekolah-sekolah yang telah didirikan sebelum
kemerdekaan. Sekolah-sekolah baru harus mencari sumber keuangan sendiri.
Kenyataan ini menuntut Gereja untuk secara serius
memperhatikan aspek pendanaan lembaga-lembaga pendidikan yang diasuhnya. Prinsip
penyelenggaraan pendidikan sebagai karya sosial-karitatip digeser oleh
pertimbangan keuangan. Di wilayah perkotaan, dengan kredibilitas yang diakui
sebagai sekolah bermutu, lembaga-lembaga pendidikan milik Gereja tidak
menemukan banyak masalah keuangan. Sekolah-sekolah ini malah terkesan elitis
karena memprioritaskan murid yang memiliki kesanggupan membayar yang tinggi.
Persoalan menjadi rumit di wilayah pedalaman, yang mestinya menjadi pusat
keprihatinan. Sistem subsidi silang yang diterapkan sejumlah yayasan pendidikan
milik tarekat religius adalah langkah yang diambil untuk menjembantani
kesulitan keuangan bagi penyelenggaraan pendidikan di wilayah yang miskin.
Sistem ini pernah terancam secara serius oleh kehadiran UU Badan Hukum
Pendidikan yang menekankan pengaturan keuangan berbasis satuan pendidikan.
Karena itu, lembaga-lembaga pendidikan milik tarekat merasa lega ketika
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU ini.
Walaupun demikian, masalah keuangan tetap merupakan
sebuah tantangan bagi Gereja dalam mengelola sekolah-sekolah. Pendidikan yang
baik membutuhkan biaya yang besar. Membebankan keseluruhan biaya pada keluarga
murid, khususnya di daerah-daerah miskin, dapat merupakan pengingkaran terhadap
komitmen pemihakan bagi warga miskin dan daerah terpinggirkan.
Dalam kondisi seperti ini, tantangan lain yang harus
dihadapi oleh sekolah-sekolah Katolik miliki Gereja lokal atau asuhan
lembaga-lembaga hidup bakti adalah mendefinisikan misinya dalam karya
pendidikan. Ketika sekolah-sekolah lebih merupakan lembaga pencerdasan anak
bangsa, apakah keunggulannya terletak pada kecerdasan intelektual yang tak
tersaingi atau kepribadian yang dibanggakan karena memiliki kepekaan sosial?
Bagaimana menanamkan pemihakan terhadap orang kecil yang menjadi inti Injil,
dapat dilaksanakan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Gereja dan
lembaga-lembaganya? Tuntutan penyelenggaraan pendidikan yang profesional yang
harus memenuhi sejumlah syarat dari pemerintah dan persaingan ketat dari
lembaga-lembaga lain dapat menyita bagian terbesar waktu, tenaga dan
fasilisitas pendidikan sehingga menjadi semakin sulit untuk merancang dan
melaksanakan dengan baik pewarisan nilai belarasa.
Anita Li merumuskan secara tajam persoalan ini.
“Proses educare hanya menjadi jargon.
Yang terjadi justru penjelmaan LPK (Lembaga Pendidikan Katolik) menjadi pabrik
yang mencetak komponen-komponen industri. Karena kekeliruan menerjemahkan tugas
perutusannya, LPK pun menjadi kedodoran dalam mencetak komponen-komponen yang
dianggap pas dan tidak bisa bersaing dengan lembaga lain yang memagn sejak
semula diciptakan untuk tujuan industry termasuk lembaga-lembnaga pengajaran
maupun produk-produk teknologi informasi dan komunikasi.”[4]
Persoalan tidak dapat dijawab hanya oleh
masing-masing lembaga pendidikan. Komisi Pendidikan dan Majelis Nasional
Pendidikan Katolik (MNPK) yang dibentuk oleh KWI dan yang memiliki perwakilan
di setiap keuskupan merupakan satu lembaga penting untuk mewadahi kerjasama
antarsekolah-sekolah Katolik. TNamun, sebagaimana diungkapkan dalam laporan
Komisi Pendidikan KWI belum berfungsi optimal, khususnya pada tingkat
keuskupan.
Tantangan ketiga yang harus dihadapi lembaga-lembaga
pendidikan yang dikelola Gereja, sebagaimana lembaga-lembaga swasta lainnya di
Indonesia, adalah persoalan etatisme. Negara
hendak mengatur sampai hal yang sangat pribadi dalam kaitan dengan pendidikan.
Salah satu contoh etatisme adalah UU Sisdiknas Thn 2003 yang menetapkan
kewenangan negara untuk mengatur mata
pelajaran agama bagi para murid yang mengikuti pendidikan di setiap sekolah. Penyelenggara
pendidikan tidak memiliki hak untuk mengatur sesuatu yang bersifat khas.
Regulasi negara pun masih tetap mengutamakan sekolah-sekolah negeri. Memang
sejumlah perubahan ke arah perlakuan yang setara telah terjadi, namun belum
sepenuhnya terwujud. Menurut laporan Komisi Pendidikan KWI, subsidi PNS ke
lembaga-lembaga pendidikan Katolik menurun drastis.[5] Selain
itu, regulasi dana bantuan operasional sekolah tidak selalu mendatangkan
keuntungan bagi sekolah-sekolah kelolaan Gereja, sebab bersamaan dengan program
tersebut meluas isu pendidikan gratis yang mempersulit sekolah-sekolah swasta
memungut tambahan biaya dari orangtua/wali murid.
Menghadapi semua
kesulitan ini, Gereja yang hendak tetap setia pada amanat Guru-Nya tidak dapat
menyerah dan meninggalkan kerasulan pendidikan. Peran Gereja tetap dibutuhkan. Ada
beberapa hal yang menurut saya tetap perlu diperhatikan Gereja. Pertana, Gereja
tidak perlu lagi memperbanyak jumlah sekolah, sekadar mendirikan sekolah. Yang
lebih utama adalah menjaga nilai pendidikan, agar sekolah-sekolah Katolik dapat
menjadi satu model contras dari kondisi pendidikan umumnya di Indonesia yang
kian terpuruk. Kedua, berkonsentrasi pada pendidikan informal dan kejuruan. Di
tengah orientasi pendidikan yang serba teoretis mengawang, kita butuhkan secara
sadar komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan kejuruan yang lebih
profesional. Ketiga, mendirikan asrama dan menjalankan pastoral asrama-asrama.
Keempat, menjadi penyumbang gagasan-gagasan kritis-kontruktif bagi dunia
pendidikan.
Penutup
Pendidikan merupakan satu hal yang mendasar bagi
manusia, dan menurut keyakinan kristiani, manusia adalah gambar diri Allah. Kita
menemukan dan mencintai Allah dengan mengenal dan mencintai manusia. Mencintai
manusia berarti menolong agar orang dapat berkembang sebagai manusia yang utuh
dan memanfaatkan potensi dirinya demi kebagiaan diri dan kemajuan bersama.
Itulah peran pendidikan. Sebab itu, Gereja sudah selalu menaruh perhatian pada
kerasulan pendidikan. Perubahan waktu yang membawa serta perubahan kondisi
tentu saja mengharuskan Gereja untuk memikirkan dan menentukan secara baru
perannya dalam kerasulan pendidikan. Penentuan baru itu tidak datang
sendirinya. Kita mesti meluangkan waktu dan tenaga untuk memikirkan bersama
perubahan peran ini. Kesempatan perayaan ulang tahun sebuah lembaga pendidikan
Katolik merupakan kesempatan baik untuk refleksi semacam ini. Terima kasih dan
Prificiat untuk SDK Lebao Tengah I yang merayakan pesta seabad berdirinya, dan
untuk Paroki San Juan pada perayaan ulang tahunnya yang ke-60 tahun.
[1] Heribertus Sumarja, FIC, “Keadaan Lembaga Pendidikan Katolik”, dalam Spektrum XXXVII (2009), hlm.
40-41.Yayasan-yayasan persekolahan yang disebutkan dalam daftar ini hamper
semuanya milik tarekat-tarekat di Jawa, padahal di wilayah-wilayah lain di
Indonesia terdapat banyak tarekat yang menyelenggarakan kerasulan pendidikan.
[2] Ibid., hlm. 41-43.
[3] Bdk. G. Vriens, Sejarah Gereja
Katolik Indonesia, Jilid 2, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan
KWI, 1972, hlm. 144; Eduard Jebarus, Sejarah
Persekolahan di Flores, Maumere:Ledalero, 2008, hlm. 49-53.
[4] Anita Le, “Menyelamatkan Lembaga Pendidikan Katolik dari Keterpurukan:
Analisis dan Usulan Pemecahan Persoalan”, dalam Spektrum XXXVII (2009), hlm.
74.
[5] Heribertus Sumarja, FIC, op.cit.,
hlm. 43.