Sabtu, 25 Januari 2020

PERAN GEREJA DALAM DUNIA PENDIDIKAN (2)

BY Paroki San Juan IN


Dewasa ini, dengan falsafah pendidikan yang kian terbuka dan porsi murid non-Katolik yang demikian besar, dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Gereja adalah mencerdaskan anak-anak bangsa dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Pewartaan iman Katolik tetap diperhatikan, namun tidak lagi menjadi yang dominan. Gereja mengambilbagian aktif dalam merealisasikan tujuan negara Indonesia dan menafsir pelayanan pendidikan sebagai bagian dari usaha besar untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan menumbuhkan ketrampilan dasar atau keahlian khusus bagi manusia-manusia muda Indonesia.

Pergeseran ini merupakan upaya kreatif lembaga-lembaga pendidikan yang diasuh Gereja dalam menanggapi permasalahan yang muncul dalam kaitan dengan bidang pelayanan khusus ini. Namun, upaya kreatif ini belum efektif menangkal kenyataan menurunnya jumlah siswa dan mahasiswa yang belajar pada lembaga-lembaga pendidikan Katolik, termasuk yang dikelola tarekat-tareka religius. Data yang disampaikan Komisi Pendidikan KWI pada Sidang Tahunan KWI 2008 yang mendiskusikan secara khusus masalah pendidikan menunjukkan penurunan jumlah siswa yang belajar pada sekolah-sekolah Katolik sebanyak 20.355 orang dari tahun 2003 hingga 2008. Dalam kurun waktu yang sama, jumlah mahasiwa yang belajar pada lembaga pendidikan Katolik pun menurun sebanyak 17.106 orang. Sebagian penurunan ini terjadi juga di sekolah-sekolah yang dikelola tarekat-tarekat religius. Hanya sebagai contoh, Yayasan Sang Timur (PIJ) mengalami penurunan sebanyak 1.330 siswa dalam kurun waktu dari 2003 sampai 2008, Yayasan Tarakanita sebanyak 3.227, Yayasan Perkumpulan Dharmaputri sebanyak 1.464 siswa.[1]

1    Makna teologis pendidikan
Kitab Suci menggunakan kata mendidik sebagai model pendekatan Tuhan terhadap umat-Nya. Dalam Kitab Ulangan tertulis: “Dari sana engkau harus sadar bahwa Tuhan, Allahmu, mendidik engkau, seperti seorang bapa mendidik anaknya.” (8:5). Maksudnya, Tuhan mempunyai tujuan yang baik bagi manusia, dan untuk mencapai tujuan ini Tuhan menempuh proses pendidikan. Tuhan yang mendidik bukan Tuhan yang secepatnya mau mendapat hasil, tetapi yang masuk ke dalam proses pendidikan yang sering sulit dan mengecewakan. Hal yang sama ditegaskan lagi dalam surat Paulus kepada Titus: “Ia (rahmat Tuhan) mendidik kita supaya kita meninggalkan kefasikan dan keinginan-keinginan duniawi dan supaya kita hidup bijaksana, adil dan beribada dalam dunia sekarang ini” (Tit 2:12).

Dalam teologi Kristen, Yesus dilihat sebagai imam, nabi atau guru dan gembala. Yesus adalah nabi atau guru yang mewartakan pesan Allah dan mengajarkan manusia untuk mematuhi kehendak Allah tersebut. Dan melalui pembaptisan, setiap orang Kristen mengambil bagian dalam ketiga tugas tersebut. Dengan demikian pendidikan menjadi bagian utuh dari kekristenan.

“Gravissimum Educationis”, Pernyataan Tentang Pendidikan sebagai satu dokumen dari Konsili Vatikan II, menunjukkan lebih lanjut paham Gereja tentang pendidikan. Pendidikan diakui sebagai hal “yang sangat penting dalam hidup manusia” (Pendahuluan). Kenapa demikian? Konsili memberikan pendasaran dengan merujuk pada hak asasi setiap manusia untuk mendapatkan pendidikan. “Semua orang dari suku, kondisi atau usia mana pun jua, berdasarkan martabat mereka selaku pribadi, mempunyai hak yang tak dapat diganggugugat atas pendidikan” (1). Salah satu hal menarik dari pernyataan pendasaran ini adalah bahwa Gereja menegaskan hak atas pendidikan dari mereka yang mengalami cacad fisik dan psikis. Dalam kondisi manapun, setiap orang mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan.

Gereja berpandangan, bahwa keselamatan yang diwartakan Kristus dan yang disaksikannya dalam sejarah, merupakan keselamatan manusia seutuhnya. Artinya, keselamatan yang mencakupi pula dimensi keduniawian. Perkembangan dunia dan perbaikan kualitas hidup manusia adalah bagian utuh dari keselamatan. Termasuk dalam dimensi keduaniawian ini adalah kesadaran dan kebutuhan untuk berperanserta dalam kehidupan bersama. Konsili mengatakan, “Sebab orang-orang makin menyadari martabat maupun tugas kewajiban mereka sendiri, dan ingin berperan serta aktif dalam kehidupan sosial, terutama di bidang ekonomi dan politik” (pendahuluan). Dan pendidikan merupakan jalan untuk mendapatkan akses tersebut. Itulah sebabnya, Gereja melihat sebagai tugas dan panggilannya untuk “berperanserta dalam pengembangan dan perluasan pendidikan” (pendahuluan). Pendidikan bermakna teologis sebagai dia menunjukkan rasa hormat kita terhadap martabat luhur manusia dan memungkinkan orang untuk mengalami keselamatan dalam artinya yang menyeluruh.

Ideal pendidikan Katolik dirumuskan sebagai usaha sadar dalam mendampingi setiap orang, terutama anak-anak dan kaum remaja agar mereka “setapak demi setapak mencapai kesadaran bertanggungjawab yang kian penuh, dan kesadaran itu akan tampil dalam usaha terus menerus untuk dengan saksama mengembangkan hidup mereka sendiri. Sambil mengatasi hambatan-hambatan dengan kebesaran jiwa dan ketabahan hati, mereka akan mencapai kebebasan yang sejati. Hendaknya seiring dengan bertambahnya umur mereka menerima pendidikan seksualitas yang bijaksana. Kecuali itu, hendaknya mereka dibina untuk melibatkan diri dalam kehidupan sosial sedemikian rupa, sehingga dibekali upaya-upaya seperlunya yang sungguh menunjang, mereka mampu berintegrasi secara aktip dalam pelbagai kelompok rukun manusiawi, makin terbuka terbuka berkat pertukaran pandangan dengan saksama, dan dengan sukarela ikut mengusahakan peningkatan kesejahteraan umum.”

Dari rumusan ini dapat dibaca gambaran ideal manusia dari perspektif Katolik. Kita dapat sebutkan beberapa ciri berikut. Pertama, melalui pendidikan kita hendak membantu orang untuk menjadi pribadi yang bertanggungjawab. Apa artinya? Bertanggungjawab berarti tahu apa yang menjadi tugasnya, mau dan mampu melaksanakan tugas tersebut. Dalam perumpamaan tentang para hamba yang mendapat talenta Yesus berbicara sebenarnya mengenai tanggungjawab. Hamba yang tidak bertanggungjawab adalah dia yang tahu apa yang harus dibuat dan sebenarnya mampun, tetapi tidak mau melakukan kewajibannya. Selain itu, bertanggungjawab berarti pula berani menerima risiko dari sebuah tindakan. Di dalam dunia dewasa ini, tanggungjawab ini menjadi satu keprihatinan besar, karena kita berhadapan dengan semakin banyak warga dan umat yang tidak atau kurang bertanggungjawab. Tidak sedikit orang yang tidak melihat apa yang menjadi kewajibannya karena terobsesi pada hak-haknya. Kelalaian melaksanakan kewajiban dibenarkan dengan berbagai alasan. Orang mau mendapat hasil tanpa bekerjakeras dan jujur. Tentu saja, supaya pendidikan di sekolah dapat menghasilkan manusia yang bertanggungjawab, kita perlukan para guru yang sungguh bertanggungjawab.

Kedua, pribadi yang percaya diri. Pendidikan dalam arti kata Latinnya, educare, artinya mengantar keluar. Antar orang keluar dari penjara ketakutan kepada sikap percaya diri. Karena pendidikan orang yang dari keluarga miskin atau dari daerah terbekelakang bisa tampil sejajar malah melampaui anak-anak dari keluarga kaya dan dari perkotaan. Dalam arti ini pendidikan yang benar sungguh-sungguh membebaskan dan membawa kesetaraan.

Percaya diri harus dibedakan dari kesombongan. Seperti dikatakan dokumen Konsili Vatikan II tadi, orang yang percaya diri adalah orang yang berusaha mengembangkan diri mengatasi tantangan-tantangan dalam hidup. Dalam bahasa yang lebih populer, kita dapat katakan, orang yang percaya diri adalah orang tahu diri, tahu bawa diri dan tahu harga diri.

Percaya diri yang sehat merupakan satu keutamaan yang sangat diperlukan dalam dunia global dewasa ini. Seperti dikatakan dokumen Konsili Vatikan II, pendidikan membuka peluang bagi setiap orang untuk turut dalam interaksi antarbangsa dan antarbudaya. Menghadapi arus globalisasi, kita perlu menanamkan rasa percaya diri personal, kultural dan religius. Orang perlu dididik untuk tidak takut dan malu menjadi penganut agama tertentu dan berasal dari budaya tertentu. Di sini pendidikan kebudayaan menjadi satu hal yang sangat mendesak. Hanya dengan ini kita tidak mudah “ikut arus”, ramai-ramai melakukan atau bersikap secara tertentu karena hal itu menjadi mode.

Ketiga, kedewasaan seksual. Gereja mengharapkan agar pendidikan mengenai seksualitas diberikan di sekolah-sekolah sesuai dengan tingkatannya. Setiap orang perlu menyadari dan menrima seksualitas sebagai satu realitas manusia yang utuh dan bertanggungjawab menghidupi seksualitas ini. Termasuk dalam hal ini adalah kesadaran akan kesetaraan gender. Melalui pendidikan di sekolah perlu ditanamkan kesadaran dan kebiasaan untuk saling menghargai sebagai sesama yang sejajar antara laki-laki dan perempuan. Banyak kasus kekerasan rumah tangga dapat diatasi apabila pendidikan seksual dan kesetaraan gender ini sungguh diperhatikan di lembaga-lembaga pendidikan.
Keempat, dialogal dan solider. Gereja menekankan pentingnya sikap, kemampuan dan kemauan untuk terlibat dalam kehidupan bersama. Orang-orang yang terdidik tidak boleh menjadi manusia tertutup yang tidak tahu bergaul dan menjauhkan diri dari masyarakat. Seorang Katolik yang baik tidak menjadi kudus untuk dirinya sendiri dan hanya untuk kalangan sendiri. Melalui lembaga pendidikan yang mempertemukan anak-anak dari berbagai latar belakang status ekonomi, budaya dan agama, keterbukaan dan sikap bela rasa mempunyai peluang untuk ditumbuhkan.

Selain keempat ciri di atas, dalam sejarah pendidikannya peran Gereja Katolik dalam pendidikan dikenal karena dua hal berikut. Yang pertama adalah disiplin. Di depan sudah dikatakan, bahwa pada pengikuti Yesus disebut sebagai murid, atau dalam versi bahasa Latin: discipulus (Inggris: disciple). Kata ini berkaitan erat dengan disiplin. Ciri seorang murid adalah disiplin. Kita dapat memahami disiplin sebagai kemampuan untuk mengarahkan seluruh potensi diri, waktu dan relasi untuk mencapai tujuan tertentu. Seorang atlet mendisiplinkan dirinya, artinya mengatur pola makan, waktu latihan dan istirahat, mengurangi pesta dan kunjungan, karena hendak memenangkan sebuah pertandingan. Seorang siswa yang hendak lulus ujian harus atur waktu belajar, batasi piknik dan nonton televisi, asah ingatan dan daya nalar.

Ada empat aspek disiplin yang perlu diperhatikan dalam pendidikan berdasarkan perspektif Katolik. Pertama, disiplin waktu. Kita sadar dan mengakui bahwa waktu adalah milik Tuhan dan diberikan kepada kita sebagai talenta yang mesti digunakan agar bermanfaat. Kita perlu mendidik anak-anak kita agar menjadi manusia yang tahu hargai dan gunakan waktu. Kedua, disiplin berbicara. Lidah memang tanpa tulang, sering membual janji dan menyebar kebohongan. Santo Yakobus sudah mengingatkan: “Lihatlah, betapapun kecilnya api, ia dapat membakar hutan yang besar. Lidah pun adalah api; ia merupakan suatu dunia kejahatan dan mengambil tempat di antara anggota-anggota tubuh kita sebagai sesuatu yang dapat menodai seluruh tubuh dan menyalakan roda kehidupan kita” (Yak 3:5a-6). Ketiga, disiplin pergaulan. Kita mendidik orang agar tahu membawa diri dalam pergaulan, menghormati orang lain.

Hal kedua yang mencirikan pendidikan Katolik adalah perhatiannya pada dimensi seni dan budaya. Tujuan pendidikan Katolik adalah menghasilkan manusia yang berilmu dan berbudaya. Penghargaan terhadap kebudayaan merupakan bagian penting dari kekristenan. Menggali nilai-nilai kemanusiaan yang universal dari budaya dan berani mengkritik elemen-elemen budaya yang memenjarakan sekelompok warga mesti mendapat tempat dalam pendidikan Katolik. Dalam hal ini kita berbicara mengenai pentingnya seni sastra dalam pendidikan Katolik. Sastra tidak hanya menjadi komoditi mahal bagi sejumlah orang, tetapi perlu dimasyarakatkan, karena melaluinya ketajaman rasa diperdalam dan pengalihan nilai melalui penampilan figur-figur terlaksana. Pergumulan dengan sastra merupakan sebuah bentuk pendidikan yang menggunakan model tokoh. Analisis atas tokoh membantu internalisasi nilai dan penajaman kesanggupan untuk memantau masyarakat.

2.      Tantangan bagi Perenan Gereja dalam Dunia Pendidikan Dewasa ini
Semua hal di atas masih relatif mudah dilakukan ketika kondisi pendidikan masih kuat dikendalikan oleh Gereja Katolik. Dewasa ini peran Gereja Katolik ditantang secara serius. Komisi Pendidikan KWI menyebut tujuh hal sebagai akar persoalan yang tengah dihadapi pendidikan Katolik di Indonesia. Yang pertama adalah aspek filosofi pendidikan, termasuk di sana masalah orientasi nilai dan tujuan lembaga pendidikan Katolik. Kedua, aspek pastoral yang mencakup antara lain masalah persaingan tidak sehat antara lembaga pendidikan Katolik dan lemahnya peran koordinatif komisi pendidikan pada tingkat Keuskupan. Ketiga, aspek politik pendidikan, termasuk antara isu sekolah gratis dan “gerakan” menjauhi sekolah Katolik. Keempat, aspek manajemen yang mencakup masalah lemahnya jejaring dan manajemen kepegawaian. Kelima, aspek SDM, termasuk di antaranya kurangnya profesionalisme dan kentalnya budaya mapan. Keenam, aspek finansial, yang diuraikan dalam antara lain masalah kurangnya uang dan prasarana serta lemahnya penerapan subsidi silang dan solidaritas. Terakhir, aspek demografi, termasuk di dalamnya masalah pemukiman keluarga baru dan keberhasilan program KB.[2]

Dari ketujuh akar persoalan ini, saya hendak menyoroti tiga di antaranya, yakni masalah keuangan, masalah falsafat pendidikan dan masalah regulasi pemerintah. Permasalahan atau tantangan pertama adalah persoalan keuangan. Pada masa penjajahan Belanda, sebagai hasil dari negosiasi pimpinan Gereja dengan pemerintah kolonial Belanda, dicapai kesepakatan bahwa sekolah-sekolah Katolik mendapat subsidi dari pemerintah Belanda.[3] Praktik ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah kemerdekaan. Namun, karena keterbatasan dana, subsidi dari pemerintah semakin dikurangi dan dibatasi pada sekolah-sekolah yang telah didirikan sebelum kemerdekaan. Sekolah-sekolah baru harus mencari sumber keuangan sendiri.

Kenyataan ini menuntut Gereja untuk secara serius memperhatikan aspek pendanaan lembaga-lembaga pendidikan yang diasuhnya. Prinsip penyelenggaraan pendidikan sebagai karya sosial-karitatip digeser oleh pertimbangan keuangan. Di wilayah perkotaan, dengan kredibilitas yang diakui sebagai sekolah bermutu, lembaga-lembaga pendidikan milik Gereja tidak menemukan banyak masalah keuangan. Sekolah-sekolah ini malah terkesan elitis karena memprioritaskan murid yang memiliki kesanggupan membayar yang tinggi. Persoalan menjadi rumit di wilayah pedalaman, yang mestinya menjadi pusat keprihatinan. Sistem subsidi silang yang diterapkan sejumlah yayasan pendidikan milik tarekat religius adalah langkah yang diambil untuk menjembantani kesulitan keuangan bagi penyelenggaraan pendidikan di wilayah yang miskin. Sistem ini pernah terancam secara serius oleh kehadiran UU Badan Hukum Pendidikan yang menekankan pengaturan keuangan berbasis satuan pendidikan. Karena itu, lembaga-lembaga pendidikan milik tarekat merasa lega ketika Mahkamah Konstitusi membatalkan UU ini.

Walaupun demikian, masalah keuangan tetap merupakan sebuah tantangan bagi Gereja dalam mengelola sekolah-sekolah. Pendidikan yang baik membutuhkan biaya yang besar. Membebankan keseluruhan biaya pada keluarga murid, khususnya di daerah-daerah miskin, dapat merupakan pengingkaran terhadap komitmen pemihakan bagi warga miskin dan daerah terpinggirkan.

Dalam kondisi seperti ini, tantangan lain yang harus dihadapi oleh sekolah-sekolah Katolik miliki Gereja lokal atau asuhan lembaga-lembaga hidup bakti adalah mendefinisikan misinya dalam karya pendidikan. Ketika sekolah-sekolah lebih merupakan lembaga pencerdasan anak bangsa, apakah keunggulannya terletak pada kecerdasan intelektual yang tak tersaingi atau kepribadian yang dibanggakan karena memiliki kepekaan sosial? Bagaimana menanamkan pemihakan terhadap orang kecil yang menjadi inti Injil, dapat dilaksanakan di sekolah-sekolah yang dikelola oleh Gereja dan lembaga-lembaganya? Tuntutan penyelenggaraan pendidikan yang profesional yang harus memenuhi sejumlah syarat dari pemerintah dan persaingan ketat dari lembaga-lembaga lain dapat menyita bagian terbesar waktu, tenaga dan fasilisitas pendidikan sehingga menjadi semakin sulit untuk merancang dan melaksanakan dengan baik pewarisan nilai belarasa.

Anita Li merumuskan secara tajam persoalan ini. “Proses educare hanya menjadi jargon. Yang terjadi justru penjelmaan LPK (Lembaga Pendidikan Katolik) menjadi pabrik yang mencetak komponen-komponen industri. Karena kekeliruan menerjemahkan tugas perutusannya, LPK pun menjadi kedodoran dalam mencetak komponen-komponen yang dianggap pas dan tidak bisa bersaing dengan lembaga lain yang memagn sejak semula diciptakan untuk tujuan industry termasuk lembaga-lembnaga pengajaran maupun produk-produk teknologi informasi dan komunikasi.”[4]

Persoalan tidak dapat dijawab hanya oleh masing-masing lembaga pendidikan. Komisi Pendidikan dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik (MNPK) yang dibentuk oleh KWI dan yang memiliki perwakilan di setiap keuskupan merupakan satu lembaga penting untuk mewadahi kerjasama antarsekolah-sekolah Katolik. TNamun, sebagaimana diungkapkan dalam laporan Komisi Pendidikan KWI belum berfungsi optimal, khususnya pada tingkat keuskupan.

Tantangan ketiga yang harus dihadapi lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola Gereja, sebagaimana lembaga-lembaga swasta lainnya di Indonesia, adalah persoalan etatisme. Negara hendak mengatur sampai hal yang sangat pribadi dalam kaitan dengan pendidikan. Salah satu contoh etatisme adalah UU Sisdiknas Thn 2003 yang menetapkan kewenangan negara untuk  mengatur mata pelajaran agama bagi para murid yang mengikuti pendidikan di setiap sekolah. Penyelenggara pendidikan tidak memiliki hak untuk mengatur sesuatu yang bersifat khas. Regulasi negara pun masih tetap mengutamakan sekolah-sekolah negeri. Memang sejumlah perubahan ke arah perlakuan yang setara telah terjadi, namun belum sepenuhnya terwujud. Menurut laporan Komisi Pendidikan KWI, subsidi PNS ke lembaga-lembaga pendidikan Katolik menurun drastis.[5] Selain itu, regulasi dana bantuan operasional sekolah tidak selalu mendatangkan keuntungan bagi sekolah-sekolah kelolaan Gereja, sebab bersamaan dengan program tersebut meluas isu pendidikan gratis yang mempersulit sekolah-sekolah swasta memungut tambahan biaya dari orangtua/wali murid.

Menghadapi semua kesulitan ini, Gereja yang hendak tetap setia pada amanat Guru-Nya tidak dapat menyerah dan meninggalkan kerasulan pendidikan. Peran Gereja tetap dibutuhkan. Ada beberapa hal yang menurut saya tetap perlu diperhatikan Gereja. Pertana, Gereja tidak perlu lagi memperbanyak jumlah sekolah, sekadar mendirikan sekolah. Yang lebih utama adalah menjaga nilai pendidikan, agar sekolah-sekolah Katolik dapat menjadi satu model contras dari kondisi pendidikan umumnya di Indonesia yang kian terpuruk. Kedua, berkonsentrasi pada pendidikan informal dan kejuruan. Di tengah orientasi pendidikan yang serba teoretis mengawang, kita butuhkan secara sadar komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan kejuruan yang lebih profesional. Ketiga, mendirikan asrama dan menjalankan pastoral asrama-asrama. Keempat, menjadi penyumbang gagasan-gagasan kritis-kontruktif bagi dunia pendidikan.


Penutup
Pendidikan merupakan satu hal yang mendasar bagi manusia, dan menurut keyakinan kristiani, manusia adalah gambar diri Allah. Kita menemukan dan mencintai Allah dengan mengenal dan mencintai manusia. Mencintai manusia berarti menolong agar orang dapat berkembang sebagai manusia yang utuh dan memanfaatkan potensi dirinya demi kebagiaan diri dan kemajuan bersama. Itulah peran pendidikan. Sebab itu, Gereja sudah selalu menaruh perhatian pada kerasulan pendidikan. Perubahan waktu yang membawa serta perubahan kondisi tentu saja mengharuskan Gereja untuk memikirkan dan menentukan secara baru perannya dalam kerasulan pendidikan. Penentuan baru itu tidak datang sendirinya. Kita mesti meluangkan waktu dan tenaga untuk memikirkan bersama perubahan peran ini. Kesempatan perayaan ulang tahun sebuah lembaga pendidikan Katolik merupakan kesempatan baik untuk refleksi semacam ini. Terima kasih dan Prificiat untuk SDK Lebao Tengah I yang merayakan pesta seabad berdirinya, dan untuk Paroki San Juan pada perayaan ulang tahunnya yang ke-60 tahun.



[1] Heribertus Sumarja, FIC, “Keadaan Lembaga Pendidikan Katolik”, dalam Spektrum XXXVII (2009), hlm. 40-41.Yayasan-yayasan persekolahan yang disebutkan dalam daftar ini hamper semuanya milik tarekat-tarekat di Jawa, padahal di wilayah-wilayah lain di Indonesia terdapat banyak tarekat yang menyelenggarakan kerasulan pendidikan.
[2] Ibid., hlm. 41-43.
[3] Bdk. G. Vriens, Sejarah Gereja Katolik Indonesia, Jilid 2, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1972, hlm. 144; Eduard Jebarus, Sejarah Persekolahan di Flores, Maumere:Ledalero, 2008, hlm. 49-53.
[4] Anita Le, “Menyelamatkan Lembaga Pendidikan Katolik dari Keterpurukan: Analisis dan Usulan Pemecahan Persoalan”, dalam Spektrum XXXVII (2009), hlm. 74.
[5] Heribertus Sumarja, FIC, op.cit., hlm. 43.