Gereja Katolik Indonesia dikenal, diakui, dihargai
dan kadang-kadang menjadi sasaran iri hati orang lain karena kerasulannya di
bidang pendidikan dan kesehatan. Di banyak tempat Gereja menjadi pionir dalam
kedua bidang tersebut. Bahkan model pendidikannya seperti asrama-asrama
diadopsi oleh kelompok-kelompok lain. Apakah ini hanya merupakan sebuah
kebetulan sejarah? Kalau bukan, apa alasan yang mendasari keterlibatan Gereja
dalam karya pendidikan? Dan mana saja model keterlibatan tersebut? Makalah ini
secara singkat hendak menjawabi pertanyaan-pertanyaan di atas. Pada tempat
pertama akan dilukiskan alur historis dan argumen teologis keterlibatan Gereja
dalam kerasulan pendidikan. Pada bagian berikutnya akan didiskusikan
model-model keterlibatan Gereja. Hal kedua ini penting, karena dewasa ini di
banyak tempat Gereja bukan lagi menjadi pelaku paling utama dalam bidang
pendidikan. Ketika peran pemerintah menjadi semakin besar, apa yang perlu
diperhatikan Gereja dalam rangka mewujudkan komitmennya dalam bidang
pendidikan?
1.
Kenapa Gereja
terlibat dalam kerasulan pendidikan
1.1.Alur historis
Gagasan tentang pendidikan tidak asing dari
keseluruhan konsep agama Kristen: Pendirinya disebut sebagai Guru, dan para
pengikutnya adalah murid-murid-Nya. Dalam keempat Injil Yesus disapa sebagai
guru sebagai 34 kali, dan para pengikut-Nya disebut sebagai murid sebanyak 115
kali. Relasi Guru – Murid adalah sebuah relasi pendidikan. Yesus meneruskan apa
yang hidup dalam tradisi Yahudi yang mengenal para rabbi. Seorang rabbi Yahudi diikuti karena kesanggupannya menafsir
Kitab Suci dan pola hidupnya yang meyakinkan. Menjadi murid seorang rabbi
biasanya merupakan sekolah yang mempersiapkan seseorang menjadi rabbi. Yesus
dari Nazareth menampilkan diri-Nya dan dialami orang-orang dekat-Nya sebagai
Guru. Dia mengajar dengan perkataan dan contoh hidup.
Namun, paham
kemuridan perlu dijernihkan dari konotasi modern. Dalam dunia modern, kemuridan
sering dipahami dalam arti pembelajaran intelektual. Mengenal ajaran-ajaran
atau menghafal rumusan-rumusan. Murid yang baik adalah murid yang sanggup
mengulangi ajaran dan memanfaatkan rumusan-rumusan yang didapatnya dari guru.
Ini terungkap dalam istilah student:
pelajar. Murid Yesus adalah discipuli,
artinya orang-orang memiliki disiplin, yang bisa mengatur hidupnya karena
berorientasi pada sesuatu atau seseorang. Murid dalam pandangan ini adalah
seseorang yang mengenal baik ajaran dan sikap hidup seseorang dan kemudian
sanggup menjadikannya pegangan dalam hidupnya. Dengan ini pendidikan menjadi
seluas kehidupan.[2]
Sejalan dengan semangat dan praktik dasar
pendirinya, Gereja dalam sejarahnya selalu memperhatikan masalah pendidikan.
Menuruti contoh orang-orang Yunani (Plato mendirikan Akademia di Athena pada tahun
387 SM), Gereja mendirikan sekolah-sekolah untuk mengajar dan mendidik para
beriman. Sejak diakui sebagai agama negara pada awal abad ke-4, Gereja
melibatkan diri secara intensif dalam dunia pendidikan. Mulanya pendidikan itu
lebih diarahkan untuk mempersiapkan tenaga-tenaga pemimpin Gereja. Gereja
mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik para calon imam dan biarawan. Biara-biara
berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan, penelitian dan peradaban.
Kemudian, bersamaan dengan lahirnya ordo-ordo
pengemis (mendikan) Fransiskan dan
Dominikan, yang memberikan perhatian khusus kepada masyarakat, pendidikan pun
dibawa ke masyarakat. Orang menjadi sadar bahwa bahwa awam pun perlu mendapat
pendidikan yang memadai, sehingga tidak gampang dipengaruhi oleh segala macam
pendapat dan aliran. Sekolah-sekolah masyarakat perlahan banyak didirikan,
sampai tingkat universitas. Universitas pertama didirikan di Bologna, Italia,
pada tahun 1088. Setelah itu di beberapa kota besar Eropa didirikan berbagai
universitas, yang umumnya memiliki empat fakultas utama: teologi, filsafat, hukum
dan kedokteran (Universitas Paris 1150, Oxford 1167, Cambridge 1209, Salamanca 1218).
Perkembangan universitas umumnya didukung penuh oleh para Kaiser, yang
mempunyai kepentingan bahwa di antara para bawahannya terdapat orang-orang
berpendidikan tinggi yang dapat menyaingi para biarawan dan imam. Di ini kita
sudah dapat melihat universitas sebagai satu bentuk emansipasi dari dominasi
Gereja yang terlampau dominan.
Pendidikan menjadi semakin diperhatikan pada masa
reformasi, yang dapat dilihat juga sebagai satu reaksi atas sikap Gereja yang
terlampau elitis, juga dalam bidang pendidikan. Seorang tokoh reformasi yang
terkenal adalah seorang pendidik kawakan, Philip
Melanchton (lahir pada tanggal 16 Februari 1497, meninggal pada
tanggal 19 April 1560). Menurut Melanchton, pendidikan dibagi dalam tiga bagian: genos logikon, fisikon dan protreptikon. Termasuk dalam logika
adalah bidang-bidang ilmu yang secara langsung berurusan dengan pemikiran: tata bahasa, alur berargumentasi dan retorika. Yang terangkum dalam bidang fisika adalah
bidang-bidang ilmu yang mengarah pada penggunaan pengetahuan yang sudah
diperoleh dalam bidang lainnya. Yang menjadi penting di sini adalah teknik dan
politik sebagai kesanggupan menggunakan pengetahuan retorika untuk meyakinkan
orang dan memimpin massa. Dan yang tergolong dalam bidang protreptikos adalah cabang-cabang ilmu yang membantu manusia
merumuskan sebuah kehidupan yang baik: filsafat moral, sejarah dan sastra yang
menampilkan contoh-contoh penghidupan nilai-nilai moral itu. Dengan
pendidikan bersifat holistis: orang harus tahu alur berpikir dan bisa berbicara
serta mampu mengenal mana yang baik dan sanggup melaksanakannya dalam hidup.
Menanggapi
kritik yang muncul dalam reformasi, para Yesuit mulai menggencarkan kerasulan
pendidikan. Petrus Kanisius adalah tokoh sentral pada abad pertengahan dari
kalangan Yesuit yang mendirikan banyak sekolah. Waktu itu pendidikan tidak lagi
hanya dalam arti pewartaan yang umum, tetapi juga berarti pendirian sekolah.
Dengan pendirian sekolah-sekolah ini, kecendrungan kepada
dualisme pengajaran dan pendidikan mulai diletakkan. Apalagi setelah sekolah
dan asrama mulai dipisahkan. Apabila sebelumnya pendidikan dilaksanakan pada
seorang atau beberapa guru dengan intensitas kedekatan hubungan (tinggal dalam
biara yang sama), dan orang dilepaskan dari pendidikan setelah dinilai mampu
menjalani hidup, maka dengan pendidikan mulai terlepas dari pengajaran dan
penyelesaian tahapan pendidikan lebih ditentukan oleh kriteria penguasaan bahan
belajar.
Kita tidak dapat memungkiri bahwa pendidikan Kristen
memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan peradaban Eropa pada
umumnya, dan kemudian peradaban dunia seluruhnya. Berkat karya pendidikan itu,
telah dilahirkan banyak penemuan yang mempermudah kehidupan dan banyak gagasan
yang membuka cakrawala berpikir. Dari rahim pendidikan Kristen itu juga telah
muncul berbagai pandangan dan sikap yang justru sangat kritis bahkan
anti-gereja. Kenyataan ini harus diterima dengan kebesaran hati, karena
pendidikan membawa manusia kepada keberanian untuk bebas, dalam berpikir dan
bertindak.
Kita dapat mengatakan bersama Johann Gottfried
Herder (1744-1803) bahwa sejarah agama-agama adalah satu bentuk “Erziehung der Menschheit”, agama-agama
berperan dalam “mendidikan umat manusia.” Karena, agama-agama memberikan
sebuah perspektif baru, agar ada peluang
untuk mempertimbangkan secara kritis apa yang sudah selalu ada guna mengubah
atau mempertahankannya. Dari pertimbangan ini akan ditentukan sikap, yang dapat
berarti menolaknya sama sekali atau mengulanginya dalam semangat nostalgis atau
mentransformasikannya.
Ketika missi
mulai digalakkan pada abad ke-13, pendirian sekolah menjadi salah satu
perhatian utama. Kalau kita melihat keterlibatan para Yesuit di Cina, maka
menjadi jelas bahwa bagi mereka misi pendidikan adalah pintu masuk ke dalam
lingkungan budaya dan permasalahan orang-orang Cina. Para Yesuit pun mendidikan
pusat-pusat kehidupan orang Indian yang disebut sebagai reduktiones, di mana
pendidikan menjadi pusat perhatia.
Hal yang sama
juga menjadi sikap Arnold Janssen, pendiri SVD. Arnold Janssen adalah seorang
guru. Dia adalah seorang pengajar matematika dan ilmu alam, yang melihat
keterlibatannya di sini sebagai satu bentuk kerasulan. Ketika dia melihat bahwa
kondisi sekolah sebagai akibat dari penentuan pemerintah tidak memungkinkan dia
lagi menjalankan kerasulannya, dia memilih berhenti dari sekolah. Kehadiran di
sekolah penting, tetapi kehadiran itu selalu diukur pada kontribusinya untuk
apa yang diyakini sebagai misinya.
Ketika mengirim
para misionaris pertama ke Cina, memang dia belum bisa banyak merencanakan
untuk kerasulan di pendidikan sekolah. Yang menjadi metode pewartaan para
misionaris pertama di Cina adalah menjadi pewarta yang berjalan dari tempat ke
tempat. Tetapi untuk itu mereka membutuhkan sejumlah katekis, yang mesti
dipersiapkan secara khusus. Maka pendidikan bagi para katekis pun dimulai. Baru
kemudian direncanakan dan dijalankan misi pendidikan. Di Argentina yang
merupakan salah satu wilayah awal pengiriman misionaris SVD, karya di bidang
pendidikan dijalankan relatif cepat, sebab di sana para misionaris bekerja di
antara para turunan Jerman.
Para misionaris Dominikan yang datang dari Portugal ke
Indonesia pada abad ke-15 belum memberikan perhatian besar pada masalah
pendidikan. Walaupun di tanah asalnya para rahib Dominikan memiliki tradisi
besar dalam dunia pendidikan, di daerah misi yang baru hal utama yang menjadi
perhatian mereka adalah pewartaan Injil melalui katekese sederhana. Pendidikan
dalam artinya yang lebih luas sebagai upaya pencerdasan dan aktualisasi
potensi-potensi dasar manusia belum diperhatikan dengan baik. Hal ini berubah
dengan kedatangan para misionaris Yesuit pada pertengahan abad ke-19.
Walaupun sudah sejak tahun 1818 pemerintah kolonial
Belanda mengeluarkan statuta untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi orang-orang
pribumi, baru pada tahun 1848 dibuat anggaran untuk maksud ini. Enam tahun
kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan perindah kepada Gubernur Jendral untuk
mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-abak pribumi di stiap ibukota kabupaten.
Pada tahun 1856 para Ursulin mendirikan sekolah di Batavia.Beberapa tahun, para
Yesuit mendirikan sekolah di Larantuka (1862) bagi anak laki-laki, dan pada
tahun 1879 dengan bantuan para Suster Fransiskanes dari Hethuyzen, menangani
sekolah untuk anak-anak. Tradisi pendidikan ini diperkuat sejak tokoh legendaris
P. Van Lith SJ mendirikan sekolah bagi para calon guru laki-laki di Muntilan
pada tahun 1904 dan pada tahun 1908 mendirikan sekolah bagi para calon guru
perempuan di Mendut. Pendidikan para calon guru laki-laki ditangani oleh para
Yesuit, sedangkan para calon guru perempuan dididik oleh para Suster Fransiskanes seperti
di Mendut. Sejak itu, sekolah-sekolah Katolik yang didirikan dan diasuh oleh
tarekat-tarekat religius bermunculan di banyak wilayah di negara ini.
Pada awal dapat dikatakan bahwa karya pendidikan bertujuan
mendidik para guru sebagai agen pewarta Injil dan untuk mempermudah jalan masuk
Gereja ke hati rakyat Indonesia. Tujuan pertama berkaitan dengan murid-murid
yang beragama Katolik. Mereka dididik untuk menjadi guru Katolik yang
memperkenalkan agama kepada orang-orang lain, dan dimotivasi untuk menjadi
orangtua yang membangun keluarga-keluarga Katolik yang baik. Salah satu bukti
kebaikan sebuah keluarga menurut pandangan para pendidik ini adalah panggilan
hidup membiara atau menjadi imam bagi anak-anak dari keluarga tersebut. Tujuan kedua hendak dicapai dengan mendidik anak-anak
bukan Katolik. Perkenalan mereka dengan agama Katolik selama masa pendidikannya
diharapkan membuat mereka lebih mendukung kegiatan-kegiatan Gereja tanpa harus
membiarkan diri mereka dibaptis. Mereka dididik untuk menjadi simpatisan Gereja
Katolik. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan Katolik pada masa ini
bertujuan katolisasi murid, baik secara langsung dengan menjadikan mereka agen
pewartaan, maupun dengan memotivasi mereka menjadi pendukung karya-karya
Gereja.
Pendidikan
dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk membentuk tenaga-tenaga yang
dibutuhkan Gereja, baik sebagai pemimpin Gereja maupun sebagai pemimpin awam. Para
misionaris melihat terbentuknya kelompok pemimpin ini sebagai satu kebutuhan
masyarakat Flores untuk dapat menjadi satu kelompok masyarakat yang mempunyai
tempat dalam bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Bentuk pemimpin awam yang
paling berperan waktu itu adalah para guru. Sebab itu para misionaris banyak
mengirim para murid dari Flores untuk mengikuti pendidikan guru, selama
pendidikan seperti itu belum dapat dilaksanakan di daratan Flores. Para guru
itu lalu dikirim ke kampung-kampung dan menjadi misionaris dan pemimpin awam
yang berperan dalam banyak bidang kehidupan. Mereka menjadi agen pembaruan di dalam masyarakat
di kampung-kampung.
Selain itu
bidang pendidikan lain yang juga diperhatikan adalah pertukangan. Para Bruder
membentuk sekolah-sekolah teknik yang mempunyai sistem pendidikan seperti di
Jerman. Para murid belajar sambil berpraktik di bawah bimbingan yang ketat dari
para tukang senior selama beberapa tahun. Sistem magang yang beberapa tahun
lalu mulai dipraktikkan di Indonesia sebenarnya telah merupakan kebiasaan di
dalam sekolah-sekolah teknik yang dikelolah para bruder. Boleh dikatakan bahwa
pendidikan di bidang ini cukup berhasil. Banyak jebolan dari sekolah seperti menjadi tukang yang baik di banyak wilayah.
Seringkali mereka tidak hanya menjadi tukang, tetapi juga merupakan tokoh
masyarakat dan pemimpin umat.
Dari kedua
bentuk pendidikan ini dapat dikatakan bahwa sebenarnya misi dari pendidikan
yang dilaksanakan oleh para
misionaris adalah pendidikan
misi. Maksudnya, pendidikan mestilah memberikan sumbangan tertentu bagi karya
misi Gereja. Pendidikan yang dilaksanakan Gereja tidak sekedar bertujuan membuat orang pintar atau
memiliki ijasah dan keterampilan tertentu. Gereja juga tidak memiliki sekolah sekedar sebagai sumber penghasilan atau hanya
untuk memberikan lapangan pekerjaan kepada sekelompok orang. Misi pendidikan Gereja adalah pendidikan misi, yakni pendidikan yang
terarah kepada tujuan-tujuan yang oleh tarekat dilihat sebagai misi yang mesti
diembannya. Gagasan misi ini pula yang mesti dipakai kerangka untuk menilai
secara jujur dan berani sebuah lembaga pendidikan yang dijalankan oleh Gereja (Bersambung).
[1] Disampaikan sebagai makalah dalam seminar sehari tentang Pendidikan di
Lebao, Larantuka, 18 Mei 2012.
[2] Eka Darmaputra, “Spiritualitas Baru dan Kepedilian Terhadap Sesama.
Suatu Perspektif Kristen,” dalam Elga Sarapung et al. (eds.), Spiritualitas Baru. Agama & Aspirasi
Rakyat, cet. ke-2, Yogyakarta: DIAN/Interfidei 2004, hlm. 71-72.