Jumat, 24 Januari 2020

PERAN GEREJA DALAM DUNIA PENDIDIKAN (1)

BY Paroki San Juan IN


Gereja Katolik Indonesia dikenal, diakui, dihargai dan kadang-kadang menjadi sasaran iri hati orang lain karena kerasulannya di bidang pendidikan dan kesehatan. Di banyak tempat Gereja menjadi pionir dalam kedua bidang tersebut. Bahkan model pendidikannya seperti asrama-asrama diadopsi oleh kelompok-kelompok lain. Apakah ini hanya merupakan sebuah kebetulan sejarah? Kalau bukan, apa alasan yang mendasari keterlibatan Gereja dalam karya pendidikan? Dan mana saja model keterlibatan tersebut? Makalah ini secara singkat hendak menjawabi pertanyaan-pertanyaan di atas. Pada tempat pertama akan dilukiskan alur historis dan argumen teologis keterlibatan Gereja dalam kerasulan pendidikan. Pada bagian berikutnya akan didiskusikan model-model keterlibatan Gereja. Hal kedua ini penting, karena dewasa ini di banyak tempat Gereja bukan lagi menjadi pelaku paling utama dalam bidang pendidikan. Ketika peran pemerintah menjadi semakin besar, apa yang perlu diperhatikan Gereja dalam rangka mewujudkan komitmennya dalam bidang pendidikan?

1.      Kenapa Gereja terlibat dalam kerasulan pendidikan
1.1.Alur historis
Gagasan tentang pendidikan tidak asing dari keseluruhan konsep agama Kristen: Pendirinya disebut sebagai Guru, dan para pengikutnya adalah murid-murid-Nya. Dalam keempat Injil Yesus disapa sebagai guru sebagai 34 kali, dan para pengikut-Nya disebut sebagai murid sebanyak 115 kali. Relasi Guru – Murid adalah sebuah relasi pendidikan. Yesus meneruskan apa yang hidup dalam tradisi Yahudi yang mengenal para rabbi. Seorang rabbi Yahudi diikuti karena kesanggupannya menafsir Kitab Suci dan pola hidupnya yang meyakinkan. Menjadi murid seorang rabbi biasanya merupakan sekolah yang mempersiapkan seseorang menjadi rabbi. Yesus dari Nazareth menampilkan diri-Nya dan dialami orang-orang dekat-Nya sebagai Guru. Dia mengajar dengan perkataan dan contoh hidup.

Namun, paham kemuridan perlu dijernihkan dari konotasi modern. Dalam dunia modern, kemuridan sering dipahami dalam arti pembelajaran intelektual. Mengenal ajaran-ajaran atau menghafal rumusan-rumusan. Murid yang baik adalah murid yang sanggup mengulangi ajaran dan memanfaatkan rumusan-rumusan yang didapatnya dari guru. Ini terungkap dalam istilah student: pelajar. Murid Yesus adalah discipuli, artinya orang-orang memiliki disiplin, yang bisa mengatur hidupnya karena berorientasi pada sesuatu atau seseorang. Murid dalam pandangan ini adalah seseorang yang mengenal baik ajaran dan sikap hidup seseorang dan kemudian sanggup menjadikannya pegangan dalam hidupnya. Dengan ini pendidikan menjadi seluas kehidupan.[2]

Sejalan dengan semangat dan praktik dasar pendirinya, Gereja dalam sejarahnya selalu memperhatikan masalah pendidikan. Menuruti contoh orang-orang Yunani (Plato mendirikan Akademia di Athena pada tahun 387 SM), Gereja mendirikan sekolah-sekolah untuk mengajar dan mendidik para beriman. Sejak diakui sebagai agama negara pada awal abad ke-4, Gereja melibatkan diri secara intensif dalam dunia pendidikan. Mulanya pendidikan itu lebih diarahkan untuk mempersiapkan tenaga-tenaga pemimpin Gereja. Gereja mendirikan sekolah-sekolah untuk mendidik para calon imam dan biarawan. Biara-biara berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan, penelitian dan peradaban.

Kemudian, bersamaan dengan lahirnya ordo-ordo pengemis (mendikan) Fransiskan dan Dominikan, yang memberikan perhatian khusus kepada masyarakat, pendidikan pun dibawa ke masyarakat. Orang menjadi sadar bahwa bahwa awam pun perlu mendapat pendidikan yang memadai, sehingga tidak gampang dipengaruhi oleh segala macam pendapat dan aliran. Sekolah-sekolah masyarakat perlahan banyak didirikan, sampai tingkat universitas. Universitas pertama didirikan di Bologna, Italia, pada tahun 1088. Setelah itu di beberapa kota besar Eropa didirikan berbagai universitas, yang umumnya memiliki empat fakultas utama: teologi, filsafat, hukum dan kedokteran (Universitas Paris 1150, Oxford 1167, Cambridge 1209, Salamanca 1218). Perkembangan universitas umumnya didukung penuh oleh para Kaiser, yang mempunyai kepentingan bahwa di antara para bawahannya terdapat orang-orang berpendidikan tinggi yang dapat menyaingi para biarawan dan imam. Di ini kita sudah dapat melihat universitas sebagai satu bentuk emansipasi dari dominasi Gereja yang terlampau dominan.

Pendidikan menjadi semakin diperhatikan pada masa reformasi, yang dapat dilihat juga sebagai satu reaksi atas sikap Gereja yang terlampau elitis, juga dalam bidang pendidikan. Seorang tokoh reformasi yang terkenal adalah seorang pendidik kawakan, Philip Melanchton (lahir pada tanggal 16 Februari 1497, meninggal pada tanggal 19 April 1560). Menurut Melanchton, pendidikan dibagi dalam tiga bagian: genos logikon, fisikon dan protreptikon. Termasuk dalam logika adalah bidang-bidang ilmu yang secara langsung berurusan dengan pemikiran: tata bahasa, alur berargumentasi dan retorika. Yang terangkum dalam bidang fisika adalah bidang-bidang ilmu yang mengarah pada penggunaan pengetahuan yang sudah diperoleh dalam bidang lainnya. Yang menjadi penting di sini adalah teknik dan politik sebagai kesanggupan menggunakan pengetahuan retorika untuk meyakinkan orang dan memimpin massa. Dan yang tergolong dalam bidang protreptikos adalah cabang-cabang ilmu yang membantu manusia merumuskan sebuah kehidupan yang baik: filsafat moral, sejarah dan sastra yang menampilkan contoh-contoh penghidupan nilai-nilai moral itu. Dengan pendidikan bersifat holistis: orang harus tahu alur berpikir dan bisa berbicara serta mampu mengenal mana yang baik dan sanggup melaksanakannya dalam hidup.

Menanggapi kritik yang muncul dalam reformasi, para Yesuit mulai menggencarkan kerasulan pendidikan. Petrus Kanisius adalah tokoh sentral pada abad pertengahan dari kalangan Yesuit yang mendirikan banyak sekolah. Waktu itu pendidikan tidak lagi hanya dalam arti pewartaan yang umum, tetapi juga berarti pendirian sekolah.

Dengan pendirian sekolah-sekolah ini, kecendrungan kepada dualisme pengajaran dan pendidikan mulai diletakkan. Apalagi setelah sekolah dan asrama mulai dipisahkan. Apabila sebelumnya pendidikan dilaksanakan pada seorang atau beberapa guru dengan intensitas kedekatan hubungan (tinggal dalam biara yang sama), dan orang dilepaskan dari pendidikan setelah dinilai mampu menjalani hidup, maka dengan pendidikan mulai terlepas dari pengajaran dan penyelesaian tahapan pendidikan lebih ditentukan oleh kriteria penguasaan bahan belajar.

Kita tidak dapat memungkiri bahwa pendidikan Kristen memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perkembangan peradaban Eropa pada umumnya, dan kemudian peradaban dunia seluruhnya. Berkat karya pendidikan itu, telah dilahirkan banyak penemuan yang mempermudah kehidupan dan banyak gagasan yang membuka cakrawala berpikir. Dari rahim pendidikan Kristen itu juga telah muncul berbagai pandangan dan sikap yang justru sangat kritis bahkan anti-gereja. Kenyataan ini harus diterima dengan kebesaran hati, karena pendidikan membawa manusia kepada keberanian untuk bebas, dalam berpikir dan bertindak.
Kita dapat mengatakan bersama Johann Gottfried Herder (1744-1803) bahwa sejarah agama-agama adalah satu bentuk “Erziehung der Menschheit”, agama-agama berperan dalam “mendidikan umat manusia.” Karena, agama-agama memberikan sebuah  perspektif baru, agar ada peluang untuk mempertimbangkan secara kritis apa yang sudah selalu ada guna mengubah atau mempertahankannya. Dari pertimbangan ini akan ditentukan sikap, yang dapat berarti menolaknya sama sekali atau mengulanginya dalam semangat nostalgis atau mentransformasikannya.

Ketika missi mulai digalakkan pada abad ke-13, pendirian sekolah menjadi salah satu perhatian utama. Kalau kita melihat keterlibatan para Yesuit di Cina, maka menjadi jelas bahwa bagi mereka misi pendidikan adalah pintu masuk ke dalam lingkungan budaya dan permasalahan orang-orang Cina. Para Yesuit pun mendidikan pusat-pusat kehidupan orang Indian yang disebut sebagai reduktiones, di mana pendidikan menjadi pusat perhatia.

Hal yang sama juga menjadi sikap Arnold Janssen, pendiri SVD. Arnold Janssen adalah seorang guru. Dia adalah seorang pengajar matematika dan ilmu alam, yang melihat keterlibatannya di sini sebagai satu bentuk kerasulan. Ketika dia melihat bahwa kondisi sekolah sebagai akibat dari penentuan pemerintah tidak memungkinkan dia lagi menjalankan kerasulannya, dia memilih berhenti dari sekolah. Kehadiran di sekolah penting, tetapi kehadiran itu selalu diukur pada kontribusinya untuk apa yang diyakini sebagai misinya.

Ketika mengirim para misionaris pertama ke Cina, memang dia belum bisa banyak merencanakan untuk kerasulan di pendidikan sekolah. Yang menjadi metode pewartaan para misionaris pertama di Cina adalah menjadi pewarta yang berjalan dari tempat ke tempat. Tetapi untuk itu mereka membutuhkan sejumlah katekis, yang mesti dipersiapkan secara khusus. Maka pendidikan bagi para katekis pun dimulai. Baru kemudian direncanakan dan dijalankan misi pendidikan. Di Argentina yang merupakan salah satu wilayah awal pengiriman misionaris SVD, karya di bidang pendidikan dijalankan relatif cepat, sebab di sana para misionaris bekerja di antara para turunan Jerman.

Para misionaris Dominikan yang datang dari Portugal ke Indonesia pada abad ke-15 belum memberikan perhatian besar pada masalah pendidikan. Walaupun di tanah asalnya para rahib Dominikan memiliki tradisi besar dalam dunia pendidikan, di daerah misi yang baru hal utama yang menjadi perhatian mereka adalah pewartaan Injil melalui katekese sederhana. Pendidikan dalam artinya yang lebih luas sebagai upaya pencerdasan dan aktualisasi potensi-potensi dasar manusia belum diperhatikan dengan baik. Hal ini berubah dengan kedatangan para misionaris Yesuit pada pertengahan abad ke-19.

Walaupun sudah sejak tahun 1818 pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan statuta untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi orang-orang pribumi, baru pada tahun 1848 dibuat anggaran untuk maksud ini. Enam tahun kemudian pemerintah Belanda mengeluarkan perindah kepada Gubernur Jendral untuk mendirikan sekolah-sekolah bagi anak-abak pribumi di stiap ibukota kabupaten. Pada tahun 1856 para Ursulin mendirikan sekolah di Batavia.Beberapa tahun, para Yesuit mendirikan sekolah di Larantuka (1862) bagi anak laki-laki, dan pada tahun 1879 dengan bantuan para Suster Fransiskanes dari Hethuyzen, menangani sekolah untuk anak-anak. Tradisi pendidikan ini diperkuat sejak tokoh legendaris P. Van Lith SJ mendirikan sekolah bagi para calon guru laki-laki di Muntilan pada tahun 1904 dan pada tahun 1908 mendirikan sekolah bagi para calon guru perempuan di Mendut. Pendidikan para calon guru laki-laki ditangani oleh para Yesuit, sedangkan para calon guru perempuan  dididik oleh para Suster Fransiskanes seperti di Mendut. Sejak itu, sekolah-sekolah Katolik yang didirikan dan diasuh oleh tarekat-tarekat religius bermunculan di banyak wilayah di negara ini.

Pada awal dapat dikatakan bahwa karya pendidikan bertujuan mendidik para guru sebagai agen pewarta Injil dan untuk mempermudah jalan masuk Gereja ke hati rakyat Indonesia. Tujuan pertama berkaitan dengan murid-murid yang beragama Katolik. Mereka dididik untuk menjadi guru Katolik yang memperkenalkan agama kepada orang-orang lain, dan dimotivasi untuk menjadi orangtua yang membangun keluarga-keluarga Katolik yang baik. Salah satu bukti kebaikan sebuah keluarga menurut pandangan para pendidik ini adalah panggilan hidup membiara atau menjadi imam bagi anak-anak dari keluarga tersebut. Tujuan kedua hendak dicapai dengan mendidik anak-anak bukan Katolik. Perkenalan mereka dengan agama Katolik selama masa pendidikannya diharapkan membuat mereka lebih mendukung kegiatan-kegiatan Gereja tanpa harus membiarkan diri mereka dibaptis. Mereka dididik untuk menjadi simpatisan Gereja Katolik. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan Katolik pada masa ini bertujuan katolisasi murid, baik secara langsung dengan menjadikan mereka agen pewartaan, maupun dengan memotivasi mereka menjadi pendukung karya-karya Gereja.

Pendidikan dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk membentuk tenaga-tenaga yang dibutuhkan Gereja, baik sebagai pemimpin Gereja maupun sebagai pemimpin awam. Para misionaris melihat terbentuknya kelompok pemimpin ini sebagai satu kebutuhan masyarakat Flores untuk dapat menjadi satu kelompok masyarakat yang mempunyai tempat dalam bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Bentuk pemimpin awam yang paling berperan waktu itu adalah para guru. Sebab itu para misionaris banyak mengirim para murid dari Flores untuk mengikuti pendidikan guru, selama pendidikan seperti itu belum dapat dilaksanakan di daratan Flores. Para guru itu lalu dikirim ke kampung-kampung dan menjadi misionaris dan pemimpin awam yang berperan dalam banyak bidang kehidupan. Mereka menjadi agen pembaruan di dalam masyarakat di kampung-kampung.

Selain itu bidang pendidikan lain yang juga diperhatikan adalah pertukangan. Para Bruder membentuk sekolah-sekolah teknik yang mempunyai sistem pendidikan seperti di Jerman. Para murid belajar sambil berpraktik di bawah bimbingan yang ketat dari para tukang senior selama beberapa tahun. Sistem magang yang beberapa tahun lalu mulai dipraktikkan di Indonesia sebenarnya telah merupakan kebiasaan di dalam sekolah-sekolah teknik yang dikelolah para bruder. Boleh dikatakan bahwa pendidikan di bidang ini cukup berhasil. Banyak jebolan dari sekolah seperti menjadi tukang yang baik di banyak wilayah. Seringkali mereka tidak hanya menjadi tukang, tetapi juga merupakan tokoh masyarakat dan pemimpin umat.

Dari kedua bentuk pendidikan ini dapat dikatakan bahwa sebenarnya misi dari pendidikan yang dilaksanakan oleh para misionaris adalah pendidikan misi. Maksudnya, pendidikan mestilah memberikan sumbangan tertentu bagi karya misi Gereja. Pendidikan yang dilaksanakan Gereja tidak sekedar bertujuan membuat orang pintar atau memiliki ijasah dan keterampilan tertentu. Gereja juga tidak memiliki sekolah sekedar sebagai sumber penghasilan atau hanya untuk memberikan lapangan pekerjaan kepada sekelompok orang. Misi pendidikan Gereja adalah pendidikan misi, yakni pendidikan yang terarah kepada tujuan-tujuan yang oleh tarekat dilihat sebagai misi yang mesti diembannya. Gagasan misi ini pula yang mesti dipakai kerangka untuk menilai secara jujur dan berani sebuah lembaga pendidikan yang dijalankan oleh Gereja (Bersambung).



[1] Disampaikan sebagai makalah dalam seminar sehari tentang Pendidikan di Lebao, Larantuka, 18 Mei 2012.
[2] Eka Darmaputra, “Spiritualitas Baru dan Kepedilian Terhadap Sesama. Suatu Perspektif Kristen,” dalam Elga Sarapung et al. (eds.), Spiritualitas Baru. Agama & Aspirasi Rakyat, cet. ke-2, Yogyakarta: DIAN/Interfidei 2004, hlm. 71-72.