Abstrak
Indonesia adalah bangsa multikultur: etnis,
agama dan budaya. Usaha menjaga multikulturalisme ini merupakan panggilan bagi
semua manusia, termasuk orang-orang Katolik. Dalam konteks itu, benarlah apa
yang dikumandangkan oleh kaum muda Katolik dalam Asian Youth Day 7 2017 di
Yogyakarta. Dalam momen akbar ini mereka berjanji untuk mengubah dunia yang
penuh dengan kekerasan menjadi dunia yang damai dan hidup aman dalam keragaman.
Kaum muda Asia berjanji untuk tidak
mengulangi sejarah
kekerasan entah yang berlabelkan agama, etnis ataupun labelitas lainnya. Janji
itu terungkap dalam ikhtiar mereka untuk menghidupi
sukacita Injil di tengah keanekaragaman. Tulisan ini memberi makna tentang keharusan memandang multikulturalisme
sebagai bagian dari kehidupan yang berperadaban. Fokus saya adalah saya hendak memberikan beberapa catatan pendasaran sosio-teologis
sebagai bingkai bagi kaum muda Katolik dalam perjuangan menghidupi sukacita
Injil di tengah keanekaragaman.
Kata-kata kunci: Orang Muda Katolik,
Keanekaragaman, Sukacita Injil
Abstract
Indonesia is a multicultural nation
based on ethnic, religious and cultural. Keeping this multiculturalism a call
for all people, including Young Catholics. In that context, it is true what the
Catholic youth proclamated in the Asian Youth Day 7, 2017 in Yogyakarta. In this
moment they promise to turn a violent world into a world of peace and a life of
safety in diversity. Asian youth promise not to repeat the history of violence
whether labeled religion, ethnicity or other labelitas. The promise is revealed
in their endeavors to live the joy of the gospel in the diversity. This paper
gives meaning to the necessity of viewing multiculturalism as a part of
civilized life. My focus, I want to give socio-theological perspective as baseline
notes as a framework for young Catholics in the struggle to live the joy of the
gospel in the world diversity.
Keywords: Young Catholics, Diversity, Gospel Joy
Pengantar
Asian Youth Day 7
2017 di Yogyakarta meninggalkan
‘jejak pesan’ bagi karya peacebuilding di Indonesia dan Asia jika dipandang
dari kacamata dialog interfaith. Pesan tersebut dapat disimak pada pernyataan
peserta yang disusun oleh perwakilan peserta (Brenda Lynn Julianose dari Malaysia; Frederico Rodrigues Pereira dari Timor Leste; Michaela Ruth Calulut Gallardo dari Hong Kong; Michael Sawung Aji Pamenang dari Indonesia; Mark Zeus Quinto dari Phillipines;
dan Ngyuyen Thi Thai Hang dari Vietnam)
yang
dibacakan di Lapangan Dirgantara Akademi
Angkatan Udara Yogyakarta, Indonesia, 6 Agustus 2017. Ada sejumlah hal penting yang tertera dalam pernyataan tersebut. Satu
di antaranya adalah keharusan memandang multikulturalisme sebagai bagian dari
kehidupan yang berperadaban. Hal itu lahir dari kegelisahan kaum muda se-Asia
akan maraknya aksi-aksi intoleransi belakangan ini. Kaum muda Asia ini
bersepakat untuk menciptakan peradaban perdamaian di tengah keragaman Asia.
Tulisan ini tidak membahas secara panjang lebar tentang perjumpaan orang-orang
muda Katolik se-Asia tersebut, pun pula tidak memasuki wilayah
pernyataan-pernyataan mereka di akhir perjumpaan itu secara mendetail melainkan
mencoba memberi makna lebih lanjut tentang satu hal penting tersebut. Tulisan
ini diakhiri pula dengan sebuah catatan pendasaran bagi kaum muda ketika hendak
menghidupi sukacita Injil di tengah realitas multikultural tersebut.
Realitas Peradaban
yang Berdarah
Sejarah
internasional menyuguhkan banyak bukti tentang perang antar-bangsa yang berbeda
agama maupun perang antar-bangsa yang memeluk agama yang sama. Dengan
memperhatikan fenomena peperangan di abad ke-20, ada sementara orang menamakan
abad ini dengan sebutan “abad perang total”: Korban perang pesat jumlahnya;
penggunaan teknologi (pembasmi kehidupan, bukan saja sasaran perang melainkan
juga ‘jiwa manusia lain_sipil dan juga tumbuhan, hewan, lingkungan’); dan
terorisme.
Kajian Linell E. Cady dan Sheldon W. Simon menunjukkan bahwa negara-negara
di benua Asia pada umumnya, dan Asia Selatan dan Asia Tenggara pada khususnya
sepertinya tak terbebaskan dari sejarah konflik/kekerasan berlabelkan agama.[1] Sepertinya, kekerasan itu telah lama menjadi ciri lingkungan politik dan sosialnya. Sebagai
missal, bangkitnya Islamisme radikal di Asia Selatan dan Tenggara. Atau, Di
Birma, misalnya, negara dan agama menjadikan agama sebagai legitimasi
kekerasan. Junta militer yang berkuasa memakai simbol otoritas Budha untuk
menghasut kekerasan terhadap lawan-lawan politiknya dan etnis muslim yang
minoritas. Berbagai bentuk terorisme yang terinspirasi oleh agama dan kekerasan
antar etnis bisa ditemukan di negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Birma, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan. Kekerasan
dikaitkan dengan agama dan agama dibaca sebagai yang dekat dengan kekerasan
(sumber kekerasan).
Menurut
Asvi Warman Adam, kekerasan di Indonesia telah terjadi sejak Pemerintah kolonial Belanda.[2]
Peristiwa kekerasan terbesar adalah pembantaian tahun 1965. Peristiwa ini
terjadi saat dunia sedang alami puncak krisis politik (Perang Dingin) yang
bersamaan dengan itu situasi politik-sosial-ekonomi domestic Indonesia sedang
berada di titik kritis. Situasi politik dalam negeri menjadi faktor paling
utama. Partai Komunis yang ‘menguasai politik nasional’ dengan sejumlah aksinya
yang diberitakan media (dengan cara berlebihan) memicu kekerasan massal
terhadap komunis dan mereka yang diduga sebagai simpatisan komunis. Terjadilah
pembantaian besar-besaran.
Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean dan Mohammad
Zulfan Tadjoeddin menambahkan bahwa masa Orde Baru bukan masa tanpa
kekerasan, bukan masa damai.[3]
Dan, kekerasan Orde Baru, tidak berakhir dengan kematiannya
pada Mei 1998. Sebaliknya, efek kekerasannya berlanjut bahkan setelah
kematiannya.
Bentuk-bentuk kekerasannya: Pertama, kekerasan
etno-komunal. Kekerasan antar
agama telah menyebabkan kerusakan terbesar, diikuti oleh konflik antar etnis. Kekerasan
antara Muslim-Kristen, Madura-Dayak/Melayu, dan kekerasan
anti-China
menjadi yang terbesar sejak 1990. Kedua, kekerasan ekonomi dan kekerasan
negara versus masyarakat. Kerusuhan Madura-Dayak tidak dipengaruhi oleh berakhirnya era Suharto. Sedangkan
kekerasan anti-Cina terjadi sedikit sekali setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Kerusuhan di Selat Panjang, Riau, pada bulan Februari 2001, dipicu oleh perselisihan
perjudian.
Dan, sebagian besar perselisihan Muslim-Kristen yang mematikan
telah terjadi setelah tahun 1998. Khusus tentang kekerasan
Muslim-Kristen sebelum tahun 1998 tercatat bahwa ada banyak bentrokan Muslim-Kristen sebelum tahun 1998 terutama pada tahun 1996-1997 seperti
yang terjadi di Tasikmalaya (Jawa Barat), Banjarmasin (Kalimantan
Selatan), Situbondo (Jawa Timur), dan Ujung Pandang (Sulawesi Selatan). Di tahun
1992-1997 kekerasan antar dua kelompok ini lebih banyak menyebabkan kerugian
harta benda. Sementara, setelah tahun 1998 selain harta benda, nyawa juga ikut
jadi korban secara signifikan. Kekerasan Muslim-Kristen di tahun 1970-an dan
1980-an tidak terlalu nampak. Kekerasan
Muslim-Kristen, dengan demikian, bukanlah fenomena pasca-1998, dimulai jauh
sebelum akhir Orde Baru. Bentuknya
menjadi lebih fatal setelah tahun 1998. Pada posisi
lain, kekerasan Anti-Cina meningkat drastis pada Mei 1998.
Gerry
van Klinken
memiliki catatan analitik tentang aksi kekerasan pasca Mei 1998 dengan
mengambil lokus pada peristiwa Poso dan Ambon.[4] Dalam
konflik Poso ada kesan kuat bahwa elite
politik lokal menggunakan identitas agama demi mengkotak-kotakkan masyarakat
Poso: Kristen-Muslim yang jumlah keduanya hampir proporsional sejak masa Orde
Baru. Untuk mengamankan posisi dan kedudukannya dan keinginan akan
mengembalikan posisi terhormat di tatanan pemerintahan, sejumlah elite politik
membangun kekuatan dengan membentuk kelompok-kelompoknya dan memproduksi media
provokatif yang memperuncing konflik masyarakat Islam dan Kristen. Konflik
meluas ketika kelompok-kelompok ini membangun jaringan keluar daerah dan
membangun ‘persekutuan/koalisi’ untuk saling menyerang. Agama menjadi identitas
penanda kelompok-kelompok ini. Konflik ini berawal dari konflik politik dan
bergerak menjadi konflik antaragama.
Hal
senada terjadi di Ambon.[5]
Perubahan-perubahan
sosial masyarakat Ambon di tengah konstelasi politik nasional dan lokal pun
telah membawa Ambon masuk dalam kekerasan yang berkepanjangan. Latar belakang
sejarah dan agama turut dibawa-bawa di dalamnya. Konflik yang paling mengerikan
terjadi di tahun 1999. Dengan dilatari oleh situasi sosial di atas, kedua
kelompok (Kristen dan Muslim) masing-masing membangun kekuatan. Elit politik
dan juga elit agama kedua kelompok berperan memobilisasi kelompoknya yang
umumnya terdiri atas masyarakat kelas bawah dalam satu wadah dengan sejumlah
aktivitasnya terutama mereproduksi informasi-informasi yang berbau provokasi
melalui media cetak dan audiovisual. Informasi melalui media yang beritanya
sering dilebih-lebihkan ini
membangkitkan ‘perasaan kesatuan’ di kalangan kelompok sendiri dan
menjadi ‘sumber’ ledaknya kemarahan terhadap kelompok lain. Kelompok
‘diciptakan’ untuk menghadapi ancaman dari kelompok lain. Kelompok juga menjadi
‘peluang’ bagi para pemimpinnya untuk menciptakan kekuatan sebagai satu
identitas sosial keagamaan yang bisa ‘digunakan’ untuk merebut kekuasaan
politik lokal.
Impian Kaum
Muda Asia
Meninggali dan bercengkrama
dengan dunia yang aman dan damai, dunia yang saling mengerti dan memahami dalam
perbedaan adalah impian bersama. Akan halnya, kaum muda Asia pun memilikinya.
Impian kaum muda Asia akan dunia yang aman dan damai terbersit dalam pernyataan
mereka di Yogyakarta, 6 Agustus 2017. Impian itu tentunya lahir dari
kegelisahan mereka akan situasi-situasi yang tidak mengenakkan yang dalam
pernyataan tersebut mereka sebut dengan ungkapan tekanan intoleransi. Berikut
beberapa petikan dari pernyataan orang muda Katolik itu.
“Berhadapan dengan aneka tekanan intoleransi dan perasaan
ditinggalkan, kami merasa kurang dekat dengan Tuhan dan ciptaan-Nya….”
“Sebagai orang muda, kami diteguhkan oleh Roh Kudus yang
menganugerahi kami kekuatan dan api semangat untuk mewartakan Kabar Gembira di tengah dunia yang multikultur ini. Kami
pejuang di garda terdepan.”
“… kami menemukan bahwa kami memiliki semangat yang
membara dalam diri, hasrat untuk mempengaruhi dunia dan meninggalkan jejak khas
kami. Kami melihat bagaimana harus hidup
dalam masyarakat ketika kami berlainan bahasa dan menjalankan keyakinan iman
yang berbeda terutama dalam peristiwa saling berbagi kisah dengan ratusan kaum
muda Muslim. Perjumpaan-perjumpaan multikultural ini memampukan kami melihat
iman kami dalam terang yang baru. Aneka perjumpaan itu mengobarkan semangat
kami. Kami berharap bahwa berkat Roh Kudus, kami mampu menerangi dunia.”
“Dalam keberagaman
Asia ini, kami hidup di antara
perbedaan agama, bahasa, suku, dan budaya, sehingga pentinglah bagi kami untuk
melangkah keluar dari zona nyaman dan menjumpai mereka yang berbeda dari kami.
Yesus mengajarkan kami untuk mengasihi tanpa syarat. Kami ingin menjadi saksi
atas Roh Cintakasih yang sama, yang telah Dia perlihatkan kepada kami.”
“Kami berniat bertindak sebagai fasilitator dan animator persatuan, menciptakan jembatan kasih dan menghormati budaya yang berbeda-beda.”
“Allah-lah suka
cita dan harapan kita. Kami menyadari bahwa melalui rahmat-Nya, kami dapat
menginspirasi orang lain dengan menghidupi sukacita Injil di tengah
keanekaragaman dan arus perubahan masyarakat, demi mewujudkan sebuah dunia
yang penuh cinta kasih, harmonis dan bersatu padu sebagai utusan-utusan
suka cita.”
Dengan sengaja saya menampilkan enam
penggalan singkat dari pernyataan kaum muda se-Asia ini. Dengan amat mudah
terbaca impian kaum muda Asia terhadap realitas keberagaman di Asia; realitas
yang daripadanya amat mungkin melahirkan aksi-aksi violence jika tidak
disadari, dikelola dan dijembatani dengan baik. Kaum muda Asia menangkap
fenomena ini dan berjanji untuk tidak ‘memperpanjang’ sejarah konflik/kekerasan entah yang berlabelkan agama,
etnis ataupun labelitas lainnya. Janji itu terungkap kencang dalam kata-kata
mereka: menghidupi sukacita Injil di
tengah keanekaragaman. Untuk menggapai maksud ini, pada bagian selanjutnya,
saya memberikan beberapa catatan pendasaran sosio-teologis sebagai bingkai bagi
perjuangan menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman.
Panggilan
kepada Peradaban Perdamaian
Ada
sebuah perasaan sekaligus kebutuhan yang sama dari agama-agama. Perasaan dan
kebutuhan itu berkaitan dengan perjuangan mewujudkan jati diri kemanusiaan.
Berhadapan dengan bencana alam yang
menimpa ribuaan atau jutaan manusia misalnya, setiap orang atau institusi dari
dalam negeri maupun dari luar negeri yang nun jauh di sana pada umumnya
menyatakan ‘turut mengalami penderitaan sesama manusia yang mengalami bencana
dengan ‘bergerak melebih batas keagamaannya’ untuk membantu meringankan
penderitaan akibat bencana tersebut. Ada semacam satu ‘gerakan ke pinggiran
jalan lain’ atas dasar kemanusiaan.
Pada
titik tertentu, perhatian terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan juga
kepedulian terhadap keutuhan ciptaan pada umumnya merupakan satu gerakan global
yang bersifat kritis terhadap globalisasi ekonomi yang lebih mengutamakan
profit ketimbang jati diri kemanusian dan terutama nian tanpa mempedulikan
beban yang harus dipikul banyak penghuni bumi dan ketahanan bumi itu sendiri.[6]
Karenanya, persoalan-persoalan kemanusian dan ancaman terhadap ketahanan bumi
tersebut tak pelak lagi mengundang
reaksi seluruh umat manusia yang merasa bersatu atas dasar kemanusiaan dan
kesadaran bersama sebagai sesama penghuni bumi yang satu dan sama.
Dalam
pada itu, orang-orang beragama dan bahkan agama-agama akan tampil sebagai satu
lembaga kredibel apabila mereka memfokuskan perhatian dan mencurahkan seluruh
kekuatan pada kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Sementara itu, apabila
agama-agama melawan gerakan bersama yang berwajah kemanusiaan, maka agama-agama
tersebut sedang menampilkan dirinya sebagai ‘kekuatan’ yang meninggalkan
jejaringan kemanusiaan dalam keseluruhan keluarga umat manusia. Di titik ini
perlu ditegaskan bahwa apabila agama-agama turut dalam gerakan besar
kemanusiaan dan keutuhan ciptaan maka agama-agama tersebut menjadi sahabat
manusia dan kerabat bumi.[7]
Gagasan
lain yang musti menjadi kesadaran bersama adalah keyakinan akan Allah yang
Akbar dan sekaligus yang akrab. Segenap umat beriman dari aneka agama besar
meyakini Allah yang disembah dan diagungkan sebagai yang Mahabesar (Akbar),
tetapi juga serentak Mahadekat (Akrab). Allah itu ‘akrab’ dengan semua umat
yang mengimaniNya, tetapi serentak pula meng-akrab-kan semua umat beriman yang
beraneka-ragam, yang pluralistik dan multidimensi tersebut.
Makna semantik dari kata Akbar dan
Akrab: Keduanya merupakan kata-kata sifat pinjaman dari Bahasa Arab. Akbar yang
adalah bentuk komparatif dari Kabir mengandung arti ‘lebih besar’, ‘lebih
agung’, lebih mulia’, yang kemudian diartikan sebagai ‘Mahabesar’. Kata Akrab
yang aslinya tertulis ‘aqrab’ dalam Bahasa Arab merupakan bentuk komparatif
dari kata sifat ‘qarib’ yang berarti dekat, bertetangga. Karenanya, nuansa dari
sifat ‘qarib’ dengan Allah itu menurut keyakinan Muslim terungkap dalam kesalehan
dan ketaqwaan serta kepatuhan pada hukum-hukumNya, termasuk kelima Rukun
(arkanul) Islam dan keenam Rukun Iman. Implikasi dari gagasan ini ialah
bahwa kerukunan dalam Bahasa Indonesia
(ke-rukun-an) yang berarti situasi dan kondisi damai, toleran dan penuh
penghargaan satu sama lain sebagai buah dari
kepatuhan pada hukum-hukum agama.[8]
Semua agama mengajarkan dan mengajak umat
berimannya agar ‘akrab’ dengan sesama penganut agama lain, ‘akrab’ pula dengan
lingkungan sekitar, dan ‘akrab’ dengan nilai-nilai budaya dan masyarakatnya
yang beraneka wajah.[9]
Hal
lain yang juga perlu diketahui adalah pengajaran agama-agama tentang
keharmonisan dan solidaritas semesta. Setiap agama lahir dari intuisi
awal seorang manusia yang memiliki ‘bakat religius’ yang istimewa yang kemudian
dipandang sebagai pendiri agama. Isi intuisinya adalah karakter universum
sebagai sebuah keharmonisan dan solidaritas bersama.[10]
Isi intuisi pendiri agama itu selanjutnya diperkaya oleh berbagai pengalaman
dan interpretasi para pengikut dan penganutnya. Dari bakat religiusnya yang
mendapat ilham dari Allah sendiri, dia mengajarkan kepada pengikutnya tentang
hukum-hukum kebaikan yang mengantar manusia menuju keselamatan.
Dalam
aras pemikiran ini, agama kemudian dipandang sebagai sebuah himpunan ajaran
yang diwujudkan dalam hukum dan sikap hidup manusia. Hukum dan sikap hidup itu
mengarahkan manusia menuju keteraturan. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa
agama merupakan sebuah institusi keteraturan.
Agama
menawarkan kepada manusia sikap-sikap ideal yang menyingkapkan bagaimana
keharmonisan dan solidaritas semesta dapat diwujudkan. Melalui ajarannya yang
diwujudnyatakan oleh para pemeluknya, manusia-manusia dibantu untuk mewujudkan
kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk mewujudkan keharmonisan dan
solidaritas tersebut.
Dari sejumlah gagasan ini kiranya ada
beberapa hal yang dapat ditarik sebagai konsekuensi lanjut bagi tugas dan karya
kaum muda (termasuk juga lembaga-lembaga yang sedang menyelenggarakan
pendidikan bagi kaum muda) di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Pertama,
dialog dalam dunia yang beranekaragam adalah sebuah keniscayaan. Menurut Philip Huggins[11],
ada enam prinsip dalam
membimbing dialog dan pertemuan lintas “aku-yang berbeda”, lintas garis agama-iman. Pertama, orang-orang dari tradisi agama lain selalu bisa mengajarkan sesuatu yang berharga termasuk
bagi tradisi-tradisi kita sendiri. Sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh
pengajaran ini adalah menyambut setiap kesempatan untuk mendengarkan dan berbicara dengan orang
lain tentang perjuangan mereka
untuk berusaha hidup
dengan kebenaran tertinggi yang mereka ketahui. Pertemuan-pertemuan
dan kesempatan
informal lainnya memungkinkan untuk menumbuhkan dan
menikmati persahabatan dengan orang-orang dari tradisi dan budaya keagamaan
lainnya.
Kedua, kesempatan
untuk mendapatkan
perspektif lain tersebut dicapai melalui persahabatan
sejati. Persahabatan sejati dibangun di atas
dasar kesaling-akraban menuju Allah yang akbar meski melalui jalan yang
berbeda-beda. Persahabatan sejati mengarahkan setiap sahabat ke tujuan yang
sama meski dengan cara yang khas dan unik menurut masing-masing agama.
Ketiga, setiap sahabat
sejati adalah hadiah. Meski
mereka ada dan hadir dalam 'dunia dalam diri mereka sendiri', namun mereka adalah hadiah bagi kita yang juga ada dan hadir
‘dalam dunia kita sendiri’. Sama seperti saat kita menerima hadiah dari
seseorang dengan ekspresi yang menggembirakan, demikian pula kita menyambut
para sahabat dari pelbagai latar belakang dengan kehangatan yang memukau sebab
dirinya adalah hadiah bagi diri kita. Penyambutan sesama yang lain sebagai
sebuah hadiah menyingkirkan pelbagai prasangka negatif tentang orang yang
disambut sekaligus memaklumkan kepada dirinya bahwa dirinya adalah hadiah
terindah bagi diri kita.
Keempat, kemanusiaan universal, kehendak baik dan kepentingan
bersama dapat membangun pemahaman dan keharmonisan saat pertemanan dimulai dan berkelanjutan. Kebersamaan yang kesepahaman ini
bisa menepis prasangka-prasangka buruk satu terhadap yang lain, baik pribadi
orang perorangan dan hubungan satu dengan yang lain maupun struktur-struktur
sosial kemasyarakatan sekaligus memupuskan harapan berkembangnya stereotip dari masing-masing unsur itu yang bisa menghanguskan kemanusiaan universal. Pada posisi ini, menurut Neufeldt, dialog antaragama berkontribusi terhadap
perubahan pribadi, relasi-relasi dan struktural sosial.[12]
Kelima, kerja sama agama-agama untuk perdamaian dan keadilan tidak dilaksanakan dengan cara membungkamkan dan mengaburkan tradisi iman seseorang. Sebaliknya,
melalui kerja sama ini keimanan seseorang menjadi makin bertumbuh dan mendalam.
Seorang Muslim
harus menjadi semakin Muslim,
seorang Kristen
harus menjadi semakin Kristen,
dan seterusnya. Ada
pluralitas dalam setiap dialog antaragama, namun mitra dialog perlu memiliki kejelasan posisi mengenai apa yang mereka yakini.
Keenam, berbagai prinsip
untuk membantu hubungan manusia yang lebih baik memiliki aplikasinya dalam satu ikhtiar untuk mendengarkan dengan saksama satu sama lain, tanpa
mengganggu satu dengan yang lain. Banyak konflik
memiliki dasarnya dalam ketiadaan sikap untuk mendengarkan satu
sama lain. Selalu ada kemungkinan bahwa konflik antara satu dengan yang lain menjadi semakin meningkat ketika sebuah gangguan diikuti
dengan gangguan-gangguan yang lain.
Kedua, sebagai masa depan agama (Gereja) dan bangsa (Indonesia) kaum
muda Katolik dipanggil untuk menciptakan dan merawat perdamaian. “Damai itu harus mulai dari dalam. Damai di
mulut hanya menyenangkan orang dari luar saja. Damai dimulai dari niat yang
tulus dan baik.” (Prof. Kamarulzaman).
Demikian sepenggal gagasan yang tercurah dalam seminar internasional
tentang upaya bina damai di Universitas Gadja Mada, 8 Desember 2017. Seminar
yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP)
Universitas Gadja Mada ini memperdengarkan gagasan-gagasan dan kisah-kisah peacebuilding activities, baik dari
perspektif para ilmuwan maupun dari perspektif para aktivis.
Ikhtiar untuk menciptakan dan merawat perdamaian adalah jalan-jalan kecil untuk sampai pada cita-cita besar
untuk menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman. Sejatinya, ikhtiar
itu mesti berangkat dari ‘dalam’, dari niat yang tulus dan baik. Dan,
keberangkatan yang sejati lahir dari pengetahuan dan kesadaran historis yang
benar tentang kesamaan asal yang kemudian mewujud dalam jalan yang
beranekaragam.
Tradisi
agama-agama Abraham (Yahudi, Kristen, Islam), misalnya, memiliki beberapa
kepercayaan fundamental yang sama yang menjadi landasan bagi setiap sikap
toleran dan hormat terhadap keyakinan lain dan orang lain yang berbeda.
Keyakinan yang sama tersebut mendorong munculnya sikap toleran dan sikap hormat
tersebut. Pertama, merujuk pada iman
Abraham. Iman Abraham adalah iman bahwa Allah yang berbelas kasih itu menguasai
segala sesuatu dan bahwa penyerahan diri kepada kehendak penyelenggaraan Tuhan
adalah jalan kebenaran bagi semua. Kedua,
semua manusia adalah citra Allah. Pemahaman tentang manusia ini mendukung
kepekaan yang sehat untuk hormat kepada pribadi lain. Nilai keilahian sebagai kecitraan Allah ini
mendasari rasa hormat bagi setiap orang dan dibutuhkan bagi munculnya toleransi.
Ketiga, pengakuan akan keterbatasan
pribadi manusia. Bahwa manusia itu merupakan makluk yang terbatas, lemah dan
dapat berbuat salah. Dengan adanya pengakuan seperti ini, kita dapat
memperkirakan bahwa semua manusia termasuk diri kita dapat saja melakukan
kesalahan dalam hal keyakinan maupun dalam praktek. Karenanya, menurut Kelly
James Clark, umat beragama menyikapi keyakinannya sendiri dan keyakinan orang
lain dengan dosis yang sehat yaitu dengan kerendahan hati sebagai sesama
ciptaan. Pengakuan terhadap ‘bisa salah’ (kesalahan yang tak terelakkan) ini
memberikan dorongan bagi rasa hormat yang nyata dan substantif terhadap siapa
pun yang tidak bersepakat dengan kita.[13]
Di titik ini, tepatlah sebuah rangkuman yang ditulis oleh Miroslav Volf[14]
dengan bertitik tolak dari Surat 1 Petrus: “Jangkauan
kasih Tuhan menjadi jangkauan dari sikap hormat kita. Karena yang pertama
bersifat universal maka yang kedua juga demikian. Sebagaimana kasih Tuhan
sungguh-sungguh tanpa pandang bulu, merangkul manusia dari berbagai warna,
keyakinan dan identitas entah mereka adalah orang suci yang paling terpuji atau
pendosa yang paling tercela, maka sikap hormat kita juga harus tanpa pandang
bulu.”
Salah
satu pernyataan penting dari Hedieh Mirandi adalah bahwa Tuhan dalam
kearifanNya telah menciptakan semua jenis manusia.[15]
Dari keseluruhan ciptaanNya itu ada sebagian manusia yang menyembahNya,
sebagian lainnya menyembah yang lain dan sebagiannya lagi tidak menyembah
apapun. Meski demikian, tegas Mirandi, Tuhan tidak pernah menahan karunia
ilahiah dan rahmatNya kepada siapapun di antara semua mereka. Tambahan pula,
Tuhan tidak mengharuskan semua ciptaanNya hanya menerima satu agama saja.
Menurut Mirandi, prinsip tentang martabat manusia dan kesatuan umat manusia
ditekankan berkali-kali dalam Al Qur’an (17:70): “Dan sesungguhnya, telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka baik di daratan dan di lautan, Kami
beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan
kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makluk yang telah Kami ciptakan”. Di mata Clark, ketika seseorang mempunyai keyakinan diri
terhadap sebuah kepercayaan yang dianggap penting hal itu tidaklah berarti
bahwa orang itu akan mengabaikan atau mengasingkan atau menganiaya mereka yang
lain yang tidak disetujui. Bahwasanya, menurut Prof. A. Sudiarja, ketiga
agama Abraham ini mewarisi sumber spiritualitas yang sama. Ketiganya hanya
terpisah-pisah oleh peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadian
manusiawi. Dari titik pengetahuan dan kesadaran inilah, niat yang tulus dan
baik untuk menciptakan damai itu lahir.
Penutup
Kaum
muda menjadi harapan Gereja dan bangsa. Paus Yohanes Paulus II punya harapan besar terhadap
mereka. “You are my future. You are my hope.
Because you are the promise of tomorrow. You are the hope of the Church and
society. I invite you to be the “salt” and the “light” for the world. Kamu
adalah masa depanku. Kamu adalah harapanku. Karena kamu adalah hari esok yang
menjanjikan. Saya mengundang kalian untuk menjadi garam dan terang bagi dunia.”
Di Pantai Copacabana, Rio de Jeneiro,
Brasil pada misa penutupan Hari Kaum Muda Sedunia (WYD, World Youth Day),
Paus Fransiskus berpesan: “Gereja membutuhkan Anda, antusiasme
Anda, kreativitas Anda dan sukacita yang begitu khas dari Anda” orang muda
Katolik. Dan jauh sebelum itu, pada akhir Konsili Vatikan II, Paus Paulus VI mengirimkan pesan bagi
orang muda se-dunia. Pesan ini diawali dengan: “Kepada kalianlah, lelaki dan
perempuan muda dunia, Konsili ingin menyampaikan pesan terakhir. Karena
kalianlah yang menerima obor dari tangan para pendahulumu dan hidup di
dunia pada periode yang paling penuh perubahan yang pernah terjadi dalam
sejarahnya. Kalianlah, yang mengambil teladan dan pengajaran terbaik dari
orangtua dan guru kalian, yang akan membentuk masyarakat masa depan. Kalian
akan diselamatkan atau hancur bersamanya”. Pesan ini ditutup dengan
kata-kata: “Bangunlah, dengan antusias, sebuah dunia yang lebih baik daripada
yang sekarang kita miliki!” (Pesan kepada Orang Muda, 8 Desember 1965).
Dan, dunia itu adalah dunia yang penuh damai di tengah keragaman. Jadilah
jembatan kasih di tengah keragaman!
DAFTAR
PUSTAKA:
Adam, Asvi Warman. The History
of Violence and the State in Indonesia,
CRISE Working Paper No. 54 Juni 2008.
Cady, Linell E. dan Sheldon W. Simon (eds.). Reflections on the nexus of religion and violence, (Routledge:
New York, 2007).
Clark, Kelly James (ed.), Anak-Anak Abraham. Kebebasan dan Toleransi
di Abad Konflik Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2016).
Huggins, Philip. Communication
Making Peace Together, Faith and
Reconciliation: Reflections of an Interfaith Dialogue Practitioner (Global
Change, Peace & Security, 2013), Vol. 25, No. 3.
Kleden, Paul
Budi. Dialog Antaragama Dalam Terang
Filsafat Proses Alfred North Whitehead (Ledalero: Maumere, 2002).
Neufeldt, Reina C. Interfaith
Dialogue: Assessing Theories of Change (Peace & Change, Vol. 36, No. 3,
July 2011).
Panda, Herman
P. Agama-Agama dan Dialog Antar-Agama
dalam Pandangan Kristen (Maumere: Ledalero, 2013).
Tule, P. Allah Akbar,
Allah Akrab (Ledalero: Maumere, 2003).
Varshney, Ashutosh, Rizal Panggabean dan Mohammad Zulfan, Patterns of Collective Violence in Indonesia
(1990-2003), Jakarta,
UNSFIR, 2004.
van Klinken, Gerry. Communal Violence and Democratization. Small Town Wars (Routledge:
New York, 2007).
Biodata Singkat:
Anselmus D. Atasoge
Lahir di Kupang, Naikoten II_NTT, 05
Nopember 1977. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero Maumere Flores NTT, tahun
2006. Menulis tesis berjudul “Aksi Damai
Koalisi Masyarakat Sipil Anti KKN di Flores Timur dalam Terang Exodus”. Tahun 2018 menerbitkan buku “Etika Politik
Mangunwijaya” (PT.Kanisius, 2018). Kini sedang melanjutkan studi Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Doktoral Islamic Interdisciplinary
Study.
[1] Linell E. Cady dan Sheldon W. Simon (eds.), Reflections on the nexus of religion and
violence, (Routledge: New York, 2007), hal. 1-19.
[2] Asvi
Warman Adam, The History of Violence and the State in
Indonesia, CRISE Working
Paper No. 54 Juni 2008, hal.
1-19.
[3]
Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean dan
Mohammad Zulfan, Patterns of Collective
Violence in Indonesia (1990-2003), Jakarta, UNSFIR, 2004, hal. 1-37.
[4]
Gerry van Klinken, Communal Violence and
Democratization. Small Town Wars (Routledge: New York, 2007), hal. 72-86.
[5]
Ibid., hal. 88-105.
[6] Paul Budi Kleden, “Membongkar
Berhala, Membangun Sikap BerAllah: Spiritualitas Terlibat dalam Konteks
Pluralitas Agama”, Sebuah Pengantar dalam Herman P. Panda, Agama-Agama dan Dialog Antar-Agama dalam Pandangan Kristen (Maumere:
Ledalero, 2013), hal xvi.
[7] Ibid., hal xvii.
[8] P. Tule, Allah Akbar, Allah Akrab (Ledalero: Maumere, 2003), hal. 9.
[9] Ibid.
[10] Paul Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat
Proses Alfred North Whitehead (Ledalero: Maumere, 2002), hal. 155.
[11] Philip Huggins, Communication Making Peace Together, Faith and Reconciliation: Reflections of an
Interfaith Dialogue Practitioner (Global Change, Peace & Security,
2013), Vol. 25, No. 3, hal. 313.
[12] Reina C. Neufeldt, Interfaith Dialogue: Assessing Theories of
Change (Peace & Change, Vol. 36, No. 3, July 2011), hal. 344.
[13] Kelly James Clark, “Panggilan Anak-Anak Abraham” dalam Kelly
James Clark (ed.), Anak-Anak Abraham.
Kebebasan dan Toleransi di Abad Konflik Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2016),
hal. 14-24.
[14] Miroslav Volf, “Hormatilah
Setiap Orang! Iman Kristen dan Budaya Sikap Hormat Universal” dalam Kelly James Clark (ed.), Anak-Anak Abraham…. hal. 248-251.
[15] Hedieh Mirandi, “Jalan Tengah”
dalam Kelly James Clark (ed.), Anak-Anak
Abraham…. hal. 283-284.