Sabtu, 11 Januari 2020

ORANG MUDA KATOLIK: JEMBATAN KASIH DI TENGAH KERAGAMAN

BY Paroki San Juan IN


Abstrak
Indonesia adalah bangsa multikultur: etnis, agama dan budaya. Usaha menjaga multikulturalisme ini merupakan panggilan bagi semua manusia, termasuk orang-orang Katolik. Dalam konteks itu, benarlah apa yang dikumandangkan oleh kaum muda Katolik dalam Asian Youth Day 7 2017 di Yogyakarta. Dalam momen akbar ini mereka berjanji untuk mengubah dunia yang penuh dengan kekerasan menjadi dunia yang damai dan hidup aman dalam keragaman. Kaum muda Asia berjanji untuk tidak mengulangi sejarah kekerasan entah yang berlabelkan agama, etnis ataupun labelitas lainnya. Janji itu terungkap dalam ikhtiar mereka untuk menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman. Tulisan ini memberi makna tentang keharusan memandang multikulturalisme sebagai bagian dari kehidupan yang berperadaban. Fokus saya adalah saya hendak memberikan beberapa catatan pendasaran sosio-teologis sebagai bingkai bagi kaum muda Katolik dalam perjuangan menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman.

Kata-kata kunci: Orang Muda Katolik, Keanekaragaman, Sukacita Injil

Abstract
Indonesia is a multicultural nation based on ethnic, religious and cultural. Keeping this multiculturalism a call for all people, including Young Catholics. In that context, it is true what the Catholic youth proclamated in the Asian Youth Day 7, 2017 in Yogyakarta. In this moment they promise to turn a violent world into a world of peace and a life of safety in diversity. Asian youth promise not to repeat the history of violence whether labeled religion, ethnicity or other labelitas. The promise is revealed in their endeavors to live the joy of the gospel in the diversity. This paper gives meaning to the necessity of viewing multiculturalism as a part of civilized life. My focus, I want to give socio-theological perspective as baseline notes as a framework for young Catholics in the struggle to live the joy of the gospel in the world diversity.

Keywords: Young Catholics, Diversity, Gospel Joy

Pengantar
          Asian Youth Day 7 2017 di Yogyakarta meninggalkan ‘jejak pesan’ bagi karya peacebuilding di Indonesia dan Asia jika dipandang dari kacamata dialog interfaith. Pesan tersebut dapat disimak pada pernyataan peserta yang disusun oleh perwakilan peserta (Brenda Lynn Julianose dari Malaysia; Frederico Rodrigues Pereira dari Timor Leste; Michaela Ruth Calulut Gallardo dari Hong Kong; Michael Sawung Aji Pamenang dari Indonesia; Mark Zeus Quinto dari Phillipines; dan Ngyuyen Thi Thai Hang dari Vietnam) yang dibacakan di Lapangan Dirgantara Akademi Angkatan Udara Yogyakarta, Indonesia, 6 Agustus 2017. Ada sejumlah hal penting yang tertera dalam pernyataan tersebut. Satu di antaranya adalah keharusan memandang multikulturalisme sebagai bagian dari kehidupan yang berperadaban. Hal itu lahir dari kegelisahan kaum muda se-Asia akan maraknya aksi-aksi intoleransi belakangan ini. Kaum muda Asia ini bersepakat untuk menciptakan peradaban perdamaian di tengah keragaman Asia. Tulisan ini tidak membahas secara panjang lebar tentang perjumpaan orang-orang muda Katolik se-Asia tersebut, pun pula tidak memasuki wilayah pernyataan-pernyataan mereka di akhir perjumpaan itu secara mendetail melainkan mencoba memberi makna lebih lanjut tentang satu hal penting tersebut. Tulisan ini diakhiri pula dengan sebuah catatan pendasaran bagi kaum muda ketika hendak menghidupi sukacita Injil di tengah realitas multikultural tersebut.

Realitas Peradaban yang Berdarah
Sejarah internasional menyuguhkan banyak bukti tentang perang antar-bangsa yang berbeda agama maupun perang antar-bangsa yang memeluk agama yang sama. Dengan memperhatikan fenomena peperangan di abad ke-20, ada sementara orang menamakan abad ini dengan sebutan “abad perang total”: Korban perang pesat jumlahnya; penggunaan teknologi (pembasmi kehidupan, bukan saja sasaran perang melainkan juga ‘jiwa manusia lain_sipil dan juga tumbuhan, hewan, lingkungan’); dan terorisme.
Kajian Linell E. Cady dan Sheldon W. Simon menunjukkan bahwa negara-negara di benua Asia pada umumnya, dan Asia Selatan dan Asia Tenggara pada khususnya sepertinya tak terbebaskan dari sejarah konflik/kekerasan berlabelkan agama.[1]  Sepertinya, kekerasan itu telah lama menjadi ciri lingkungan politik dan sosialnya. Sebagai missal, bangkitnya Islamisme radikal di Asia Selatan dan Tenggara. Atau, Di Birma, misalnya, negara dan agama menjadikan agama sebagai legitimasi kekerasan. Junta militer yang berkuasa memakai simbol otoritas Budha untuk menghasut kekerasan terhadap lawan-lawan politiknya dan etnis muslim yang minoritas. Berbagai bentuk terorisme yang terinspirasi oleh agama dan kekerasan antar etnis bisa ditemukan di negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Birma, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan Pakistan. Kekerasan dikaitkan dengan agama dan agama dibaca sebagai yang dekat dengan kekerasan (sumber kekerasan).
Menurut Asvi Warman Adam, kekerasan di Indonesia telah terjadi sejak Pemerintah kolonial Belanda.[2] Peristiwa kekerasan terbesar adalah pembantaian tahun 1965. Peristiwa ini terjadi saat dunia sedang alami puncak krisis politik (Perang Dingin) yang bersamaan dengan itu situasi politik-sosial-ekonomi domestic Indonesia sedang berada di titik kritis. Situasi politik dalam negeri menjadi faktor paling utama. Partai Komunis yang ‘menguasai politik nasional’ dengan sejumlah aksinya yang diberitakan media (dengan cara berlebihan) memicu kekerasan massal terhadap komunis dan mereka yang diduga sebagai simpatisan komunis. Terjadilah pembantaian besar-besaran.
Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean dan Mohammad Zulfan Tadjoeddin menambahkan bahwa masa Orde Baru bukan masa tanpa kekerasan, bukan masa damai.[3] Dan, kekerasan Orde Baru, tidak berakhir dengan kematiannya pada Mei 1998. Sebaliknya, efek kekerasannya berlanjut bahkan setelah kematiannya. Bentuk-bentuk kekerasannya: Pertama, kekerasan etno-komunal. Kekerasan antar agama telah menyebabkan kerusakan terbesar, diikuti oleh konflik antar etnis. Kekerasan antara Muslim-Kristen, Madura-Dayak/Melayu, dan kekerasan anti-China menjadi yang terbesar sejak 1990. Kedua, kekerasan ekonomi dan kekerasan negara versus masyarakat. Kerusuhan Madura-Dayak tidak dipengaruhi oleh berakhirnya era Suharto. Sedangkan kekerasan anti-Cina terjadi sedikit sekali setelah jatuhnya Suharto pada tahun 1998. Kerusuhan di Selat Panjang, Riau, pada bulan Februari 2001, dipicu oleh perselisihan perjudian. Dan, sebagian besar perselisihan Muslim-Kristen yang mematikan telah terjadi setelah tahun 1998. Khusus tentang kekerasan Muslim-Kristen sebelum tahun 1998 tercatat bahwa ada banyak bentrokan Muslim-Kristen sebelum tahun 1998 terutama pada tahun 1996-1997 seperti yang terjadi di Tasikmalaya (Jawa Barat), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), Situbondo (Jawa Timur), dan Ujung Pandang (Sulawesi Selatan). Di tahun 1992-1997 kekerasan antar dua kelompok ini lebih banyak menyebabkan kerugian harta benda. Sementara, setelah tahun 1998 selain harta benda, nyawa juga ikut jadi korban secara signifikan. Kekerasan Muslim-Kristen di tahun 1970-an dan 1980-an tidak terlalu nampak. Kekerasan Muslim-Kristen, dengan demikian, bukanlah fenomena pasca-1998, dimulai jauh sebelum akhir Orde Baru. Bentuknya menjadi lebih fatal setelah tahun 1998. Pada posisi lain, kekerasan Anti-Cina meningkat drastis pada Mei 1998.
Gerry van Klinken memiliki catatan analitik tentang aksi kekerasan pasca Mei 1998 dengan mengambil lokus pada peristiwa Poso dan Ambon.[4] Dalam konflik Poso ada kesan kuat bahwa elite politik lokal menggunakan identitas agama demi mengkotak-kotakkan masyarakat Poso: Kristen-Muslim yang jumlah keduanya hampir proporsional sejak masa Orde Baru. Untuk mengamankan posisi dan kedudukannya dan keinginan akan mengembalikan posisi terhormat di tatanan pemerintahan, sejumlah elite politik membangun kekuatan dengan membentuk kelompok-kelompoknya dan memproduksi media provokatif yang memperuncing konflik masyarakat Islam dan Kristen. Konflik meluas ketika kelompok-kelompok ini membangun jaringan keluar daerah dan membangun ‘persekutuan/koalisi’ untuk saling menyerang. Agama menjadi identitas penanda kelompok-kelompok ini. Konflik ini berawal dari konflik politik dan bergerak menjadi konflik antaragama.
Hal senada terjadi di Ambon.[5] Perubahan-perubahan sosial masyarakat Ambon di tengah konstelasi politik nasional dan lokal pun telah membawa Ambon masuk dalam kekerasan yang berkepanjangan. Latar belakang sejarah dan agama turut dibawa-bawa di dalamnya. Konflik yang paling mengerikan terjadi di tahun 1999. Dengan dilatari oleh situasi sosial di atas, kedua kelompok (Kristen dan Muslim) masing-masing membangun kekuatan. Elit politik dan juga elit agama kedua kelompok berperan memobilisasi kelompoknya yang umumnya terdiri atas masyarakat kelas bawah dalam satu wadah dengan sejumlah aktivitasnya terutama mereproduksi informasi-informasi yang berbau provokasi melalui media cetak dan audiovisual. Informasi melalui media yang beritanya sering dilebih-lebihkan ini  membangkitkan ‘perasaan kesatuan’ di kalangan kelompok sendiri dan menjadi ‘sumber’ ledaknya kemarahan terhadap kelompok lain. Kelompok ‘diciptakan’ untuk menghadapi ancaman dari kelompok lain. Kelompok juga menjadi ‘peluang’ bagi para pemimpinnya untuk menciptakan kekuatan sebagai satu identitas sosial keagamaan yang bisa ‘digunakan’ untuk merebut kekuasaan politik lokal.

Impian Kaum Muda Asia
          Meninggali dan bercengkrama dengan dunia yang aman dan damai, dunia yang saling mengerti dan memahami dalam perbedaan adalah impian bersama. Akan halnya, kaum muda Asia pun memilikinya. Impian kaum muda Asia akan dunia yang aman dan damai terbersit dalam pernyataan mereka di Yogyakarta, 6 Agustus 2017. Impian itu tentunya lahir dari kegelisahan mereka akan situasi-situasi yang tidak mengenakkan yang dalam pernyataan tersebut mereka sebut dengan ungkapan tekanan intoleransi. Berikut beberapa petikan dari pernyataan orang muda Katolik itu.

Berhadapan dengan aneka tekanan intoleransi dan perasaan ditinggalkan, kami merasa kurang dekat dengan Tuhan dan ciptaan-Nya.
         
Sebagai orang muda, kami diteguhkan oleh Roh Kudus yang menganugerahi kami kekuatan dan api semangat untuk mewartakan Kabar Gembira di tengah dunia yang multikultur ini. Kami pejuang di garda terdepan.
“… kami menemukan bahwa kami memiliki semangat yang membara dalam diri, hasrat untuk mempengaruhi dunia dan meninggalkan jejak khas kami. Kami melihat bagaimana harus hidup dalam masyarakat ketika kami berlainan bahasa dan menjalankan keyakinan iman yang berbeda terutama dalam peristiwa saling berbagi kisah dengan ratusan kaum muda Muslim. Perjumpaan-perjumpaan multikultural ini memampukan kami melihat iman kami dalam terang yang baru. Aneka perjumpaan itu mengobarkan semangat kami. Kami berharap bahwa berkat Roh Kudus, kami mampu menerangi dunia.
Dalam keberagaman Asia ini, kami hidup di antara perbedaan agama, bahasa, suku, dan budaya, sehingga pentinglah bagi kami untuk melangkah keluar dari zona nyaman dan menjumpai mereka yang berbeda dari kami. Yesus mengajarkan kami untuk mengasihi tanpa syarat. Kami ingin menjadi saksi atas Roh Cintakasih yang sama, yang telah Dia perlihatkan kepada kami.
Kami berniat bertindak sebagai fasilitator dan animator persatuan, menciptakan jembatan kasih dan menghormati budaya yang berbeda-beda.
 Allah-lah suka cita dan harapan kita. Kami menyadari bahwa melalui rahmat-Nya, kami dapat menginspirasi orang lain dengan menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman dan arus perubahan masyarakat, demi mewujudkan sebuah dunia yang penuh cinta kasih, harmonis dan bersatu padu sebagai utusan-utusan suka cita.
          Dengan sengaja saya menampilkan enam penggalan singkat dari pernyataan kaum muda se-Asia ini. Dengan amat mudah terbaca impian kaum muda Asia terhadap realitas keberagaman di Asia; realitas yang daripadanya amat mungkin melahirkan aksi-aksi violence jika tidak disadari, dikelola dan dijembatani dengan baik. Kaum muda Asia menangkap fenomena ini dan berjanji untuk tidak ‘memperpanjang’ sejarah konflik/kekerasan entah yang berlabelkan agama, etnis ataupun labelitas lainnya. Janji itu terungkap kencang dalam kata-kata mereka: menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman. Untuk menggapai maksud ini, pada bagian selanjutnya, saya memberikan beberapa catatan pendasaran sosio-teologis sebagai bingkai bagi perjuangan menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman.

Panggilan kepada Peradaban Perdamaian
          Ada sebuah perasaan sekaligus kebutuhan yang sama dari agama-agama. Perasaan dan kebutuhan itu berkaitan dengan perjuangan mewujudkan jati diri kemanusiaan. Berhadapan dengan bencana alam  yang menimpa ribuaan atau jutaan manusia misalnya, setiap orang atau institusi dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang nun jauh di sana pada umumnya menyatakan ‘turut mengalami penderitaan sesama manusia yang mengalami bencana dengan ‘bergerak melebih batas keagamaannya’ untuk membantu meringankan penderitaan akibat bencana tersebut. Ada semacam satu ‘gerakan ke pinggiran jalan lain’ atas dasar kemanusiaan.
Pada titik tertentu, perhatian terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan dan juga kepedulian terhadap keutuhan ciptaan pada umumnya merupakan satu gerakan global yang bersifat kritis terhadap globalisasi ekonomi yang lebih mengutamakan profit ketimbang jati diri kemanusian dan terutama nian tanpa mempedulikan beban yang harus dipikul banyak penghuni bumi dan ketahanan bumi itu sendiri.[6] Karenanya, persoalan-persoalan kemanusian dan ancaman terhadap ketahanan bumi tersebut  tak pelak lagi mengundang reaksi seluruh umat manusia yang merasa bersatu atas dasar kemanusiaan dan kesadaran bersama sebagai sesama penghuni bumi yang satu dan sama.
Dalam pada itu, orang-orang beragama dan bahkan agama-agama akan tampil sebagai satu lembaga kredibel apabila mereka memfokuskan perhatian dan mencurahkan seluruh kekuatan pada kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Sementara itu, apabila agama-agama melawan gerakan bersama yang berwajah kemanusiaan, maka agama-agama tersebut sedang menampilkan dirinya sebagai ‘kekuatan’ yang meninggalkan jejaringan kemanusiaan dalam keseluruhan keluarga umat manusia. Di titik ini perlu ditegaskan bahwa apabila agama-agama turut dalam gerakan besar kemanusiaan dan keutuhan ciptaan maka agama-agama tersebut menjadi sahabat manusia dan kerabat bumi.[7]
Gagasan lain yang musti menjadi kesadaran bersama adalah keyakinan akan Allah yang Akbar dan sekaligus yang akrab. Segenap umat beriman dari aneka agama besar meyakini Allah yang disembah dan diagungkan sebagai yang Mahabesar (Akbar), tetapi juga serentak Mahadekat (Akrab). Allah itu ‘akrab’ dengan semua umat yang mengimaniNya, tetapi serentak pula meng-akrab-kan semua umat beriman yang beraneka-ragam, yang pluralistik dan multidimensi tersebut. Makna semantik dari kata Akbar dan Akrab: Keduanya merupakan kata-kata sifat pinjaman dari Bahasa Arab. Akbar yang adalah bentuk komparatif dari Kabir mengandung arti ‘lebih besar’, ‘lebih agung’, lebih mulia’, yang kemudian diartikan sebagai ‘Mahabesar’. Kata Akrab yang aslinya tertulis ‘aqrab’ dalam Bahasa Arab merupakan bentuk komparatif dari kata sifat ‘qarib’ yang berarti dekat, bertetangga. Karenanya, nuansa dari sifat ‘qarib’ dengan Allah itu menurut keyakinan Muslim terungkap dalam kesalehan dan ketaqwaan serta kepatuhan pada hukum-hukumNya, termasuk kelima Rukun (arkanul) Islam dan keenam Rukun Iman. Implikasi dari gagasan ini ialah bahwa  kerukunan dalam Bahasa Indonesia (ke-rukun-an) yang berarti situasi dan kondisi damai, toleran dan penuh penghargaan satu sama lain sebagai buah dari  kepatuhan pada hukum-hukum agama.[8] 
Semua agama mengajarkan dan mengajak umat berimannya agar ‘akrab’ dengan sesama penganut agama lain, ‘akrab’ pula dengan lingkungan sekitar, dan ‘akrab’ dengan nilai-nilai budaya dan masyarakatnya yang beraneka wajah.[9]
Hal lain yang juga perlu diketahui adalah pengajaran agama-agama tentang keharmonisan dan solidaritas semesta. Setiap agama lahir dari intuisi awal seorang manusia yang memiliki ‘bakat religius’ yang istimewa yang kemudian dipandang sebagai pendiri agama. Isi intuisinya adalah karakter universum sebagai sebuah keharmonisan dan solidaritas bersama.[10] Isi intuisi pendiri agama itu selanjutnya diperkaya oleh berbagai pengalaman dan interpretasi para pengikut dan penganutnya. Dari bakat religiusnya yang mendapat ilham dari Allah sendiri, dia mengajarkan kepada pengikutnya tentang hukum-hukum kebaikan yang mengantar manusia menuju keselamatan.
          Dalam aras pemikiran ini, agama kemudian dipandang sebagai sebuah himpunan ajaran yang diwujudkan dalam hukum dan sikap hidup manusia. Hukum dan sikap hidup itu mengarahkan manusia menuju keteraturan. Karena itu, dapatlah dikatakan bahwa agama merupakan sebuah institusi keteraturan.
Agama menawarkan kepada manusia sikap-sikap ideal yang menyingkapkan bagaimana keharmonisan dan solidaritas semesta dapat diwujudkan. Melalui ajarannya yang diwujudnyatakan oleh para pemeluknya, manusia-manusia dibantu untuk mewujudkan kemungkinan-kemungkinannya sendiri untuk mewujudkan keharmonisan dan solidaritas tersebut.
          Dari sejumlah gagasan ini kiranya ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai konsekuensi lanjut bagi tugas dan karya kaum muda (termasuk juga lembaga-lembaga yang sedang menyelenggarakan pendidikan bagi kaum muda) di Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.
Pertama, dialog dalam dunia yang beranekaragam adalah sebuah keniscayaan. Menurut Philip Huggins[11], ada enam prinsip dalam membimbing dialog dan pertemuan lintas “aku-yang berbeda”, lintas garis agama-iman. Pertama, orang-orang dari tradisi agama lain selalu bisa mengajarkan sesuatu yang berharga termasuk bagi tradisi-tradisi kita sendiri. Sikap yang dibutuhkan untuk memperoleh pengajaran ini adalah menyambut setiap kesempatan untuk mendengarkan dan berbicara dengan orang lain tentang perjuangan mereka untuk berusaha hidup dengan kebenaran tertinggi yang mereka ketahui. Pertemuan-pertemuan dan kesempatan informal lainnya memungkinkan untuk menumbuhkan dan menikmati persahabatan dengan orang-orang dari tradisi dan budaya keagamaan lainnya.
Kedua, kesempatan untuk mendapatkan perspektif lain tersebut dicapai melalui persahabatan sejati. Persahabatan sejati dibangun di atas dasar kesaling-akraban menuju Allah yang akbar meski melalui jalan yang berbeda-beda. Persahabatan sejati mengarahkan setiap sahabat ke tujuan yang sama meski dengan cara yang khas dan unik menurut masing-masing agama.
Ketiga, setiap sahabat sejati adalah hadiah.  Meski mereka ada dan hadir dalam 'dunia dalam diri mereka sendiri', namun mereka adalah hadiah bagi kita yang juga ada dan hadir ‘dalam dunia kita sendiri’. Sama seperti saat kita menerima hadiah dari seseorang dengan ekspresi yang menggembirakan, demikian pula kita menyambut para sahabat dari pelbagai latar belakang dengan kehangatan yang memukau sebab dirinya adalah hadiah bagi diri kita. Penyambutan sesama yang lain sebagai sebuah hadiah menyingkirkan pelbagai prasangka negatif tentang orang yang disambut sekaligus memaklumkan kepada dirinya bahwa dirinya adalah hadiah terindah bagi diri kita.  
Keempat, kemanusiaan universal, kehendak baik dan kepentingan bersama dapat membangun pemahaman dan keharmonisan saat pertemanan dimulai dan berkelanjutan. Kebersamaan yang kesepahaman ini bisa menepis prasangka-prasangka buruk satu terhadap yang lain, baik pribadi orang perorangan dan hubungan satu dengan yang lain maupun struktur-struktur sosial kemasyarakatan sekaligus memupuskan harapan berkembangnya stereotip dari masing-masing unsur itu yang bisa menghanguskan kemanusiaan universal.  Pada posisi ini, menurut Neufeldt,  dialog antaragama berkontribusi terhadap perubahan pribadi, relasi-relasi dan struktural sosial.[12]
Kelima, kerja sama agama-agama untuk perdamaian dan keadilan tidak dilaksanakan dengan cara membungkamkan dan mengaburkan tradisi iman seseorang. Sebaliknya, melalui kerja sama ini keimanan seseorang menjadi makin bertumbuh dan mendalam. Seorang Muslim harus menjadi semakin Muslim, seorang Kristen harus menjadi semakin Kristen, dan seterusnya. Ada pluralitas dalam setiap dialog antaragama, namun mitra dialog perlu memiliki kejelasan posisi mengenai apa yang mereka yakini.
Keenam, berbagai prinsip untuk membantu hubungan manusia yang lebih baik memiliki aplikasinya dalam satu ikhtiar untuk mendengarkan dengan saksama satu sama lain, tanpa mengganggu satu dengan yang lain. Banyak konflik memiliki dasarnya dalam ketiadaan sikap untuk mendengarkan satu sama lain. Selalu ada kemungkinan bahwa konflik antara satu dengan yang lain menjadi semakin meningkat ketika sebuah gangguan diikuti dengan gangguan-gangguan yang lain.
          Kedua, sebagai masa depan agama (Gereja) dan bangsa (Indonesia) kaum muda Katolik dipanggil untuk menciptakan dan merawat perdamaian. “Damai itu harus mulai dari dalam. Damai di mulut hanya menyenangkan orang dari luar saja. Damai dimulai dari niat yang tulus dan baik.” (Prof. Kamarulzaman). Demikian sepenggal gagasan yang tercurah dalam seminar internasional tentang upaya bina damai di Universitas Gadja Mada, 8 Desember 2017. Seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadja Mada ini memperdengarkan gagasan-gagasan dan kisah-kisah peacebuilding activities, baik dari perspektif para ilmuwan maupun dari perspektif para aktivis.
Ikhtiar untuk menciptakan dan merawat perdamaian adalah jalan-jalan kecil untuk sampai pada cita-cita besar untuk menghidupi sukacita Injil di tengah keanekaragaman. Sejatinya, ikhtiar itu mesti berangkat dari ‘dalam’, dari niat yang tulus dan baik. Dan, keberangkatan yang sejati lahir dari pengetahuan dan kesadaran historis yang benar tentang kesamaan asal yang kemudian mewujud dalam jalan yang beranekaragam.
Tradisi agama-agama Abraham (Yahudi, Kristen, Islam), misalnya, memiliki beberapa kepercayaan fundamental yang sama yang menjadi landasan bagi setiap sikap toleran dan hormat terhadap keyakinan lain dan orang lain yang berbeda. Keyakinan yang sama tersebut mendorong munculnya sikap toleran dan sikap hormat tersebut. Pertama, merujuk pada iman Abraham. Iman Abraham adalah iman bahwa Allah yang berbelas kasih itu menguasai segala sesuatu dan bahwa penyerahan diri kepada kehendak penyelenggaraan Tuhan adalah jalan kebenaran bagi semua. Kedua, semua manusia adalah citra Allah. Pemahaman tentang manusia ini mendukung kepekaan yang sehat untuk hormat kepada pribadi lain.  Nilai keilahian sebagai kecitraan Allah ini mendasari rasa hormat bagi setiap orang dan dibutuhkan bagi munculnya toleransi. Ketiga, pengakuan akan keterbatasan pribadi manusia. Bahwa manusia itu merupakan makluk yang terbatas, lemah dan dapat berbuat salah. Dengan adanya pengakuan seperti ini, kita dapat memperkirakan bahwa semua manusia termasuk diri kita dapat saja melakukan kesalahan dalam hal keyakinan maupun dalam praktek. Karenanya, menurut Kelly James Clark, umat beragama menyikapi keyakinannya sendiri dan keyakinan orang lain dengan dosis yang sehat yaitu dengan kerendahan hati sebagai sesama ciptaan. Pengakuan terhadap ‘bisa salah’ (kesalahan yang tak terelakkan) ini memberikan dorongan bagi rasa hormat yang nyata dan substantif terhadap siapa pun yang tidak bersepakat dengan kita.[13] Di titik ini, tepatlah sebuah rangkuman yang ditulis oleh Miroslav Volf[14] dengan bertitik tolak dari Surat 1 Petrus: “Jangkauan kasih Tuhan menjadi jangkauan dari sikap hormat kita. Karena yang pertama bersifat universal maka yang kedua juga demikian. Sebagaimana kasih Tuhan sungguh-sungguh tanpa pandang bulu, merangkul manusia dari berbagai warna, keyakinan dan identitas entah mereka adalah orang suci yang paling terpuji atau pendosa yang paling tercela, maka sikap hormat kita juga harus tanpa pandang bulu.”
Salah satu pernyataan penting dari Hedieh Mirandi adalah bahwa Tuhan dalam kearifanNya telah menciptakan semua jenis manusia.[15] Dari keseluruhan ciptaanNya itu ada sebagian manusia yang menyembahNya, sebagian lainnya menyembah yang lain dan sebagiannya lagi tidak menyembah apapun. Meski demikian, tegas Mirandi, Tuhan tidak pernah menahan karunia ilahiah dan rahmatNya kepada siapapun di antara semua mereka. Tambahan pula, Tuhan tidak mengharuskan semua ciptaanNya hanya menerima satu agama saja. Menurut Mirandi, prinsip tentang martabat manusia dan kesatuan umat manusia ditekankan berkali-kali dalam Al Qur’an (17:70): “Dan sesungguhnya, telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka baik di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makluk yang telah Kami ciptakan”. Di mata Clark, ketika seseorang mempunyai keyakinan diri terhadap sebuah kepercayaan yang dianggap penting hal itu tidaklah berarti bahwa orang itu akan mengabaikan atau mengasingkan atau menganiaya mereka yang lain yang tidak disetujui. Bahwasanya, menurut Prof. A. Sudiarja, ketiga agama Abraham ini mewarisi sumber spiritualitas yang sama. Ketiganya hanya terpisah-pisah oleh peristiwa-peristiwa sejarah dan kejadian-kejadian manusiawi. Dari titik pengetahuan dan kesadaran inilah, niat yang tulus dan baik untuk menciptakan damai itu lahir.

Penutup
Kaum muda menjadi harapan Gereja dan bangsa. Paus Yohanes Paulus II punya harapan besar terhadap mereka. “You are my future. You are my hope. Because you are the promise of tomorrow. You are the hope of the Church and society. I invite you to be the “salt” and the “light” for the world. Kamu adalah masa depanku. Kamu adalah harapanku. Karena kamu adalah hari esok yang menjanjikan. Saya mengundang kalian untuk menjadi garam dan terang bagi dunia.”
Di Pantai Copacabana, Rio de Jeneiro, Brasil pada misa penutupan Hari Kaum Muda Sedunia (WYD, World Youth Day), Paus Fransiskus berpesan: “Gereja membutuhkan Anda, antusiasme Anda, kreativitas Anda dan sukacita yang begitu khas dari Anda” orang muda Katolik. Dan jauh sebelum itu, pada akhir Konsili Vatikan II,  Paus Paulus VI  mengirimkan pesan bagi orang muda se-dunia. Pesan ini diawali dengan: “Kepada kalianlah, lelaki dan perempuan muda dunia, Konsili ingin menyampaikan pesan terakhir. Karena  kalianlah  yang menerima obor dari tangan para pendahulumu dan hidup di dunia pada periode yang paling penuh perubahan yang pernah terjadi dalam sejarahnya. Kalianlah, yang mengambil teladan dan pengajaran terbaik dari orangtua dan guru kalian, yang akan membentuk masyarakat masa depan. Kalian akan diselamatkan atau hancur bersamanya”.  Pesan ini ditutup dengan kata-kata: “Bangunlah, dengan antusias, sebuah dunia yang lebih baik daripada yang sekarang kita miliki!” (Pesan kepada Orang Muda, 8 Desember 1965). Dan, dunia itu adalah dunia yang penuh damai di tengah keragaman. Jadilah jembatan kasih di tengah keragaman!


DAFTAR PUSTAKA:
Adam, Asvi Warman. The History of Violence and the State in Indonesia, CRISE Working Paper No. 54 Juni 2008.
Cady, Linell E. dan Sheldon W. Simon (eds.). Reflections on the nexus of religion and violence, (Routledge: New York, 2007).
Clark, Kelly James (ed.), Anak-Anak Abraham. Kebebasan dan Toleransi di Abad Konflik Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2016).
Huggins, Philip. Communication Making Peace Together, Faith and Reconciliation: Reflections of an Interfaith Dialogue Practitioner (Global Change, Peace & Security, 2013), Vol. 25, No. 3.
Kleden, Paul Budi. Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead (Ledalero: Maumere, 2002).
Neufeldt, Reina C. Interfaith Dialogue: Assessing Theories of Change (Peace & Change, Vol. 36, No. 3, July 2011).
Panda, Herman P. Agama-Agama dan Dialog Antar-Agama dalam Pandangan Kristen (Maumere: Ledalero, 2013).
Tule, P. Allah Akbar, Allah Akrab (Ledalero: Maumere, 2003).
Varshney, Ashutosh, Rizal Panggabean dan Mohammad Zulfan, Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003), Jakarta, UNSFIR, 2004.
van Klinken, Gerry. Communal Violence and Democratization. Small Town Wars (Routledge: New York, 2007).


Biodata Singkat:

Anselmus D. Atasoge
Lahir di Kupang, Naikoten II_NTT, 05 Nopember 1977. Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero Maumere Flores NTT, tahun 2006. Menulis tesis berjudul “Aksi Damai Koalisi Masyarakat Sipil Anti KKN di Flores Timur dalam Terang Exodus”. Tahun 2018 menerbitkan buku “Etika Politik Mangunwijaya” (PT.Kanisius, 2018). Kini sedang melanjutkan studi Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Program Doktoral Islamic Interdisciplinary Study.



[1] Linell E. Cady dan Sheldon W. Simon (eds.), Reflections on the nexus of religion and violence, (Routledge: New York, 2007), hal. 1-19.
[2] Asvi Warman Adam, The History of Violence and the State in Indonesia, CRISE Working Paper No. 54 Juni 2008, hal. 1-19.
[3] Ashutosh Varshney, Rizal Panggabean dan Mohammad Zulfan, Patterns of Collective Violence in Indonesia (1990-2003), Jakarta, UNSFIR, 2004, hal. 1-37.
[4] Gerry van Klinken, Communal Violence and Democratization. Small Town Wars (Routledge: New York, 2007), hal. 72-86.
[5] Ibid., hal. 88-105.
[6] Paul Budi Kleden, “Membongkar Berhala, Membangun Sikap BerAllah: Spiritualitas Terlibat dalam Konteks Pluralitas Agama”, Sebuah Pengantar dalam Herman P. Panda, Agama-Agama dan Dialog Antar-Agama dalam Pandangan Kristen (Maumere: Ledalero, 2013), hal xvi.
[7] Ibid., hal xvii.
[8] P. Tule, Allah Akbar, Allah Akrab (Ledalero: Maumere, 2003), hal. 9.
[9] Ibid.
[10] Paul Budi Kleden, Dialog Antaragama Dalam Terang Filsafat Proses Alfred North Whitehead (Ledalero: Maumere, 2002), hal. 155.
[11] Philip Huggins, Communication Making Peace Together, Faith and Reconciliation: Reflections of an Interfaith Dialogue Practitioner (Global Change, Peace & Security, 2013), Vol. 25, No. 3, hal. 313.
[12] Reina C. Neufeldt, Interfaith Dialogue: Assessing Theories of Change (Peace & Change, Vol. 36, No. 3, July 2011), hal. 344.
[13] Kelly James Clark, “Panggilan Anak-Anak Abraham” dalam Kelly James Clark (ed.), Anak-Anak Abraham. Kebebasan dan Toleransi di Abad Konflik Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2016), hal. 14-24.
[14] Miroslav Volf, “Hormatilah Setiap Orang! Iman Kristen dan Budaya Sikap Hormat Universal” dalam  Kelly James Clark (ed.), Anak-Anak Abraham…. hal. 248-251.
[15] Hedieh Mirandi, “Jalan Tengah” dalam Kelly James Clark (ed.), Anak-Anak Abraham…. hal. 283-284.